Hukum Mengonsumsi Makanan yang Gunakan Pewarna Kutu Karmin

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
03 October 2023 15:35
Kutu Karmin. (Dok. halalmui)
Foto: Kutu Karmin. (Dok. halalmui)

Jakarta, CNBC Indonesia - Anda mungkin tak sadar selama ini sudah mengonsumsi serangga. Faktanya, ada serangga yang bagian tubuhnya digunakan sebagai pewarna alami, baik untuk makanan maupun tekstil. 

Mengutip Live Science, setiap kali Anda melihat carmine, ekstrak cochineal, atau natural red 4 dalam daftar bahan baku makanan, itu artinya ada sedikit bubuk serangga di dalamnya.

Ekstrak cochineal diekstraksi dari serangga yang disebut cochineal, khususnya betina. Binatang ini adalah spesies serangga yang termasuk dalam ordo yang oleh ahli entomologi disebut sebagai "serangga sejati."

Asal-usul penggunaaan kutu karmin sebagai pewarna makanan

Ketika orang-orang Eropa datang ke Amerika Selatan pada tahun 1500-an, mereka menemukan bahwa suku Aztec memproduksi kain berwarna cerah dengan serangga cochineal alias kutu karmin. Hebatnya, kain tersebut bertahan warnanya untuk waktu yang sangat lama. Tak lama setelah itu, kutu karmin kering menjadi barang dagangan utama.

Saat ini, kutu karmin dipanen terutama di Peru dan Kepulauan Canary, di perkebunan kaktus pir berduri, yang merupakan inang pilihan serangga tersebut. Di sana, serangga tersebut dijemur, dihaluskan, dan dicelupkan ke dalam larutan alkohol asam untuk menghasilkan asam karminat, pigmen yang pada akhirnya menjadi ekstrak karmin atau cochineal. Sekitar 70.000 serangga dibutuhkan untuk menghasilkan satu pon pewarna.

Hingga tahun 2009, cochineal adalah salah satu dari banyak pewarna yang termasuk dalam istilah umum "warna alami" dalam daftar bahan. Tetapi karena cochineal memicu reaksi alergi yang parah pada beberapa orang, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) mewajibkan ekstrak carmine dan cochineal untuk diidentifikasi secara eksplisit dalam daftar bahan.

Fatwa hukum mengonsumsi makanan dengan pewarna kutu karmin

Mengutip CNN Indonesia, ada perbedaan pandangan ulama dalam hal ini. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur menyatakan pewarna dengan bahan karmin atau carmine yang berasal dari serangga sebagai sesuatu yang haram, sehingga tak boleh digunakan dalam bahan pangan atau kosmetika.

Hasil Bahtsul Masail NU Jatim itu memutuskan bahwa bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh dikonsumsi karena najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam madzhab Maliki.


Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan pewarna karmin yang berasal dari serangga cochineal halal dan bisa digunakan untuk berbagai jenis makan dan minuman. Hal ini termaktub dalam Fatwa MUI No. 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal.

"Atas dasar itu, MUI menetapkan fatwa bahwa penggunaan Cochineal untuk kepentingan pewarna makanan hukumnya halal sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Soleh dalam keterangannya.

MUI menganggap serangga cochineal hidup di atas kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor. Hewan ini mempunyai banyak persamaan dengan belalang, termasuk darahnya yang tidak mengalir.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]

Tags
Recommendation
Most Popular