CNBC Insight

Polemik Thariq Halilintar & Gelar Haji yang Hanya Ada di Indonesia

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
26 June 2024 09:15
Jemaah haji melaksanakan tawaf ifadah di dekat Ka'Bah, Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Sabtu (1/7/2023). (AP Photo/Amr Nabil)
Foto: Jemaah haji melaksanakan tawaf ifadah di dekat Ka'Bah, Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, Sabtu (1/7/2023). (AP Photo/Amr Nabil)

Jakarta, CNBC Indonesia - Persoalan gelar haji kembali mengemuka saat prosesi lamaran Thariq Halilintar dan Aaliyah Massaid. Sang Ibu Geni Faruk memotong sambutan hanya karena saat memberi sambutan Atta Halilintar tidak menyebut Thariq sebagai Haji Thariq. 

Dia merasa anaknya sudah menunaikan ibadah haji, sehingga bisa dipanggil Haji Thariq. Thariq sendiri memang sudah pernah mengikuti ibadah haji di usia 2 tahun.

"Iya, tapi sudah Haji Thariq," jawab Geni Faruk. 

Kasus di atas bisa jadi contoh bagaimana warisan gelar haji era kolonial masih tetap terwariskan lintas generasi. Sebagai catatan, pencantuman gelar haji pada orang yang mengikuti ibadah haji hanya ada di Indonesia. Ini bisa terjadi karena kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat politis. 

Pemerintah kolonial menganggap pergi haji bukan hanya sebatas sudut pandang ibadah atau bisnis, tapi juga politik. Sebab, para jamaah haji asal Indonesia sering berulah saat tiba di Tanah Air. Hal ini bisa terjadi karena mereka belajar hal-hal baru di Tanah Suci. 

Apa yang dipelajari kemudian disebarkan, sehingga memantik akar rumput untuk berontak  kepada pemerintah Hindia Belanda. Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda (1986) menyebut, pikiran seperti ini pertama muncul di era Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pada 1810-an.

Kala itu, pencetus Jalan Raya Anyer-Panarukan itu berpikir kalau penduduk pribumi yang pulang Haji kerap menghasut rakyat untuk berontak ketika berpergian. Alhasil, Daendels meminta para jamaah itu untuk mengurus paspor haji sebagai penanda.

Pemikiran seperti ini juga dimunculkan saat Indonesia dijajah Inggris lewat Gubernur Jenderal Thomas Stanford Raffles. Dalam catatannya berjudul History of Java (1817), Raffles bahkan terang-terangan "menyerang" orang pergi haji.

Katanya, orang Jawa yang pergi haji itu sok suci. Karena dengan kesuciannya itu mereka bisa menghasut rakyat dan menjadi ujung tombak perlawanan di kalangan kelompok masyarakat.

Meski begitu, tulis Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), kebijakan politis haji baru diterapkan secara menyeluruh pada 1859 lewat aturan khusus. Aturan ini mengatur secara jelas mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji.

Lewat mekanisme ini, mereka bakal melalui serangkaian ujian.

Apabila lolos ujian, maka mereka diharuskan menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama. Sekaligus juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, yakni jubah ihram dan sorban putih.

Latar belakang aturan ini sebenarnya berangkat dari ketakutan dan sikap traumatis pemerintah Hindia Belanda. Sebab, di abad ke-19, banyak pemberontakan bermula dari mereka yang pulang haji. Salah satu yang terbesar adalah Perang Jawa, dari 1825 hingga 1830.

Jadi, tak heran kalau pemerintah memandang itu semua dengan penuh kewaspadaan. Lewat pencantuman gelar haji, mereka mudah untuk mengawasinya.

Apabila ada pemberontakan, maka pemerintah akan langsung menangkap orang bergelar haji di suatu daerah. Ini tentu lebih efektif dan efisien dibanding harus mencari dalang dari suatu pemberontakan.

Sebab, dalam pikir kompeni, pemberontakan sudah pasti dipelopori jamaah haji.

Dari sinilah, asal-usul penyebutan gelar haji di Indonesia. Sejak aturan tersebut, pemerintah kolonial sama sekali tidak mengendurkan pengetatan itu. Di abad ke-20, ketika ajaran Islam tersiar dari Makkah ke Indonesia, mereka tetap mengawasi ketat eks-jamaah haji.


(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Kado Pernikahan dari Jokowi-Iriana untuk Pasangan Thariq-Aaliyah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular