Bund, Ini 3 Bentuk Working-Mom Shaming & Cara Menghadapinya

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak ada yang salah dengan menjadi ibu pekerja. Meski demikian, sayangnya stigma sosial membuat banyak ibu pekerja menjadi sasaran working-mom shaming.
Fenomena penghakiman dan kritik yang dialamatkan kepada seorang ibu pekerja kerap disebut working-mom shaming. Secara harfiah, working-mom shaming adalah istilah yang melekat pada sikap menghakimi atau mengkritik seorang ibu secara berlebihan atas keputusan yang dipilih. Tidak hanya pada dunia nyata, dunia maya pun turut menjadi sumber munculnya working-mom shaming.
"Working-mom shaming lebih merujuk ke bagaimana sesama perempuan atau sesama ibu mempertanyakan keputusan ibu-ibu lainnya yang mungkin berbeda dengannya dan dalam konteks yang merendahkan. Mungkin karena ibu yang bekerja dianggap egois hingga tidak mementingkan keluarga," jelas Puty Puar, salah satu ibu berkarier sekaligus penulis buku Empowered ME (Mother Empowers), ketika dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (6/10/2022).
Puty mengatakan, salah satu faktor terjadinya fenomena working-mom shaming adalah karena adanya budaya patriarki di Indonesia yang cukup kuat, adanya ekspektasi yang turun-temurun terhadap ibu, hingga pemahaman agama yang menganggap bahwa perempuan cukup mengikuti laki-laki.
"Di Indonesia ini, kan, budaya patriarkinya sangat kuat, jadi kita (masyarakat Indonesia) punya persepsi bahwa yang mencari uang adalah sosok ayah dan ibu mengurus keluarga," tutur Puty.
"Itulah yang terjadi, dari dulu turun-temurun kita punya ekspektasi bahwa seorang ibu tugas utamanya di rumah," lanjutnya.
Lantas, apa saja bentuk working-mom shaming yang kerap dilontarkan sehingga dapat berdampak buruk pada mental seorang ibu?
1. Keputusan Ibu yang Mengasuh Anak sambil Bekerja
Saat ini, banyak ibu yang mulai memutuskan untuk mengasuh anak sambil bekerja, baik kantoran maupun sebagai pekerja lepas. Biasanya, keputusan tersebut diambil untuk menambah pemasukan keluarga. Namun, tak jarang juga kritik keras tetap menyerang para ibu pekerja.
Banyak orang yang menganggap bahwa career mom tidak peduli dengan anaknya, tidak sepenuhnya memenuhi kodrat sebagai seorang ibu, dan egois karena hanya memikirkan karier. Biasanya, kalimat yang sering dilontarkan kepada career mom adalah "Kalau misalnya kamu punya benda berharga, seperti emas, berlian, mau enggak dititipin ke Asisten Rumah Tangga (ART)? Enggak, kan? Tapi kenapa anak malah mau dititipin ke ART?".
"Itu adalah analogi yang salah karena anak tidak bisa disamakan dengan objek," tegas Puty.
2. Cara Pemberian Asupan Gizi pada Anak
Dibandingkan dipuji karena berhasil membuat bayi tetap sehat, banyak ibu yang memperoleh kritik dan 'aturan' dari orang lain tentang bagaimana mereka memberikan makan. Terlebih bila si ibu tidak menggunakan Air Susu Ibu (ASI) untuk memberikan asupan kepada bayinya atau setidaknya memberikan ASI langsung dari payudara.
Hal itu terjadi karena di masyarakat, ASI telah dianggap sebagai 'standar emas' untuk bayi, banyak yang menganggap bahwa ASI langsung dari payudara ibu adalah yang terbaik. Faktanya, ada ibu tidak bisa melakukan hal tersebut karena sejumlah alasan, di antaranya adalah alasan medis dan keterbatasan waktu akibat bekerja.
Jika ada ibu yang memberikan anaknya susu formula atau memberikan ASI melalui metode pumping, maka cemooh yang sering diperoleh adalah "Kenapa kamu enggak ngasih bayimu ASI?", "Kok, minumnya susu formula, sih?", "Enggak kasihan anaknya enggak minum ASI?", "Kok, ASI-nya di-pumping?".
Tanpa disadari, kalimat-kalimat tersebut mampu berdampak besar bagi mental ibu karena menurunkan kepercayaan diri dan mempertanyakan keberhasilannya sebagai seorang ibu.
3. Metode Mengasuh Anak
Tidak hanya terkait cara melakukan persalinan bayi, cara pemberian asupan pada anak, hingga ibu yang mengasuh anak sambil berkarier, mom shamer pun turut mengkritik terkait cara seorang ibu membesarkan anaknya.
Melansir dari Very Well Family, pada umumnya 'standar' yang ditetapkan oleh masyarakat terkait membesarkan anak adalah pengasuhan intensif. "Pengasuhan intensif merujuk pada orang tua yang berpartisipasi aktif dan mengkoordinasikan kehidupan anak dalam segala hal," jelas Carly Snyder, seorang psikiater reproduksi dan perinatal sekaligus penyiar radio MD for Mom, dikutip dari Very Well Family.
Namun, tak sedikit career mom yang harus menitipkan si kecil ke tempat penitipan anak selama orang tua bekerja. Keputusan tersebut lah yang kerap menuai kritik dari lingkungan sekitar.
"'Aduh, sekolah tinggi-tinggi tapi anak diasuhnya sama ART yang enggak sekolah' atau 'Apa lagi, sih, yang dicari? Suami sudah cukup, tapi kamu masih kerja sampai anak dititipkan di daycare' adalah kalimat yang paling sering diucapkan kepada ibu yang berkarier," sebut Puty.
Cara Menghadapi Cibiran kepada Ibu Bekerja
Lalu, bagaimanakah cara terbaik untuk menanggapi working-mom shaming? Puty mengatakan, bila yang melakukan kritik adalah pihak keluarga, komunikasikan dengan cara mendiskusikan dan menjelaskan alasan di balik keputusan yang diambil. Namun, apabila orang yang mengkritik adalah sosok yang tidak terlalu dekat secara personal, maka ibu tidak perlu menanggapi kalimat yang dilontarkan.
Hal serupa turut diucapkan oleh Snyder. Dia mengatakan, cara paling tepat yang dapat dilakukan adalah tidak mengatakan apapun atas kritik yang diperoleh. Dengan tidak melanjutkan percakapan dan tidak menjelaskan apapun terkait keputusan yang diambil, itu adalah hal yang terbaik.
"Anda tidak perlu membenarkan atau menjelaskan apapun terkait pola asuh anak kepada orang lain. Dengan demikian, Anda sudah melakukan yang terbaik," tegas Snyder.
[Gambas:Video CNBC]
'Latte Papa', Potret Ayah Swedia yang Sedang Cuti Orang Tua
(hsy/hsy)