InvesTime

Saham Big Cap Stagnan, Ini Alasan Small Cap Laris Trading

Emir Yanwardhana, CNBC Indonesia
08 July 2021 09:35
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi pasar modal saat ini cenderung bergerak mendatar dan penuh ketidakpastian yang tercermin dari laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Belum stabilnya IHSG karena banyak sentimen negatif yang mempengaruhi pasar, di antaranya implementasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat 3-20 Juli mendatang di Jawa-Bali.

Sepanjang pekan lalu, pergerakan indeks hanya naik tipis setelah ditutup menguat 0,28% di level 6.023,01 pada Jumat (2/7). Data perdagangan BEI mencatat, pada Selasa (6/7), IHSG memang naik 0,69% di 6.047, tetapi dalam 3 bulan terakhir terkoreksi 1,94%.

Adapun sentiment global yakni investor masih memantau angka inflasi bulan Juni di Amerika Serikat yang bisa menjadi acuan bank sentral AS, The Fed, melakukan aksi tapering atau kebijakan mengurangi nilai pembelian aset.

Analis menilai, di tengah gerak IHSG saat ini, pergerakan saham emiten yang berkapitalisasi besar alias big cap juga masih anyep. Kondisi ini berbeda dengan saham-saham yang berkapitalisasi kecil yang masih tumbuh seperti PT MNC Studios International Tbk (MSIN), PT Aesler Grup Internasional tbk (RONY), PT Star Pacific Tbk (LPLI), dan PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL).

Analis MNC Sekuritas Aqil Triyadi menjelaskan asalannya kenapa saham-saham small caps begitu kencang penguatan harganya di tengah pasar yang masih belum stabil.

Dia menjelaskan saham small caps memang menarik di tengah kondisi pasar yang saat ini khawatir dengan lonjakan Covid-19, begitu juga kebijakan tapering dari Amerika Serikat yang membuat pelaku pasar wait and see.

"Di situ ada ketidakpastian, pemberlakuan PPKM Darurat ini membuat investor khawatir, sehingga pola pergerakan cenderung sideways [menyamping]. Saham big caps juga jadi tidak begitu menarik untuk trader. Tapi masih potensial untuk jangka panjang," katanya.

Justru yang menarik bagi trader, katanya, adalah saham kapitalisasi kecil, dengan rentang harga Rp 100 - 150 per saham yang bergerak agresif. Hal ini karena penguatan itu didorong daya beli investor ritel yang didominasi anak muda, dengan kocek terbatas dalam menaruh dana di saham.

Kondisi ini berbeda dengan investor besar seperti institusi yang lebih suka pada saham yang memiliki fundamental baik. Aqil melihat saat ini pasar modal juga sedang dipenuhi investor ritel yang mencari saham murah (undervalue).

Dalam literatur dan jadi informasi umum bahwa saham-saham disebut sebagai big cap alias saham dengan kapitalisasi pasar (market capitalization) di atas Rp 100 triliun.

Adapun mid-cap stocks atau second-liner, biasanya memiliki kapitalisasi pasar antara Rp 500 miliar - Rp 10 triliun, dan ada pula yang mematok di bawah Rp 100 triliun.

Sementara itu, saham lapis ketiga atau junk stocks alias small-cap stocks biasanya kapitalisasinya berada di bawah angka Rp 500 miliar.

Di BEI, ada dua indeks yang mengakomodasi saham-saham jenis ini yakni IDX SMC Composite dan IDX Small-Mid Cap (SMC) Liquid. IDX SMC Composite adalah indeks yang mengukur kinerja harga dari saham-saham yang memiliki kapitalisasi pasar kecil dan menengah.

Selain itu ada Indeks IDX Small-Mid Cap (SMC) Liquid yang diluncurkan sejak 21 Desember 2017 memiliki 54 saham pilihan yang diseleksi dari IDX SMC Composite (berisi lebih dari 300 saham).


(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Live Now! Bursa Rontok, Borong Saham Big Cap atau Small Cap?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular