Mengenal Komunitas La Sape di Kongo, Hidup Miskin Tapi Gaya

Halimatus Sadiyah, CNBC Indonesia
17 February 2023 11:15
TO GO WITH STORY BY HABIBOU BANGRE
Members of the
Foto: AFP via Getty Images/AFP

Jakarta, CNBC Indonesia - Ada banyak cara yang dilakukan orang untuk mencari kebahagiaan. Begitupun, setiap orang memiliki bentuk kebahagiaannya masing-masing, meski terkadang hal itu tak masuk akal bagi sebagian orang lain. 

Salah satu contoh kasus yang cukup esktrem ada di Republic of Congo dan Democratic Republic of Congo, dua negara di Benua Afrika. Di negara tersebut, ada komunitas yang disebut La Sape. Komunitas ini terkenal karena gaya berpakaian mereka yang trendy, tak jarang mengenakan busana rancangan desainer.

Meski memakai pakaian mahal, mereka bukan orang kaya. Para anggota komunitas La Sape adalah kaum pekerja, ada yang supir taksi, petani, tukang kayu, dan lain sebagainya. 

Apa yang mendasari gaya hidup La Sape? Dan seperti apa asal-usul komunitas ini?

La Sape (Tangkapan Layar via Instagram @maximepivot)Foto: La Sape (Tangkapan Layar via Instagram @maximepivot)

Semua berawal dari masa penjajahan...

La Sape adalah singkatan dari Société des ambianceurs et des personnes elegantes atau yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Society of Atmosphere-setters and Elegant People.

Asal-usul La Sape diyakini bermula di awal abad ke-20 di masa penjajahan Belgia-Prancis di mana budak Kongo bekerja untuk mendapatkan pakaian bekas.

Di luar jam kerja, para pria Kongo mulai berpakaian seperti "pria Prancis" yang fashionable, ditandai dengan pakaian warna-warni, sepatu mewah, aksesoris seperti topi bowler, tongkat, dan kacamata hitam. Mengenakan pakaian seperti itu, mereka merasa keren dan mendapatkan energi serta kegembiraan.

La Sape (Tangkapan Layar via Instagram @maximepivot)Foto: La Sape (Tangkapan Layar via Instagram @maximepivot)

Orang-orang ini disebut sapeurs (atau sapeuses bagi perempuan).

Pada saat itu, La Sape adalah bentuk ekspresi sosial dari orang-orang yang pernah dijajah. Sapeurs menggunakan gerakan ini sebagai pelarian dari kesengsaraan mereka, yang kemudian menjadi inspirasi bagi komunitas lain.

Namun, mengutip Al Jazeera, saat ini La Sape adalah ideologi gerakan tentang menjadi bahagia dan elegan bahkan jika seseorang sebenarnya kekurangan makan.

Namun, La Sape lebih dari sebuah subkultur. Ini adalah bagian penting dari budaya Kongo. Bahkan, para politisi dan musisi menghormati gerakan ini.

"Bagi saya, La Sape hanyalah tentang kebersihan: Saya merasa nyaman dengan setelan Ozwald Boateng saya, jadi saya memakainya," kata Aime Champaigne, salah satu pengikut gerakan La Sape.

Namun demikian, orang Kongo yang skeptis tentang La Sape mendefinisikan gerakan ini sebagai obsesi - kecanduan yang tidak dapat dihentikan bahkan jika Anda merasa itu salah.

Pakaian desainer

La Sape (Tangkapan Layar via Instagram @maximepivot)Foto: La Sape (Tangkapan Layar via Instagram @maximepivot)

Menurut Tariq Zaidi, penulis buku Sapeurs: Ladies and Gentlemen of the Congo, seorang Sapeur rela menabung selama bertahun-tahun demi mengumpulkan uang hingga US$ 2.000 atau sekitar Rp 28 juta yang kemudian digunakan untuk membeli sebuah jas trendi rancangan desainer ternama.

Anggota La Sape tak sudi pakai barang palsu. Dengan penghasilan yang pas-pasan, mereka menabung sedikit demi sedikit sampai memiliki cukup uang untuk membeli setelan jas yang mereka idam-idamkan.

"Mereka lebih suka menghabiskan US$ 100-200 untuk membeli kemeja daripada menabung untuk membeli rumah atau mobil atau sepeda motor," kata Zaidi, dalam sebuah wawancara dengan Vogue Scandinavia, dikutip Jumat (17/2/2023).

Prioritas mereka bukan kestabilan ekonomi, tapi tampil trendi dan kalau bisa menjadi trend-setter di komunitasnya.


(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan Komunitas La Sape, Hidup Miskin Tapi Penuh Gaya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular