Lifestyle

Studi: Pria Lansia Lebih Rentan Terinfeksi Covid-19

Lynda Hasibuan, CNBC Indonesia
28 August 2020 12:08
Ribuan orang berdemonstrasi mendukung gerakan Black Lives Matter di sebuah taman di Amsterdam, Rabu 10 Juni 20202, yang dinamai ikon anti-Apartheid Afrika Selatan Nelson Mandela. Itu adalah yang terbaru dari serangkaian protes di kota-kota Belanda yang mengikuti kematian George Floyd di Minnesota pada 25 Mei 2020, dan protes di seluruh Amerika Serikat dan dunia yang menyusul. Floyd, seorang pria kulit hitam, meninggal setelah seorang perwira polisi kulit putih Minneapolis menekan satu lutut di lehernya bahkan setelah dia meminta udara sambil berbaring terborgol di tanah.(AP Photo/Peter Dejong)
Foto: AP/Peter Dejong

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah studi baru-baru ini menyebutkan bahwa pria lansia dua kali lipat lebih mungkin terinfeksi virus corona. Mereka lebih mudah mengalami sakit parah dan meninggal dunia dibandingkan wanita pada usia yang sama, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan Rabu (26/8/2020).

Temuan tersebut menunjukkan bahwa pria di atas usia 60 tahun mungkin perlu lebih bergantung pada vaksin untuk melindungi dari infeksi. Peneliti Universitas Yale juga menyimpulkan bahwa pria menghasilkan respon kekebalan yang lebih lemah terhadap virus dibandingkan wanita.



"Pasien wanita meningkatkan aktivasi sel T secara signifikan lebih kuat daripada pasien pria selama infeksi SARS-CoV-2, yang bertahan di usia tua," kata penulis penelitian menjelaskan dalam abstrak temuan mereka seperti dilansir New York Post.

Sel T sendiri dapat menghentikan penyebaran infeksi dan membunuh sel yang tercemar virus.

"Yang penting, kami menemukan bahwa respon sel T yang buruk berkorelasi negatif dengan usia pasien dan dikaitkan dengan hasil penyakit yang lebih buruk pada pasien laki-laki, tetapi tidak pada pasien perempuan," papar mereka.

Tim pun telah menganalisis tanggapan kekebalan pada 17 pria dan 22 wanita yang dirawat di rumah sakit setelah mereka terinfeksi Covid-19. Mereka kemudian mengambil darah, air liur, urin, feses, dan usapan nasofaring dari pasien setiap tiga sampai tujuh hari.

Analisis tersebut mengecualikan pasien yang menggunakan ventilator atau mereka yang memakai obat yang mempengaruhi sistem kekebalan.

Seperti yang dilaporkan The New York Times, wanita diketahui memiliki respons kekebalan yang lebih cepat dan lebih kuat, setidaknya sebagian karena tubuh mereka cenderung melawan patogen yang mengancam janin atau bayi yang baru lahir.

Akan tetapi, sistem kekebalan yang terus-menerus dalam keadaan siaga tinggi dapat merusak tubuh. Kebanyakan penyakit autoimun lebih banyak menyerang wanita.

Laporan penelitian mencatat keterbatasannya itu kecil, dan usia pasien membuatnya sulit untuk menilai bagaimana tanggapan kekebalan berubah seiring bertambahnya usia.

Meskipun perusahaan yang menciptakan vaksin virus corona belum merilis data klinis yang dipantau berdasarkan jenis kelamin peserta uji coba, temuan ini menggarisbawahi bahwa perlunya fokus yang diperbesar dan dapat memengaruhi keputusan tentang dosis.

Badan Pengawas Obat dan Makanan A.S. (FDA) telah meminta perusahaan untuk mengirimkan data tersebut serta temuan berdasarkan ras dan etnis.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular