Obituari
Nani Wijaya, Penari Andalan Sukarno & Legenda Aktris RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah sejak belia Nani Wijaya bersentuhan dengan dunia seni. Sejak usia 6 tahun dia sudah diarahkan orang tuanya untuk menari di salah satu sanggar di Cirebon. Karenanya dia fasih dan menguasai tarian Sunda dan Jawa klasik.
Kepandaiannya melenggak-lenggok di panggung membuat banyak terpukau hingga akhirnya dia ditarik menjadi anggota perkumpulan tari Tunas Mekar pada 1957. Perkumpulan ini adalah salah satu grup tari termahsyur di Jakarta pada tahun 1950-an. Di sana dia mendalami tari serampang dua belas.
Seiring waktu, perempuan kelahiran 10 November 1944 ini makin naik daun. Gerakan tariannya sudah menyatu dengan alunan musik. Sangat enak dipandang dan menghibur.
Dalam uraian Ajip Rosidi di Apa Siapa Orang Sunda (2003), di usia belum 20 tahun dia sudah keluar-masuk Istana Negara Jakarta. Tiap kali ada acara kenegaraan, pasti Nani Wijaya dipanggil tim kepresidenan Sukarno untuk unjuk kebolehan. Biasanya dia menari bersama temannya, Irawati dan Indrawati dari Bandung.
Tak semua orang bisa datang ke Istana, apalagi tampil di depan para pejabat. Pada titik inilah Nani Wijaya cukup beruntung dan menjadikan hal ini sebagai portofolio andalannya. Berkat ini dia sukses mengikuti pentas tari di berbagai dunia.
Tahun 1959 adalah titik balik kehidupannya. Di tahun itu dia berhasil meraih juara di suatu festival tari dan dilirik oleh Nurkande, petinggi dari perusahaan film Anom Pictures.
Nurkande mengajak Nani untuk menjadi pemain pembantu di film "Darah Tinggi" besutan Lilik Sujio yang tayang pada 1960. Dia hanya berperan sebagai anak gadis penghuni kost-kostan yang sakit-sakitan.
"Setelah dapat tawaran itu, ayah saya mengizinkan. Namun, katanya, jangan sampai berbuat hal-hal memalukan," kenang Nani, dikutip dari buku Ajip Rosidi, yang kelak menjadi suaminya itu.
Tak disangka, Nani tampil sukses dan memukau. Film "Darah Tinggi" menjadi pintu masuk buat Nani untuk beralih dari penari andalan Sukarno ke dunia perfilman.
Sejak itu dia mulai menjadi aktris dan pemain utama di berbagai film, seperti "Di Lereng Gunung Kawi" (1961), "Kami Bangun Hari Esok" (1964), "Tikungan Maut" (1966), dll.
Dari sekian banyak film yang diperankan, barangkali hanya "Yang Muda yang Bercinta" (1978) dan "Kartini" (1983), yang membawa Nani di puncak kesuksesan. Sebab, lewat dua film karya Sjumandjaja itu dia mendapat Piala Citra sebagai Aktris Pendukung Terbaik.
Sebagai aktris muda, belum genap 40 tahun saat itu, Nani sudah mengalahkan aktris-aktris senior lain. Dan ini adalah pencapaian yang belum bisa disusul oleh pemain film lain di zamannya.
Sejak itu, karier Nani Wijaya makin moncer. Berbagai film dan sinetron terkenal dibintanginya. Mungkin, salah satu yang paling ikonik di benak masyarakat saat dia tampil menjadi karakter Emak di Bajaj Bajuri (2002-2007).
Film berlatar kehidupan Betawi dan Jakarta itu membuat Nani menjadi rising star dan selalu diingat. Ceroboh, kocak, dan mata duitan, terekam jelas di benak masyarakat sebagai citra Nani di Bajaj Bajuri.
Seluruh perjalanan karier Nani harus terhenti pada 16 Maret 2023. Tepat hari ini, penari andalan Sukarno dan legenda aktris RI itu menghembuskan nafas terakhirnya. Usianya pungkas, tetapi kerja-kerja perfilmannya tetap abadi dan digemari.
[Gambas:Video CNBC]
(mfa/mfa)