Bagaimana Orang Belanda Ngobrol ke Pribumi Saat Pertama Tiba di RI?
Jakarta, CNBC Indonesia - Narasi sejarah mencatat Belanda adalah negara yang paling lama menjajah Indonesia. Awalnya mereka datang di Banten pada 1596 dengan motif perdagangan. Namun, perlahan motif tersebut berubah jadi politik. Lewat berbagai cara, Indonesia jatuh juga ke tangan Belanda.
Akan tetapi, pernahkah Anda bertanya-tanya: bagaimana cara orang Belanda dan orang Indonesia berinteraksi? Tentu, kita semua tahu bahwa ada perbedaan bahasa antara keduanya, lantas apakah mereka berinteraksi dengan bahasa isyarat?
Pada dasarnya, peristiwa kolonialisme dan imperialisme Eropa mau tidak mau memunculkan kebutuhan berkomunikasi antara orang Eropa dan penduduk lokal, termasuk warga Indonesia atau saat itu disebut Nusantara. Orang Belanda dan pribumi sama-sama ingin mengerti bahasa satu sama lain.
Alhasil, tulis Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indis (2011), terjadi penyederhanaan tata bahasa dan kosa kata. Orang Belanda menyederhanakan bahasanya supaya mudah dimengerti pribumi. Begitu pula dengan orang pribumi yang melakukan penyederhanaan.
"Hal ini mengakibatkan kedua belah pihak dapat berkomunikasi, namun secara terpatah-patah," tulis Djoko.
Meski terpatah-patah, satu hal pasti komunikasi antara keduanya sudah menghasilkan bahasa campuran. Bahasa campuran orang Belanda dengan orang Jawa yang sudah menguasai bahasa Melayu disebut sebagai bahasa peetjoek atau petjoek.
Bahasa petjoek dianggap lebih hina
Pada awalnya, bahasa petjoek lazim digunakan saat melakukan transaksi perdagangan. Namun, perlahan mulai digunakan secara luas sebagai cara berkomunikasi non-formal oleh masyarakat seiring terjadinya percampuran budaya. Biasanya pengguna bahasa ini adalah orang keturunan Belanda dengan ibu Jawa, keturunan Cina, dan orang Timur asing.
Akan tetapi, percampuran bahasa ini tetap memerhatikan aspek superioritas orang Belanda. Mereka ingin bahasanya tetap dominan dalam bahasa campuran tersebut. Orang Belanda biasanya juga tak mau keluarganya ngobrol di rumah menggunakan bahasa campuran Melayu-Belanda.
Mereka tetap ingin menggunakan bahasa Belanda karena dinilai lebih sopan. Selain itu, mereka juga menganggap petjoek adalah bahasa hina karena dipengaruhi oleh orang yang lebih rendah dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini tentu saja kaum pribumi. Atas alasan ini pula, bahasa petjoek lazim digunakan oleh orang miskin dan orang Belanda yang tidak diakui.
Sekalipun ada segregasi dalam kebahasaan, kenyataannya bahasa tersebut tetap digunakan masyarakat luas sebagai cara berkomunikasi selain bahasa Belanda, bahasa Melayu, atau bahasa daerah. Bahkan, di beberapa daerah percampuran tak hanya antara Melayu dengan Belanda, tetapi juga dengan bahasa daerah, seperti Sunda atau Jawa.
(mfa/mfa)