
China Mau Penjarakan Warganya yang Pakai Baju Seperti Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah China mendapat tentangan dari masyarakat setempat setelah merancangkan Undang-undang (UU) yang melarang ucapan kalimat dan pakaian bersifat 'merugikan semangat rakyat Tiongkok.'
Melansir dari BBC, jika RUU tersebut disahkan, masyarakat China yang dinyatakan bersalah dapat dikenai sanksi denda atau dipenjara. Namun, hingga saat ini belum diketahui secara pasti apa saja yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran.
Sementara ini, RUU tersebut mengusulkan bahwa orang yang menggunakan atau memaksa orang lain untuk menggunakan pakaian dan simbol bersifat "menghancurkan semangat atau melukai perasaan bangsa China" dapat dipenjara selama 15 hari atau denda hingga 5 ribu yuan atau sekitar Rp10,4 juta (asumsi kurs Rp2.089/yuan).
![]() |
Selain itu, pihak yang membuat atau menyebarkan artikel, ucapan, atau pidato yang "menghancurkan semangat atau melukai perasaan bangsa China" juga akan mendapat hukuman serupa.
Tidak hanya itu, RUU yang diusulkan juga melarang masyarakat China untuk menghina, mencaci, atau merusak nama-nama pahlawan lokal dan pahlawan yang gugur, serta merusak patung-patung peringatan di China.
RUU terbaru di China mengusulkan bahwa orang yang menggunakan atau memaksa orang lain menggunakan pakaian dan simbol yang bersifat "menghancurkan semangat atau melukai perasaan bangsa" dapat dipenjara selama 15 hari atau denda hingga 5 ribu yuan (sekitar Rp10 juta). |
RUU ini memanen kontra dari para pengguna media sosial dan pakar hukum China. Dalam kritiknya, masyarakat China menyerukan pemerintah untuk tidak melakukan penegakan hukum yang berlebihan.
Selain itu, warganet China juga mempertanyakan bagaimana penegak hukum bisa menentukan secara sepihak bagaimana "perasaan" bangsa China "terluka."
"Apakah mengenakan setelan jas dan dasi dianggap melukai perasaan? Marxisme berasal dari Barat. Apakah keberadaannya di China juga akan dianggap sebagai melukai perasaan nasional?" tulis salah satu pengguna Weibo, dikutip Jumat (8/9/2023).
Profesor hukum di Chinese University of Political Science and Law, Zhao Hong, mengatakan bahwa kurangnya kejelasan dalam RUU tersebut bisa mengarah pada pelanggaran hak-hak pribadi.
"Bagaimana jika penegak hukum, seperti polisi, memiliki pandangan pribadi tentang luka dan menilai moral orang lain di luar cakupan hukum," tulisnya dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada Rabu (6/9/2023).
Dalam artikel yang sama, Zhao mengutip salah satu kasus, yakni ketika seorang perempuan ditahan di kota Suzhou akibat menggunakan pakaian tradisional Jepang, Kimono. Pada kasus itu, perempuan tersebut dituduh "memicu pertengkaran dan memprovokasi masalah" karena mengenakan Kimono.
Selain itu, pada Maret lalu, polisi menahan seorang perempuan yang mengenakan seragam militer Jepang palsu di pasar malam.
Pada Agustus lalu, kelompok yang menggunakan pakaian dengan gambar pelangi juga ditolak untuk masuk ke konser penyanyi Taiwan, Chang Hui-mei, di Beijing.
"Mengenakan kimono dianggap melukai perasaan bangsa China dan makan makanan Jepang dianggap mengancam semangat? Sejak kapan perasaan dan semangat bangsa China yang telah diuji waktu menjadi begitu rapuh?" tulis seorang komentator sosial yang menulis dengan nama pena Wang Wusi.
Rancangan undang-undang ini adalah salah satu contoh penerapan Presiden China, Xi Jinping, untuk mendefinisikan nilai ideal masyarakat China sejak ia naik ke kepemimpinan pada tahun 2012.
Pada 2019, Partai Komunis China di bawah pimpinan Xi mengeluarkan "panduan moral" yang mencakup petunjuk, seperti bersikap sopan, bepergian dengan jejak karbon yang lebih rendah, dan memiliki "iman" kepada Xi dan partai.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bisnis Fesyen Seret, GAP Mau PHK 500 Karyawan