
Kenapa Ada Orang Kaya yang Arogan dan Kurang Ajar Ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemunculan pandemi Covid-19 menjadi lensa untuk melihat kedermawanan orang-orang kaya. Di luar negeri, pendiri Microsoft Bill Gates menjadi sosok yang paling dikenal untuk urusan ini. Lewat yayasannya, bekas orang terkaya di dunia itu memberikan US$ 2 miliar untuk mengatasi Covid-19.
Sementara di Indonesia, sudah tak terhitung berapa banyak uang dikeluarkan orang kaya untuk menanggulangi pandemi di tanah air.
Bagi awam, tindakan ini memberikan citra kalau orang kaya memiliki standar moral lebih tinggi. Mereka lebih budiman dan baik hati dibanding orang miskin.
Namun, kasus ini hanyalah contoh positif dari hubungan kekayaan dengan perilaku manusia.
Pada sisi lain, tak sedikit pula orang kaya raya di luar sana yang perilakunya tidak bermoral alias kurang ajar. Ada yang korupsi, dalang penipuan investasi, sampai berkendara ugal-ugalan. Khusus yang terakhir sering menjadi perbincangan.
Sebut salah satunya pengendara mobil mahal bermerek Pajero atau Fortuner. Di Indonesia, kedua pemilik mobil merek itu diasosiasikan sebagai pengendara yang kerap arogan dan melanggar aturan. Dengan mobil berukuran besar, mereka merasa menjadi penguasa jalan raya. Permasalahan seperti ini bukan hanya studi empiris di tanah air, tetapi juga di Amerika Serikat. Bahkan di sana sudah ada riset ilmiahnya.
Pada 2012, tim peneliti dari University of California memublikasikan riset berjudul "Higher Social Class Predicts Increased Unethical Behavior". Salah satu eksperimennya adalah melihat etika pengendara mobil mewah dan non-mewah saat berkendara. Hasilnya sama-sama menunjukkan kalau pengendara mobil mewah cenderung ugal-ugalan, berani memotong jalur pengendara lain, bahkan melanggar hukum.
Lalu, apa yang mendasari perilaku seperti ini?
Peneliti gabungan dari University of Illinois dan University of California pada 2012 berhasil menemukan jawabannya. Dalam riset "Social Class, Solipsism, and Contextualism: How the Rich Are Different From the Poor" penyebab orang kaya cenderung punya perilaku buruk karena munculnya sikap egois atau fokus pada dirinya sendiri. Mereka tidak ingin menjalin relasi baik dengan orang, yang menurut pandangannya, tidak sejalan.
Biang masalah dari permasalahan ini kembali lagi pada besarnya kepemilikan sumber daya, baik uang, harta lain, atau relasi kuasa. Banyaknya sumber daya membuatnya lebih bebas meraih keinginan untuk mendapat status sosial-ekonomi.
Karena memiliki keistimewaan itu, mereka tidak takut apabila tindakannya melewati batasan norma dan etika hukum atau sosial. Sekalipun melanggar, mereka percaya punya kekebalan. Akibatnya, mereka sering merasa dirinya berkuasa.
Lain ceritanya dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. Menurut Antony S. R. Manstead dari Cardiff University dalam "The Psychology of Social Class: How Socioeconomic Status Impacts Thought, Feelings, and Behaviour" (2018), masyarakat kelas menengah ke bawah lebih berhati-hati dalam berperilaku di masyarakat karena mereka tidak punya sumber daya besar.
Mereka sudah ruwet oleh berbagai ancaman ekonomi, lingkungan, atau individu lain kepadanya. Akibatnya mereka tidak ingin mencari musuh baru sebagai konsekuensi dari perilaku tidak etis. Alhasil individu kelas bawah cenderung memiliki konsep diri yang saling bergantung.
Sikap etis yang ditonjolkan dilakukan sebagai upaya membangun kerjasama untuk menciptakan hubungan yang kuat sehingga dapat memberikan keuntungan bagi sesama. Makin rendah kelas sosial, demikian hasil riset tersebut, makin besar pula empatinya.
Meski demikian, seluruh hasil riset yang dipaparkan tidak berupaya menggeneralisir. Ada banyak orang kaya aktif di kegiatan filantropis. Begitu pula tidak sedikit orang kelas menengah ke bawah yang punya sikap tidak etis.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kaya atau Miskin Bisa Terbaca dari Wajah, Ini Risetnya
