
Bukan Fatmawati, Ini Wanita yang Temani Bung Karno dari Nol

Jakarta, CNBC Indonesia - Narasi perempuan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mayoritas terfokus pada kisah Fatmawati. Kisah itu muncul karena Fatmawati dikenal sebagai istri Sukarno yang otomatis jadi ibu negara pertama Indonesia. Fakta ini jelas tidak bisa dibantah karena posisinya sebagai ibu negara sudah pasti jadi sorotan orang.
Meski begitu, tanpa mengerdilkan peran penting Fatmawati, narasi sejarah sering melupakan sosok perempuan lainnya di balik sukses Sukarno. Perempuan itulah yang menemani Sukarno dari nol dan hidup bersama-sama di masa sulit selama puluhan tahun, sebelum akhirnya berpisah dua tahun sebelum Indonesia merdeka. Perempuan itu bernama Inggit Garnasih, kelahiran Bandung dan istri ke-2 Sukarno.
Berawal dari Kos-kosan
![]() |
Pertemuan pertama Sukarno dengan Inggit terjadi di Bandung pada 1920. Ketika itu, Inggit (32) adalah pemilik kos-kosan yang ditempati Sukarno. Sedangkan Sukarno (21) adalah mahasiswa Technische Hoogeschool te Bandoeng, kini Institut Teknologi Bandung. Keduanya pun bukan individu lajang.
Sang ibu kos sudah punya suami bernama Haji Sanusi. Namun, hubungan Inggit-Sanusi tak baik-baik saja. Sanusi terlampau sibuk dan jarang di rumah, sehingga Inggit merasa kurang diperhatikan.
Sementara Sukarno sudah punya istri bernama Siti Oetari yang tinggal di Surabaya. Karena Sukarno kuliah di Bandung, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Jadi, bisa dikatakan dalam satu rumah kosan ada dua orang yang secara de facto disebut single. Dan di sinilah awal ceritanya.
Hari demi hari berlalu, Sukarno dan Inggit pun semakin akrab. Mereka saling bercengkerama, menunjukkan kepedulian dan berbagi kegembiraan. Hidup Sukarno selama di Bandung pun diurusi oleh Inggit. Hubungan mereka berdua bukan sekedar mahasiswa-ibu kos. Sukarno mengakui hubungannya seperti adik-kakak. Hingga akhirnya terjadi satu peristiwa yang mengubah kisah romansa keduanya.
"Pada awalnya kami menunggu. Selama beberapa bulan kami menunggu dan tiba-tiba dia berada dalam rengkuhanku. Ya, itulah yang terjadi. Aku menciumnya. Dia menciumku. Lalu aku menciumnya kembali dan kami terperangkap dalam rasa cinta satu sama lain. Dan semua itu terjadi selagi ia masih istri dari Sanusi dan aku suami dari Oetari," tutur Sukarno kepada Cindy Adams yang dituangkan dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965: 68).
Dari kejadian itulah muncul keputusan penting di benak Sukarno: mantap berpisah dengan Oetari. Enam bulan kemudian, Sukarno pun mengembalikan Oetari kepada orang tuanya, H.O.S Tjokroaminoto. Begitu pula Inggit yang segera menceraikan Sanusi. Keduanya lalu menikah di Bandung tahun 1923 dan memulai biduk rumah tangga yang tidak mudah.
Bersama di masa sulit
Ketika memulai pernikahan, Sukarno sedang galak-galaknya mengkritisi pemerintah kolonial. Berbagai orasi lantang dan pendapatnya menjadi perhatian banyak orang, sehingga pemerintah mengambil tindakan tegas. Imbasnya, Sukarno pun ditahan. Awalnya dia ditahan di Penjara Banceuy lalu dipindah ke Penjara Sukamiskin. Di masa-masa sulit inilah, Inggit selalu menemani. Dia tak pernah mundur sejengkal pun dari sisi Sukarno. Bagi Inggit, sebagai istri, dia juga harus menemani perjuangan suaminya di kondisi apapun. Termasuk mengambil peran sebagai kepala keluarga.
Sebagaimana dipaparkan The Uncensored of Bung Karno (2016), Inggit diketahui berbisnis jamu, rokok dan menjadi penjahit keliling. Seluruh keuntungan yang diperoleh tak digunakan untuk mencukupi hidupnya sendiri, melainkan juga Sukarno di penjara. Berbekal uang hasil dagang dia bisa sering mengunjungi Sukarno. Tercatat dia datang dua kali seminggu menempuh perjalanan dengan kaki sembari membawa titipan untuk suaminya, dari mulai makanan hingga buku. Selama berkunjung Inggit intens ngobrol bersama Sukarno sebelum akhirnya dipisahkan oleh jam besuk.
Kegiatan ini kemudian menjadi rutinitas mingguan yang selalu dilakukan Inggit untuk menemani suaminya di penjara. Bahkan, ketika Sukarno diasingkan ke Flores (1933) dan Bengkulu (1938), Inggit selalu berada di sisinya selama bertahun-tahun. Sejak awal menikah hingga tinggal di Bengkulu keduanya sudah menjalin hubungan selama 15 tahun.
![]() |
Saat tinggal di Bengkulu inilah Sukarno berkenalan dengan anak seorang pimpinan Muhammadiyah yang juga muridnya, Fatmawati. Awalnya hubungan berjalan sebatas guru dan murid. Namun, masih mengutip buku karya Cindy Adams, Sukarno mengakui hubungannya dengan Fatmawati mulai berubah.
Singkat cerita, muncul perasaan menyukai dari diri Sukarno ke Fatmawati. Alasannya bukan soal kecantikan Fatmawati, tetapi juga keinginan presiden RI ke-1 itu untuk punya anak kandung. Sebab, selama hampir 20 tahun bersama Inggit, dia belum dikaruniai anak kandung.
"Istriku sudah mendekati usia 53 tahun. Aku masih muda, penuh vitalitas, dan memasuki usia terbaik di puncak kehidupan. Aku menginginkan anak. Istriku tidak dapat memberikannya padaku. Aku menginginkan kegembiraan hidup. Inggit tidak lagi memikirkan soal-soal seperti itu," ucap Sukarno yang saat itu berusia 37 tahun kepada Cindy Adams (1965: 171).
Sukarno kemudian meminta izin kepada Inggit untuk menikahi Fatmawati. Jelas, Inggit menolak dan tak ingin dimadu apapun rayuan Sukarno. Sejak itulah perjalanan rumah tangga super sulit Sukarno-Inggit selama 20 tahun berakhir pada tahun 1943, dua tahun sebelum Indonesia merdeka.
Inggit kemudian bergegas pulang ke Bandung. Seandainya Sukarno tak berpaling, Inggit-lah yang tercatat sebagai ibu negara pertama Indonesia. Meski begitu, banyak orang menyebut Inggit sebagai 'ibu kemerdekaan' karena peran besarnya di balik kesuksesan Bung Karno. Tak heran beberapa waktu lalu Inggit sempat diusulkan jadi pahlawan nasional.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kisah Cinta Sukarno, Ditinggal Fatmawati yang Menolak Dimadu
