Kacau! Calon Dokter RI Ini Ngaku Diperas Dosen Ratusan Juta

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
Sabtu, 22/07/2023 08:00 WIB
Foto: REUTERS/Gleb Garanich

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) mengaku, kasus perundungan (bullying) di lingkungan perguruan tinggi kedokteran menjadi sebuat tradisi alias bukan hal yang baru.

Menteri Kesehatan (Menkes RI), Budi Gunadi Sadikin menyebut, bahkan 'tradisi' bullying tersebut telah terjadi selama puluhan tahun. Hal tersebut kerap terjadi pada pendidikan dokter umum, internship, dan dokter spesialis.

Dalam beberapa kasus, para calon dokter yang sedang menempuh pendidikan 'diperas' habis-habisan secara fisik, mental, hingga finansial. Mirisnya, 'pemerasan' ini juga dilakukan oleh para dosen.


Pemerasan Dosen: Beli Kamera Mahal hingga Gathering di Hotel Mewah

Putri (bukan nama sebenarnya), calon dokter spesialis yang tengah menempuh pendidikan di sebuah universitas negeri di Pulau Jawa, membeberkan fakta bagaimana ia dan teman-temannya diperas oleh para dosen dan konsulen.

"Setelah keterima [Program Pendidikan Dokter Spesialis/PPDS], dipanggil, nih. Satu kelompok yang diterima, itu dimintai uang, [jumlahnya] tergantung dari rapat dosennya. Uangnya entah satu orang Rp50 juta atau Rp75 juta," ujar Putri kepada CNBC Indonesia, Kamis (20/7/2023).

"Pokoknya, setiap ada residen (peserta PPDS) baru harus memberikan sesuatu. Pernah ada residen yang diminta beliin kamera. Kamera itu bukan yang murah, harganya Rp40 jutaan gitu, dosennya menyuruh."

"Katanya, sih, untuk biaya kehidupan selama PPDS, tapi pada kenyataannya kita tetap ada pengeluaran di luar itu," keluhnya.

Tak cuma itu, menurut Putri, dosen juga meminta para peserta PPDS untuk membeli alat praktik milik rumah sakit, padahal harusnya itu semua adalah kewajiban rumah sakit, bukan peserta PPDS.

Selain itu, ada pula dosen yang memeras dengan meminta fasilitas di luar kebutuhan utama pendidikan kedokteran spesialis, seperti minta dibuatkan studio podcast hingga dibelikan kamera mahal.

Menurut Putri, para dosen beralasan bahwa fasilitas tersebut akan digunakan untuk menunjang proses pendidikan para peserta PPDS, seperti kamera untuk memotret kondisi pasien. Karenanya, kamera disimpan di RS.

"Ada salah satu dosen yang suka minta aneh-aneh, misalnya 'Kita bikin podcast, nih, di YouTube. Sekarang peserta PPDS semester satu bikin studio podcast, ya,'. Studio podcast, kan, mahal, ya, alat-alatnya. Semuanya lengkap yang bayar [peserta PPDS] semester satu," ungkap Putri.

"Pokoknya, setiap ada residen (peserta PPDS) baru harus memberikan sesuatu. Pernah ada residen yang diminta beliin kamera. Kamera itu bukan yang murah, harganya Rp40 jutaan gitu, dosennya menyuruh," paparnya.

Di luar RS, para peserta PPDS kembali diperas oleh para dosen untuk acara family gathering. Tak tanggung-tanggung, acara gathering digelar di hotel atau villa, mengundang artis ternama, hingga menyewa ballroom hotel untuk penampilan artis, makan siang, atau gala dinner.

"Anak-anak semester 1, 2, dan 3 itu yang ngebayarin semuanya," ungkapnya.

Membayar biaya pesawat untuk dosen dan keluarganya

Selama masa pendidikan berlangsung, Putri mengatakan tidak jarang RS mengadakan pertemuan ilmiah para dokter. Namun, seluruh biaya yang diperlukan bukan berasal dari RS, melainkan dari dompet para peserta PPDS.

Putri dan rekan-rekannya sesama calon dokter spesialis diminta menyediakan transportasi, seperti kereta atau pesawat, untuk dosen dan keluarganya.

"Nanti, kan, kita telepon satu-satu dosen, 'Dok, besok acara pertemuan ini berkenan mau dipesankan berapa tiket?' gitu. Nanti dosennya ada yang, 'Oh, yaudah tolong pesankan semua, ya, seperti biasa,' gitu," cerita Putri.

"Semua, tuh, kayak dia, istrinya, dan anaknya. Misalnya [ada] lima [orang], ikut semua," beber Putri.

Mirisnya, perundungan juga dilakukan para senior sesama calon dokter spesialis. Akibatnya, tidak sedikit peserta PPDS yang memutuskan untuk menyerah dan berhenti untuk melanjutkan pendidikannya.

Tak kuat dengan tradisi toksik itu, ada juga calon dokter mengalami depresi, hingga mengonsumsi obat antidepresan akibat tingginya tekanan mental selama pendidikan kedokteran spesialis.

Langkah Kemenkes RI

Menanggapi tingginya kasus bullying di lingkungan RS pendidikan kedokteran spesialis, Budi menegaskan bahwa Kemenkes akan secara tegas memutus praktik yang telah terjadi selama puluhan tahun dan turun-menurun tersebut.

Menkes mengatakan bahwa Kemenkes telah menyediakan situs web dan saluran siaga (hotline) bagi para korban perundungan di rumah sakit vertikal Kemenkes.

Sistem laporan perundungan di rumah sakit vertikal Kemenkes dapat diakses melalui perundungan.kemkes.go.id dan hotline 0812-9979-9777. Nantinya, data laporan yang masuk akan langsung diterima oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes.

"Kita ada dua opsi. Kalau berani ngasi nama dan NIK, saya akan bilang ini hanya masuk ke tempat Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan. Enggak masuk ke yang lain," kata Budi.

"Jadi enggak usah khawatir nanti seniornya, rumah sakit, atau direktur rumah sakit lihat, tidak. Ini (laporan korban perundungan) masuk ke Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan," tegasnya.

Selain memberikan hukuman bagi pelaku, Kemenkes berkomitmen untuk memberikan perlindungan bagi korban perundungan hingga pendidikan selesai, yakni berupa perlindungan hukum dan psikologi bila dibutuhkan.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: BLACKPINK Comeback! Lagu Baru Bakal Guncang Panggung Dunia