FOTO

Melihat Tanaman Asal Indonesia yang Bisa Menghasilkan Emas

Tim CNBC Indonesia Foto, CNBC Indonesia
Selasa, 30/11/2021 16:40 WIB

Hal tersebut diungkapkan Prof. Hamim, Pakar Biologi Tumbuhan IPB. Ia menjelaskan bahwa logam mulia dapat diekstraksi dari tanaman penyerap logam berat.

1/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Baru-baru ini sedang heboh berita terkait tanaman yang bisa menghasilkan emas. Hal tersebut diungkapkan oleh Prof. Hamim, Pakar Biologi Tumbuhan Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia menjelaskan bahwa logam mulia dapat diekstraksi dari tanaman penyerap logam berat. Hal ini ia ungkapkan di gelaran Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap IPB, beberapa waktu lalu. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

2/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Menurutnya, logam berat merupakan komponen yang tidak mudah terdegradasi. Logam berat pun mampu bertahan di dalam tanah hingga mencapai ratusan tahun. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

3/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jika tumbuhan keracunan logam berat, baik fotosintesis maupun pertumbuhan akar, daun terhambat, sehingga bisa mengakibatkan kematian. "Logam berat dapat menyebar melalui rantai makanan secara biologis, sehingga membahayakan manusia," kata Hamim, seperti dilansir dari CNN Indonesia. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

4/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Meski demikian, tumbuhan memiliki mekanisme fisiologis yang membuat mereka bisa menyerap logam berat. Ada beberapa jenis tumbuhan yang mampu menyerap logam berat dalam jumlah besar di jaringannya atau disebut hiperakumulator. Lantaran kemampuannya tersebut, tumbuhan itu dapat digunakan sebagai bahan pembersih lingkungan yang dikenal dengan sebutan fitoremediasi. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

5/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

"Selain dapat digunakan sebagai fitoremediasi, tanaman ini juga dapat digunakan untuk menambang logam-logam yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti nikel perak, emas, platina dan talium atau kegiatan yang dikenal dengan fitomining," katanya. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

6/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Umumnya, tumbuhan hiperakumulator ditemukan di daerah dengan kandungan logam tinggi seperti tanah serpentin dan ultrabasa. Indonesia sendiri termasuk kawasan yang memiliki daratan ultrabasa terbesar di dunia meliputi Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

7/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Hanya saja, ia melihat bahwa potensi tumbuhan hiperakumulator di sana belum tergarap optimal. Perlu adanya perhatian dari berbagai pihak agar potensi dapat digali dan dimanfaatkan untuk fitoremediasi dan fitomining. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

8/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Sebagai contoh, hasil eksplorasi tumbuhan sekitar tailing dam (lokasi limbah sisa pemisahan bijih logam mulia dengan material non-ekonomis) tambang emas PT Antam UBPE Pongkor. Hampir semua jenis tumbuhan di sana mampu mengakumulasi emas meski dalam kadar rendah. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

9/9 Tanaman dengan sistem hidroponik di kawasan Bojongsari, Depok, Jumat (30/7/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

"Kelompok bayam-bayaman (Amaranthus) yang tumbuh di sekitar tailing memiliki kemampuan akumulasi emas tertinggi, tetapi karena biomassanya rendah, potensi fitomining-nya rendah. Tanaman lembang (Typha angustifolia) juga cukup tinggi mengakumulasi logam emas (Au). Typha dapat menghasilkan 5-7 gram emas per hektare. Hal ini tentu memerlukan pendalaman lebih lanjut," paparnya. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)