
Kemenkeu Bantah SBN Ritel Ancam Deposito & Reksa Dana
Roy Franedya, CNBC Indonesia
06 February 2019 19:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan angkat suara soal obligasi ritel pemerintah yang berpotensi mengancam deposito dan reksa dana.
Menurut Direktur Surat Utang Negara Kemenkeu Loto Srinaita Ginting, membandingkan SBN ritel dengan deposito dan reksadana pasar uang rasanya kurang tepat karena masing-masing memiliki segmen pasar sendiri sesuai dengan profil risiko pemilik dana.
Penjelasan Direktorat Surat Utang Negara ini sekaligus juga menjadi hak jawab atas pemberitaan CNBC Indonesia yang berjudul: "Bunga Obligasi RI Tinggi, Deposito & Reksa Dana Terancam"
Berikut tanggapan resmi Direktorat Surat Utang Kementerian Keuangan:
- Pada dasarnya sebagai sumber utama pembiayaan APBN, pemerintah berupaya untuk mengembangkan pasar SBN semakin dalam, aktif dan likuid. Terkait dengan hal tersebut pemerintah berusaha memperluas basis investor SBN khususnya di dalam negeri dengan menyediakan alternatif instrumen yang diminati oleh investor.
- Setiap instrumen investasi keuangan mempunyai fitur masing-masing, di antaranya terkait imbal hasil, risiko, kemudahan, pajak, dan lain-lain. Selanjutnya masyarakat/investorlah yang akan menentukan pilihan investasi yang paling sesuai dengan preferensi mereka.
- Imbal hasil (yield) SBN ritel ditentukan oleh beberapa hal, antara lain yield SBN yang bersesuaian di pasar sekunder, dalam hal tenor maupun mata uang dan premi risiko likuiditas, selain sentimen dari pasar keuangan dan fundamental makroekonomi.
- Kecenderungan yang terjadi di pasar keuangan global berdampak pada kondisi pasar keuangan domestik. Kenaikan Fed Funds Rate (FFR) sebanyak empat kali (total 100 bps) di 2018 mempengaruhi kenaikan yield US Treasury (UST) tenor 10 tahun sekitar 29 bps atau 12,1% (UST tenor 10 tahun). Kenaikan ini kemudian ditransmisikan kepada kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI-7 RRR) sebanyak enam kali sebesar 175 bps, dari 4,25% menjadi 6,0%.
- Kenaikan FFR dan BI-7 RRR mempengaruhi kenaikan yield SBN di tahun 2018 sebesar 26,92% (SUN 10 tahun). Kecenderungan peningkatan yield di tahun 2018 juga terjadi di beberapa negara berkembang dengan peringkat kredit dan size ekonomi yang sama, bahkan yield-nya lebih tinggi dibanding kenaikan yield SUN, misalnya Turki naik sebesar 39,74%, Argentina 32,01%, dan Rusia 30,41% untuk tenor yang sama. Dengan demikian, yield SBN ritel yang ditetapkan saat ini sudah dilakukan secara wajar dengan mempertimbangkan kondisi terkini pasar keuangan baik global maupun domestik.
- SBN ritel memiliki keuntungan bebas risiko meskipun imbal hasil relatif lebih tinggi. Dengan imbal hasil yang lebih tinggi, sudah mengkover risiko likuiditas mengingat dana yang diinvestasikan di SBN ritel hanya dapat dicairkan pada waktu tertentu (walaupun diberikan fasilitas early redemption satu kali di pertengahan periode). SBN ritel juga dapat dipesan dengan mudah melalui mekanisme online. Namun demikian, pajak atas kupon SBN ritel yang besarnya 15% lebih rendah dari pajak atas bunga deposito (20%).
- Sementara itu reksadana, imbal hasilnya ditentukan berdasarkan kinerja instrumen yang menjadi underlying-nya, sehingga dalam kondisi pasar keuangan yang sedang mengalami tekanan akan menekan imbal hasil reksadana tersebut. Saat ini, pembelian reksadana juga sudah ada yang ditawarkan secara online. Di samping itu reksadana dapat dicairkan sewaktu-waktu dengan biaya yang sudah ditentukan. Pajak atas imbal hasil reksadana juga lebih rendah dari SBN ritel, yakni hanya 5%. Namun demikian, instrumen reksadana terlihat relatif lebih berisiko, salah satunya adalah adanya potensi gagal bayar dibandingkan dengan SBN ritel.
- Selanjutnya instrumen lain yang juga diperbandingkan adalah Deposito, dimana dalam menentukan suku bunga deposito, sangat dipengaruhi oleh cost of fund Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan. Meskipun deposito ada potensi untuk gagal bayar, LPS memberikan jaminan hingga jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan, sehingga suku bunga deposito beragam. Walaupun deposito memiliki jangka waktu, instrumen ini tetap dapat dicairkan sewaktu-waktu dengan biaya yang juga sudah ditentukan. Pajak atas bunga deposito lebih tinggi dari SBN ritel dan merupakan yang tertinggi, yakni sebesar 20%.
- Dengan demikian, membandingkan SBN ritel dengan deposito dan reksadana pasar uang rasanya kurang tepat karena masing-masing memiliki segmen pasar sendiri sesuai dengan profil risiko pemilik dana.
- Jika dibandingkan dengan jumlah DPK perbankan yang sudah mencapai Rp 5.573 T (per November 2018), outstanding SBN ritel saat ini masih sangat kecil hanya 2,2% dari DPK (outstanding SBN ritel per 31 Jan 2019 Rp124 T). Selain itu, sepanjang tahun 2018, SBN ritel yang diterbitkan sebesar Rp46 T, jauh lebih rendah dibandingkan SBN ritel yang jatuh tempo di tahun 2018 yakni sebesar Rp 56 triliun. Dengan kata lain, secara neto, penerbitan SBN ritel minus Rp 8,9 triliun. Sehingga yang terjadi kemungkinan malah sebaliknya terdapat perpindahan dari investor SBN ritel ke instrumen lainnya dan tidak ada perpindahan dana dari deposito bank ke SBN ritel.
- Untuk tahun 2019, pemerintah berencana menerbitkan SBN ritel dalam kisaran Rp 60 triliun hingga Rp 80 triliun yang akan dilakukan dalam 10 kali penerbitan. Dari 10 kali rencana penerbitan tersebut, dua kali direncanakan untuk SBN ritel yang dapat diperdagangkan (Obligasi Ritel Indonesia- ORI, dan Sukuk Ritel) dan delapan kali untuk SBN ritel yang tidak dapat diperdagangkan yang akan diterbitkan secara regular setiap bulan. Namun perlu dicatat, bahwa tahun 2019 terdapat SBN ritel jatuh tempo sebesar Rp 51,2 triliun. Artinya, secara neto tambahan penerbitan SBN ritel akan berkisar Rp 8,8 triliun - Rp 28,8 triliun. Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan DPK yang sebesar Rp 5.573 triliun atau sekitar 0,2%-0,5% dari DPK, dan akan lebih rendah lagi kalau kita memperkirakan pertumbuhan DPK tahun 2019 sebesar 8%-10% (BI dan OJK).
- Upsize penerbitan SBN ritel tahun 2019 dimaksudkan sebagai upaya edukasi pada masyarakat untuk berinvestasi dan upaya untuk meningkatkan partisipasi investor domestik terhadap kepemilikan SBN dan meningkatkan basis investor. Hal itu searah dengan strategi pemerintah untuk mengurangi eksposur asing atas SBN domestik dan pengendalian utang valas serta turut mendukung peningkatkan inklusi keuangan dengan memberikan kemudahan akses bagi investor ritel.
- Selain itu, likuiditas perbankan yang terserap pada saat pemerintah menerbitkan SBN ritel sebenarnya akan kembali ke sistem keuangan karena dana yang diserap pemerintah akan masuk ke kas negara dan digunakan untuk membiayai belanja negara seperti belanja infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
(roy/miq) Next Article 'Bunga' Obligasi RI Tinggi, Deposito & Reksa Dana Terancam
Menurut Direktur Surat Utang Negara Kemenkeu Loto Srinaita Ginting, membandingkan SBN ritel dengan deposito dan reksadana pasar uang rasanya kurang tepat karena masing-masing memiliki segmen pasar sendiri sesuai dengan profil risiko pemilik dana.
Penjelasan Direktorat Surat Utang Negara ini sekaligus juga menjadi hak jawab atas pemberitaan CNBC Indonesia yang berjudul: "Bunga Obligasi RI Tinggi, Deposito & Reksa Dana Terancam"
- Pada dasarnya sebagai sumber utama pembiayaan APBN, pemerintah berupaya untuk mengembangkan pasar SBN semakin dalam, aktif dan likuid. Terkait dengan hal tersebut pemerintah berusaha memperluas basis investor SBN khususnya di dalam negeri dengan menyediakan alternatif instrumen yang diminati oleh investor.
- Setiap instrumen investasi keuangan mempunyai fitur masing-masing, di antaranya terkait imbal hasil, risiko, kemudahan, pajak, dan lain-lain. Selanjutnya masyarakat/investorlah yang akan menentukan pilihan investasi yang paling sesuai dengan preferensi mereka.
- Imbal hasil (yield) SBN ritel ditentukan oleh beberapa hal, antara lain yield SBN yang bersesuaian di pasar sekunder, dalam hal tenor maupun mata uang dan premi risiko likuiditas, selain sentimen dari pasar keuangan dan fundamental makroekonomi.
- Kecenderungan yang terjadi di pasar keuangan global berdampak pada kondisi pasar keuangan domestik. Kenaikan Fed Funds Rate (FFR) sebanyak empat kali (total 100 bps) di 2018 mempengaruhi kenaikan yield US Treasury (UST) tenor 10 tahun sekitar 29 bps atau 12,1% (UST tenor 10 tahun). Kenaikan ini kemudian ditransmisikan kepada kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI-7 RRR) sebanyak enam kali sebesar 175 bps, dari 4,25% menjadi 6,0%.
- Kenaikan FFR dan BI-7 RRR mempengaruhi kenaikan yield SBN di tahun 2018 sebesar 26,92% (SUN 10 tahun). Kecenderungan peningkatan yield di tahun 2018 juga terjadi di beberapa negara berkembang dengan peringkat kredit dan size ekonomi yang sama, bahkan yield-nya lebih tinggi dibanding kenaikan yield SUN, misalnya Turki naik sebesar 39,74%, Argentina 32,01%, dan Rusia 30,41% untuk tenor yang sama. Dengan demikian, yield SBN ritel yang ditetapkan saat ini sudah dilakukan secara wajar dengan mempertimbangkan kondisi terkini pasar keuangan baik global maupun domestik.
- SBN ritel memiliki keuntungan bebas risiko meskipun imbal hasil relatif lebih tinggi. Dengan imbal hasil yang lebih tinggi, sudah mengkover risiko likuiditas mengingat dana yang diinvestasikan di SBN ritel hanya dapat dicairkan pada waktu tertentu (walaupun diberikan fasilitas early redemption satu kali di pertengahan periode). SBN ritel juga dapat dipesan dengan mudah melalui mekanisme online. Namun demikian, pajak atas kupon SBN ritel yang besarnya 15% lebih rendah dari pajak atas bunga deposito (20%).
- Sementara itu reksadana, imbal hasilnya ditentukan berdasarkan kinerja instrumen yang menjadi underlying-nya, sehingga dalam kondisi pasar keuangan yang sedang mengalami tekanan akan menekan imbal hasil reksadana tersebut. Saat ini, pembelian reksadana juga sudah ada yang ditawarkan secara online. Di samping itu reksadana dapat dicairkan sewaktu-waktu dengan biaya yang sudah ditentukan. Pajak atas imbal hasil reksadana juga lebih rendah dari SBN ritel, yakni hanya 5%. Namun demikian, instrumen reksadana terlihat relatif lebih berisiko, salah satunya adalah adanya potensi gagal bayar dibandingkan dengan SBN ritel.
- Selanjutnya instrumen lain yang juga diperbandingkan adalah Deposito, dimana dalam menentukan suku bunga deposito, sangat dipengaruhi oleh cost of fund Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan. Meskipun deposito ada potensi untuk gagal bayar, LPS memberikan jaminan hingga jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan, sehingga suku bunga deposito beragam. Walaupun deposito memiliki jangka waktu, instrumen ini tetap dapat dicairkan sewaktu-waktu dengan biaya yang juga sudah ditentukan. Pajak atas bunga deposito lebih tinggi dari SBN ritel dan merupakan yang tertinggi, yakni sebesar 20%.
- Dengan demikian, membandingkan SBN ritel dengan deposito dan reksadana pasar uang rasanya kurang tepat karena masing-masing memiliki segmen pasar sendiri sesuai dengan profil risiko pemilik dana.
- Jika dibandingkan dengan jumlah DPK perbankan yang sudah mencapai Rp 5.573 T (per November 2018), outstanding SBN ritel saat ini masih sangat kecil hanya 2,2% dari DPK (outstanding SBN ritel per 31 Jan 2019 Rp124 T). Selain itu, sepanjang tahun 2018, SBN ritel yang diterbitkan sebesar Rp46 T, jauh lebih rendah dibandingkan SBN ritel yang jatuh tempo di tahun 2018 yakni sebesar Rp 56 triliun. Dengan kata lain, secara neto, penerbitan SBN ritel minus Rp 8,9 triliun. Sehingga yang terjadi kemungkinan malah sebaliknya terdapat perpindahan dari investor SBN ritel ke instrumen lainnya dan tidak ada perpindahan dana dari deposito bank ke SBN ritel.
- Untuk tahun 2019, pemerintah berencana menerbitkan SBN ritel dalam kisaran Rp 60 triliun hingga Rp 80 triliun yang akan dilakukan dalam 10 kali penerbitan. Dari 10 kali rencana penerbitan tersebut, dua kali direncanakan untuk SBN ritel yang dapat diperdagangkan (Obligasi Ritel Indonesia- ORI, dan Sukuk Ritel) dan delapan kali untuk SBN ritel yang tidak dapat diperdagangkan yang akan diterbitkan secara regular setiap bulan. Namun perlu dicatat, bahwa tahun 2019 terdapat SBN ritel jatuh tempo sebesar Rp 51,2 triliun. Artinya, secara neto tambahan penerbitan SBN ritel akan berkisar Rp 8,8 triliun - Rp 28,8 triliun. Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan DPK yang sebesar Rp 5.573 triliun atau sekitar 0,2%-0,5% dari DPK, dan akan lebih rendah lagi kalau kita memperkirakan pertumbuhan DPK tahun 2019 sebesar 8%-10% (BI dan OJK).
- Upsize penerbitan SBN ritel tahun 2019 dimaksudkan sebagai upaya edukasi pada masyarakat untuk berinvestasi dan upaya untuk meningkatkan partisipasi investor domestik terhadap kepemilikan SBN dan meningkatkan basis investor. Hal itu searah dengan strategi pemerintah untuk mengurangi eksposur asing atas SBN domestik dan pengendalian utang valas serta turut mendukung peningkatkan inklusi keuangan dengan memberikan kemudahan akses bagi investor ritel.
- Selain itu, likuiditas perbankan yang terserap pada saat pemerintah menerbitkan SBN ritel sebenarnya akan kembali ke sistem keuangan karena dana yang diserap pemerintah akan masuk ke kas negara dan digunakan untuk membiayai belanja negara seperti belanja infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.
(roy/miq) Next Article 'Bunga' Obligasi RI Tinggi, Deposito & Reksa Dana Terancam
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular