CNBC Insight

Gara-Gara Kompeni, Orang Jawa Dianggap Pemalas & Lambat

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
20 July 2023 07:20
Gamelan (Bayu Ardi Isnanto/detikcom)
Foto: Ilustrasi orang Jawa (Bayu Ardi Isnanto/detikcom)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hidup di bawah kolonialisme selama ratusan abad menimbulkan dampak besar bagi masyarakat negeri koloni. Bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga munculnya stereotip ras oleh penjajah. Indonesia termasuk yang menerima getahnya dari Belanda.

Kolonialis Belanda kerap memandang bahwa penduduk pribumi Indonesia, khususnya orang Jawa, sebagai orang yang malas bekerja. Lebih lanjut, mereka juga menyebut masyarakat Jawa licik dan lambat dalam bertindak. Dalam sudut pandang Belanda, penyebabnya karena kondisi iklim. Cuaca panas membuat penduduk hanya tinggal diam tanpa harus bekerja keras.

Sekolah Peninggalan Kolonial Belanda SDN PISANGSAMBO 1 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)Foto: Sekolah Peninggalan Kolonial Belanda SDN PISANGSAMBO 1 (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Dari sinilah, tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (1996), Belanda menyebarkan propaganda stereotip itu selama ratusan abad lewat narasi "kemalasan sejak lahir."

Namun, pandangan itu pada akhirnya sukses dipatahkan pada tahun 1988 ketika peneliti Malaysia Syed Hussein Alatas melakukan penelusuran sumber-sumber masa kolonial yang hasilnya dituangkan dalam riset berjudul Mitos Pribumi Malas (1988). Riset itu tidak hanya menjadikan orang Indonesia sebagai objek, tetapi juga penduduk Melayu dan Filipina yang sama-sama dipandang pemalas oleh Inggris dan Spanyol.

Dalam penelusuran Alatas, awal mula kemunculan stereotip itu tidak terlepas dari kebijakan pihak koloni yang ingin membuka perkebunan baru. Sebagai contoh saat pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Jawa pada 1830. Sebagai catatan, konsekuensi dari tanam paksa adalah mengharuskan penduduk Jawa membuka perkebunan dan menanam tanaman baru sesuai keinginan pemerintah Belanda.

-Di Kota tangerang ada pemukiman padat penduduk di kelurahan Larangan Selatan yang mendeklarasikan diri menjadi Kampung batik Kembang Mayang. Nantinya corak batik Kembang Mayang akan dipatenkan agar menjadi ciri khas Kota Tangerang. Pembentukan Kampung batik kembang mayang berangkat dari inisiatif warga Jalan Mayang RT 02 RW XI Larangan Selatan, Kota Tangerang pada pertengahan tahun 2017. Foto: Ilustrasi orang Jawa (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Tentu, saat pelaksanaan tidak semua penduduk tunduk kepada pemerintah koloni untuk mentaati kebijakan tersebut. Pada titik inilah mereka yang membangkang itu disebut malas oleh pihak Belanda. Lewat tuduhan malas, Belanda mencari pembenaran atas sikap penindasan terhadap orang Jawa.

Kasus seperti ini juga terjadi di penduduk Malaysia dan Filipina. Saat penjajah membuka perkebunan baru dan meminta penduduk bekerja, terjadilah penolakan besar-besaran dari kalangan pribumi. Dari sinilah penjajah mencap mereka sebagai pemalas yang tidak mau bekerja.

Artinya sikap malas yang dilakukan oleh para penduduk dikategorikan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Mereka sebenarnya tidak benar-benar malas, tetapi hanya menolak bekerja di perkebunan dan tidak ingin terlibat dalam kegiatan ekonomi kapitalisme perkotaan yang dikuasai pihak penjajah.

Lebih lanjut, Alatas menyebutkan bahwa orang Jawa, Melayu dan Filipina adalah pekerja keras yang rajin di bidangnya masing-masing. Hanya saja, mereka tidak bersedia menjadi alat produksi kapitalis dan tidak mau bekerja sebagai budak. Jika benar penduduk bermalas-malasan, maka sudah pasti jalan cerita sejarah akan berbeda. Penduduk akan terus menghamba pada pemerintah koloni tanpa ada muncul rasa perlawanan untuk bebas dan merdeka.

Dengan demikian, Alatas menyimpulkan stereotip yang dihembuskan oleh penjajah berfungsi sebagai landasan dan legitimasi atas praktek penindasan dan eksploitasi yang bertujuan untuk memupuk kekayaan mereka. Melalui legitimasi pemalas tersebut diharapkan dapat menjadi pembenaran atas tindakan sewenang-wenang mereka terhadap pribumi.

Sayangnya, meski mereka sudah pergi dan kolonialisme berakhir, pandangan tersebut sulit untuk dilepaskan sehingga memunculkan istilah 'jam karet' yang dalam KBBI berarti "waktu tidak tepat, terlambat dari waktu yang telah ditentukan".

Namun, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya (1996), istilah 'jam karet' mengandung hal yang lebih dari sekedar bahan ledekan. Di dalam kata tersebut terkandung penolakan tegas penduduk pribumi terhadap kebijakan pemerintah kolonial di masa lalu. 


(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]

Tags
Recommendation
Most Popular