
Perjuangan Retno Marsudi, Pemimpin Wanita di Dunia Laki-laki

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi berbagi kisah perjuangannya menjadi seorang pemimpin wanita di dunia laki-laki. Retno mengungkap, saat remaja, ia tak pernah bermimpi bisa menduduki kursi menteri. Maklum saja, jabatan menteri identik dengan pria, apalagi Menteri Luar Negeri yang sarat akan diplomasi dan politik. Banyak yang bilang ini adalah dunianya laki-laki.
"Saya dulu waktu SMA cuma ingin jadi diplomat. Saya tahu itu pekerjaan yang biasanya diemban pria, tapi dulu karena saya suka bahasa Inggris saya mikir ingin jadi diplomat," kata Retno mengawali kisahnya dalam webinar Women in Leadership yang digelar KataData secara daring, seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (7/3).
Tidak terlahir dari keluarga berkecukupan, Retno sadar bahwa untuk menggapai impiannya menjadi diplomat dia harus bekerja keras mencari biaya pendidikan. Tantangan yang didapat tentu tidak mudah, banyak rintangan yang harus dilalui, termasuk tantangan melawan ekspektasi sosial yang dibebankan pada perempuan.
Ketika akhirnya berhasil menjadi diplomat, tantangan tidak hilang begitu saja. Dia harus menjalani karir profesional sambil mengurus anak yang masih kecil.
"Saya harus bolak-balik nyetir sendiri, bawa anak ke tempat penitipan, jemput lagi, nyetir sendiri, kerja, waktu itu memang terasa sulit tapi dijalani dan berhasil," kata dia.
Beruntungnya, di Kementerian Luar Negeri para ibu, para wanita diberi ruang yang cukup lebar untuk berkarier. Retno mengaku di lembaga yang saat ini dia pimpin itu tidak ada perbedaan yang diberikan untuk pekerja wanita dan laki-laki, dari segi jenjang karier maupun porsi kerja.
"Kementerian Luar Negeri memiliki sistem yang baik, dan akhirnya membuat orang seperti saya, perempuan yang bukan siapa-siapa ini bisa masuk jadi diplomat," kata dia.
Lagi pula menurut dia, diskriminasi memang seharusnya tidak terjadi. Memang tidak bisa dimungkiri ada perbedaan besar antara pria dan wanita dalam hal kemampuan fisik.
Wanita diberi kemampuan melahirkan, menyusui dan menstruasi, sementara pria tidak. Kemampuan atau kelebihan ini juga sedikit banyak memengaruhi ruang gerak wanita, tapi bukan berarti diskriminasi dilegalkan. Karena itu, Retno mendorong adanya kebijakan di tempat kerja yang bisa memberi kesempatan dengan level yang sama pada laki-laki dan perempuan.
Selain itu, dia menilai, perlu ada perubahan cara pandang terkait perempuan berkarir dan dukungan dari keluarga serta lingkungan.
"Harus ada langkah afirmasi memperkuat peran perempuan. Karena investing in women sama dengan investing in our future," kata dia.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]