CNBC Insight

Hutan Digunduli Manusia, Kota Berubah Jadi Lautan-Semua Rata Tanah

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Jumat, 28/11/2025 11:50 WIB
Foto: Pemandangan drone menunjukkan tim penyelamat menggunakan perahu karet untuk mengevakuasi warga di permukiman yang terdampak banjir setelah hujan deras di Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, Indonesia, Kamis (27/11/2025). (REUTERS/Hidayatullah Tajuddin)
Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Khusus terkait bencana, naskah ini diharapkan bisa membangun kesadaran dan kewaspadaan terhadap mitigasi bencana.

Jakarta, CNBC Indonesia - Banjir dan longsor kembali menghantam Aceh sejak awal pekan ini. Hampir seluruh wilayah provinsi itu terdampak akibat hujan yang turun tanpa jeda. Pemerintah Aceh pun menetapkan status tanggap darurat untuk mempercepat penanganan.

Sejarah mencatat rentetan bencana ini bukan hal baru bagi Aceh. Tepat 72 tahun silam, Aceh, khususnya di Kota Aceh Besar, pernah mengalami hari yang sama kelamnya. Peristiwa ini terjadi pada Rabu, 27 Januari 1953. Koran Suara Merdeka (3 Februari 1953) melaporkan, dua hari sebelumnya hampir seluruh Aceh dilanda hujan besar tiada henti.

Warga mengira itu hujan biasa. Hingga akhirnya, petaka datang pada Rabu pagi. 27 Januari 1953. Di tengah hujan deras, air datang bak kilat menerjang daratan dan permukiman. Menyapu semua yang dilewatinya. 


"Dengan secara mendadak air deras masuk ke dalam kota. Penduduk yang tidak menduga-duga terjadi banjir tergesa-tergesa mencari perlindungan," tulis Suara Merdeka (3 Februari 1953).

Warga yang panik langsung berlarian mencari tempat tinggi. Banyak pula yang tak sempat selamat dan terseret arus dengan ketinggian 1-2 meter. Harian Indonesia Raja (31 Januari 1953) menyebutkan seluruh infrastruktur porak-poranda dan rata tanah. Bangunan-bangunan ambruk, jalan raya dan rel kereta api terputus. Selain itu, banjir juga melumpuhkan pusat listrik sehingga komunikasi dan transportasi terputus total. Akibatnya, warga luar Aceh baru mengetahui ada bencana pada tiga hari setelahnya atau 30 Januari 1953. 

"Sampai 30 Januari (3 hari setelah bencana) hubungan komunikasi dan lalu lintas melalui darat dan udara masih terputus total. Satu-satunya cara untuk ke lokasi adalah dengan pesawat yang hanya beroperasi dua kali seminggu," tulis Suara Merdeka (31 Januari 1953).

Dalam laporan 31 Januari 1953, Suara Merdeka menggambarkan Aceh Besar seketika berubah menjadi "lautan". Pemerintah mengakui kejadian ini sebagai banjir terbesar dalam sejarah Aceh. Perkebunan hancur tanpa sisa dan pemulihan listrik diperkirakan butuh waktu hingga tiga bulan.

Pemerintah waktu itu menegaskan bahwa akar masalah berasal dari aktivitas penebangan hutan yang sulit dikendalikan.

"Pihak berwajib menerangkan bahwa banjir besar ini terjadi karena hutan dan gunung sekitar Aceh Besar banyak yang telah ditebangi oleh penduduk yang tidak menghiraukan arahan pemerintah," ungkap de Locomotief (3 Februari 1953).

Pada saat bersamaan, tak hanya Aceh Besar, wilayah Aceh Utara dan Pidie juga diterjang banjir akibat angin ribut dan hujan ekstrem. Sekolah dan kantor pemerintahan rusak parah. Lalu, di Tapanuli Tengah bencana serupa juga terjadi. Masjid, gedung sekolah, rumah, hancur total. 

Kondisi ini kemudian menyedot perhatian nasional. Pemerintah pusat mengirim bantuan besar-besaran. Mulai dari uang, obat-obatan hingga pangan. Namun distribusi tidak mudah karena jalur darat dan udara terputus.

Kini, lebih dari tujuh dekade kemudian, rangkaian banjir di Aceh kembali terjadi. Sejarah 72 tahun silam menjadi bukti bahwa hutan yang hilang bukan hanya merusak alam, tetapi juga merenggut keamanan manusia. Kisah ini tentu saja masih relevan sampai kapan pun. 


(mfa/mfa)