CNBC Insight

Ditekan Pajak Pemerintah, Pengusaha Kakap RI Hengkang ke Singapura

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Senin, 24/11/2025 13:10 WIB
Foto: Oei Tiong Ham Concern (OTHC) (Dok: Wikipedia)
Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Perpindahan kepemilikan perusahaan ke Singapura sejatinya bukan fenomena baru. Jika sepanjang 2025 ada lima perusahaan Indonesia yang diambil alih investor Negeri Singa, maka lebih dari seabad lalu pernah terjadi perpindahan yang serupa dalam skala berbeda, yakni hengkangnya seorang pengusaha raksasa bernama Oei Tiong Ham.

Oei merupakan pendiri Oei Tiong Ham Concern (OTHC), perusahaan gula terbesar di dunia pada 1893. OTHC berbasis di Semarang tetapi memiliki jaringan internasional hingga India, Singapura, Jepang, dan London. Banyaknya perkebunan membuat OTHC menguasai hampir separuh bisnis gula global. Lini bisnisnya pun perlahan meluas ke perbankan, pelayaran, dan pergudangan. Sejarawan Onghokham dalam Konglomerat Oei Tiong Ham (1992) mencatat kekayaan Oei mencapai 200 juta gulden.

Namun, kekayaan raksasa itu justru membuat pemerintah kolonial menjadikan Oei sebagai sasaran empuk untuk menambal defisit pascaperang. Tekanan pajak yang kian mencekik inilah yang kelak mendorong sang raja gula hengkang ke Singapura dan membuat pemerintah kolonial gigit jari karena kehilangan salah satu pembayar pajak terbesar mereka.


Dalam Oei Tiong Ham: Raja Gula dari Semarang (1979), Liem Tjwan Ling mencatat pemerintah kolonial pernah menagih 35 juta gulden kepada Oei. Padahal, seperti ditulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), Oei selalu membayar pajak tepat waktu dan utuh. Masalahnya, setiap selesai membayar, selalu muncul tagihan baru-bahkan mencapai 40-50% dari pendapatan.

Di titik ini, Oei merasa ada penyelewengan. Dia menolak membayar pajak tambahan dan memutuskan untuk memutus hubungan dengan pemerintah kolonial, termasuk dengan meninggalkan Hindia Belanda.

Ketika pemerintah kian menekannya, muncul kabar bahwa Oei akan pergi ke Eropa. Koran De Telegraaf (19 Mei 1920) menulis sang miliarder akan berangkat dan menetap lama di sana. Namun pada 1921, rencana itu berubah. Atas saran pengacaranya, Eropa dianggap tidak ideal karena pajaknya jauh lebih mahal. Singapura, saat itu jajahan Inggris, dinilai lebih menguntungkan.

Sejak 1921, Oei pun resmi hengkang dari Semarang dan menetap di Singapura bersama istri ketujuh dan anak-anaknya. Beban pajaknya langsung merosot tajam. Jika di Hindia Belanda dia harus membayar 35 juta gulden, di Singapura dia hanya membayar 1 juta gulden. 

Di kala pemerintah kolonial gigit jari, Oei melakukan banyak tindakan di Singapura. Dia membeli  tanah dan rumah dalam jumlah besar. Menurut catatan Liem, total luas aset properti yang dibelinya setara seperempat wilayah Singapura. Hanya para konglomerat kelas atas yang mampu membeli tanah sebanyak itu, dan seluruhnya atas nama pribadi Oei.

Perpustakaan Nasional Singapura mencatat kontribusi lain Oei. Dia diketahui membeli Heap Eng Moh Steamship Company Limited, menjadi pemilik awal saham Overseas Chinese Bank (OCB) yang kini dikenal sebagai OCBC, dan menyumbang US$ 150.000 untuk pembangunan gedung Raffles College. Dia juga rajin memberi donasi untuk sekolah, rumah sakit, dan kegiatan sosial.

Kedermawanan serta jejak bisnisnya begitu kuat hingga namanya diabadikan menjadi nama jalan dan bangunan di Singapura.

Menariknya, selama tinggal di Singapura, Oei berstatus tanpa kewarganegaraan. Dia melepaskan status Warga Negara Hindia Belanda, tetapi tidak menjadi Warga Negara Inggris. Status ini melekat hingga dia wafat pada 6 Juli 1924 atau tiga tahun setelah pindah.


(mfa/wur)