
Wahai Manusia, Tanda Kiamat Kian Jelas Tiap Beli Baju Baru

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah menjadi pengetahuan umum kalau pakaian adalah kebutuhan primer karena tidak tergantikan dan selalu dibutuhkan. Agar area tubuh tertentu tertutup dan terhindar dari cuaca ekstrem, maka manusia perlu membeli pakaian.
Meski demikian, tidak sedikit manusia yang kerap impulsif saat berbelanja, termasuk saat membeli pakaian di luar kebutuhan. Akibatnya, pakaian-pakaian tersebut hanya tersimpan di lemari saja.
Terkait ini, mengutip perkataan sosiolog Sophie Woodward kepada BBC, 12% perempuan tercatat lebih banyak menyimpan pakaian mereka di lemari. Para perempuan beralasan baju itu tidak lagi muat, sudah kuno dan sengaja dibeli hanya untuk pemenuhan hasrat.
Pada titik inilah, disadari atau tidak, kebiasaan ini bisa mempercepat kiamat iklim di muka bumi.
![]() FILE PHOTO: Labourers work at a garment factory in Bac Giang province, near Hanoi October 21, 2015. REUTERS/Kham |
Perlu diketahui, berdasarkan riset "Waste Couture: Environmental Impact of Clothing Industry" (Environmental Health Perspectives, 2007) oleh Luz Claudio, setiap langkah dari proses hadirnya pakaian memiliki potensi dampak lingkungan yang berbahaya bagi makhluk hidup.
Misalkan, saat memproduksi satu kaos katun yang berbahan dasar kapas. Sebelum diproduksi, produsen atau pihak lain, perlu menanam tanaman kapas, yang untuk tumbuh sangat bergantung kepada air dan pestisida dalam jumlah besar. Keberadaan pestisida tentu bisa membuat rusak lingkungan.
Setelah dipanen, kapas kemudian diproduksi di pabrik. Saat fase inilah masalah terjadi.
Berdasarkan laporan CNN International, kapas yang kemudian diubah menjadi kain melibatkan banyak zat kimia perusak lingkungan. Agar berkualitas baik, kain berulangkali dicelupkan ke dalam pemutih dan formalin. Belum lagi, untuk diberi warna diperlukan cairan pewarna pakaian.
Jika diperlukan warna lebih menonjol, maka pakaian bakal lebih lama dicelupkan ke cairan pewarna. Ini biasanya terjadi pada proses pewarnaan denim. Laman Mongabay menyebut pewarnaan denim sangat merusak lingkungan dan tidak berkelanjutan.
Pada akhirnya, berbagai cairan yang dipakai berujung dibuang asal-asalan hingga mencemari air tanah. Jika Anda menemukan sungai berbusa atau berubah warna, maka inilah bukti pencemaran limbah tekstil, yang jumlahnya menurut Boston University mencapai 92 juta ton per tahun. Atau setara satu truk sampah tiap detik.
Apabila rangkaian proses ini selesai, masalah baru pun muncul setelah pembelian pakaian.
Proses pencucian pakaian rupanya juga merusak lingkungan, khususnya jika pakaian berbahan dasar sintesis berupa poliester. Mengutip tulisan Morgan McFall di World Economic Forum, proses pencucian poliester mampu melepaskan emisi karbon 2-3 lipat dibanding kapas.
Parahnya, poliester tidak terurai dalam air, sehingga saat dicuci ribuan mikroplastik ikut terlepas ke dalam air. Lalu menempel di makhluk hidup dalam waktu lama hingga menimbulkan sakit.
Atas dampak besar ini, PBB bahkan menyebut industri pakaian bertanggungjawab atas seperlima polusi air dunia dan 10% emisi gas rumah kaca atau 1,2 miliar ton gas.
Bukti nyata kiamat iklim akibat industri tekstil
Kiamat iklim atas hal ini memang tidak dirasakan di negara besar yang tidak ada industri tekstil. Namun, bagi negara industri tekstil, kiamat jelas sudah dirasakan.
Ambil contoh di China, situs Ecowatch menyebut 70% sungai dan danau telah terkontaminasi 2,5 juta limbah tekstil. Lalu, di Bangladesh, ada sungai yang sangat beracun dan tidak bisa dipakai sama sekali.
Lalu, apa solusinya?
Mendaur ulang pakaian bukanlah solusi terbaik. Dalam laporan Vogue (2022), daur ulang justru tidak berguna. Penyebabnya, karena sejauh ini hanya sedikit pakaian yang bisa didaur ulang. McKinsey mencatat hanya 12% limbah pakaian saja yang bisa didaur ulang. Sisanya, jelas dibuang.
Maka, satu-satunya cara adalah mengubah kebiasaan. Bisa membeli pakaian berjenis slow fashion, yang mahal tapi awet bertahun-tahun. Bisa juga dengan rutin membeli atau mengakuisisi baju-baju bekas (thrifting).
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Orang Jepang Terancam Puasa Makan Sushi, Ini Alasannya
