Uang Sekolah Rp105 Juta Tak Jaminan, Anak Bisa Jadi Korban Bully

Rindi Salsabilla, CNBC Indonesia
Rabu, 21/02/2024 20:00 WIB
Foto: ilustrasi bullying (Pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Binus School Serpong tengah diterpa isu bullying. Kasus ini menjadi besar dan viral karena diduga melibatkan anak artis yang menjadi salah satu pelakunya. 

Terlepas dari dugaan bahwa salah satu pelaku perundungan adalah anak dari selebriti, kasus ini menjadi perhatian karena terjadi di Binus School Serpong. Diketahui, Binus School adalah sekolah internasional di Indonesia yang mengadopsi Kurikulum Cambridge dan Merdeka Belajar.

Kasus ini pun menimbulkan tanda tanya, apakah sekolah internasional dengan biaya pendidikan yang mahal memiliki kualitas pendidikan dan pendampingan siswa yang baik?


Foto: Binus School Serpong. (Dok: Gallery Binus School)

Laman resmi Bisnis School di bisnis.edu memang tidak memberikan informasi biaya pendidikan secara terbuka. Namun sebagai gambaran, di Binus School Simprug, untuk tingkat SMA pada tahun akademik 2015-2016, setiap siswa membayar enrollment fee (uang pangkal) Rp105 juta dan uang SPP bulanan Rp8,7 juta. Biaya pendidikan ini hampir pasti sudah naik jika memperkirakan inflasi selama hampir 10 tahun terakhir.

Pengamat pendidikan, Doni Koesoema, mengatakan bahwa memang tak ada jaminan bahwa kasus perundungan tak akan terjadi di sekolah mahal. Sebab, masalah ini berkaitan erat dengan kualitas pendampingan siswa oleh guru di sekolah.

"Bully tidak terkait sekolah mahal atau murah, tapi terkait dengan kualitas pendampingan siswa. Jadi, masyarakat tidak boleh tertipu dengan harga mahal, tapi sebenarnya kualitas pendidikannya buruk," kata Doni kepada CNBC Indonesia, Rabu (21/2/2024).

Faktor Penyebab Kasus Perundungan di Sekolah

Menurut Founder Pendidikan Karakter Education Consulting ini, ada beberapa faktor yang mendorong perilaku perundungan pada siswa, yakni tidak adanya pendampingan personal dalam perkembangan dan pertumbuhan individu, memiliki masalah dengan orang tua dan teman, hingga ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi.

"Akibat tidak menemukan pendamping dan pembimbing maka mereka mencari jalan keluar sendiri. Akhirnya muncullah kekerasan atau bullying itu," ujar Doni.

"Namun ada faktor lain, yaitu emosi yang tersulut karena rasa benci, tidak suka, merasa dilecehkan, atau hidupnya mungkin dianggap remeh oleh orang lain sehingga untuk mempertahankan harga diri dan kelompok, dia melakukan kekerasan di satuan pendidikan," lanjutnya.

Seiring dengan pernyataan Doni, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Provinsi Banten, Adi Abdillah Marta, mengungkapkan bahwa faktor utama kasus perundungan di lingkungan sekolah adalah anak-anak yang tidak mendapatkan pengawasan penuh dari orang tua dan sekolah.

Maka dari itu, Adi menegaskan bahwa orang tua, guru, dan seluruh stakeholder terkait harus saling bersinergi untuk memberikan pendampingan penuh kepada anak. Ia juga menegaskan, perhatian dan kasih sayang untuk anak harus selalu dipenuhi demi mencegah timbulnya aksi perundungan.

"Orang tua di perkotaan biasanya menyerahkan pola asuh anak sepenuhnya kepada sekolah yang terkadang tidak melakukan pembelajaran secara full day. Jadi, ada beberapa "ruang" kosong dari anak-anak yang tidak terpantau oleh orang tua dan sekolah," jelas Adi kepada CNBC Indonesia, Selasa (20/2/2024).

"Pola asuh yang kurang menciptakan banyak "ruang-ruang" kosong di dalam psikologis anak yang tidak terisi. Kurangnya kasih sayang dan perhatian membuat pergaulannya tidak terawasi sehingga menjadi faktor yang mendasari perundungan," lanjutnya.

Mata pelajaran Budi Pekerti tak cukup cegah bullying

Setiap siswa diajarkan pelajaran Budi Pekerti yang bertujuan untuk membekali para peserta didik terkait nilai-nilai perilaku manusia melalui norma agama, hukum, tata krama, dan sopan santun. Meski demikian, pelajaran ini saja tak cukup untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Sebab, Budi Pekerti seringkali hanya berhenti pada tataran teori, tapi tidak dalam praktek sehari-hari.

"Mata pelajaran Budi Pekerti itu tidak menjamin adanya sikap yang baik dalam diri anak-anak, kecuali di dalam pelajaran itu lebih ditekankan pada sikap dan perilaku. Jadi, teorinya mungkin hanya 10 persen, [sisanya] banyak dilatihkan atau dipraktikkan," papar Doni.

"Permasalahannya adalah apakah metode pengajaran di Budi Pekerti itu lebih melatih, merupakan praktik-praktik keutamaan atau tidak. Kalau hanya [memberi] pengertian saja, ya, tidak ada banyak gunanya," imbuh Doni.

Terkait kurikulum, Doni turut mengkritisi implementasi Kurikulum Merdeka Belajar yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada 2022 lalu. Menurut Doni, kurikulum ini harus dievaluasi atau bahkan dihapuskan.

"Kekerasan di dalam dunia pendidikan saat ini sangat terkait dengan konsep Kurikulum Merdeka yang tidak jelas. Sebenarnya mau ngapain dalam proses pendampingan anak?" ujar Doni.

"Dalam Kurikulum Merdeka, mereka membedakan sikap perilaku dengan nilai akademik. Jadi, Kurikulum Merdeka itu yang dinilai akademiknya saja, sikap siswa tidak dianggap sebagai bagian yang menentukan dari proses pendidikan," lanjutnya.

Menurut Doni, sistem tersebutlah yang menimbulkan mispersepsi pada siswa. Sistem tersebut dinilai membuat para siswa berpikir bahwa sikap dan perilaku tidak begitu penting selama nilai akademik tergolong baik dan bisa naik kelas.

"Ini saya rasa konsep kurikulum yang sangat mengacaukan dan merusak proses pendidikan kita," tegas Doni.

"Kurikulum Merdeka harus segera dievaluasi dan dihentikan, lah, menurut saya. Ini supaya tidak semakin banyak anak-anak terlibat kasus perundungan karena konsep dasar dari Kurikulum Merdeka ini ada yang keliru menurut saya," pungkasnya.


(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Produk China Dominan, Brand Lokal Berharap Insentif Digital