Hari Pangan Sedunia

Makanan Asli RI Ini Dicap Sakti Sampai Diburu Orang Sedunia

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Kamis, 16/10/2025 13:10 WIB
Foto: Pengerajin memilih kedelai untuk diolah menjadi tempe di kawasan Sunter, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setiap 16 Oktober, dunia memperingati Hari Pangan Sedunia atau World Food Day. Tahun ini, peringatan Hari Pangan mengusung tema "Hand in Hand for Better Foods and a Better Future" dengan harapan bisa mengajak semua pihak bekerja sama mewujudkan masa depan yang damai, berkelanjutan, sejahtera, dan berketahanan pangan.

Di tengah seruan itu, Indonesia punya satu contoh nyata pangan lokal yang sudah lama berkontribusi bagi ketahanan pangan dunia, yakni tempe. Makanan sederhana berbahan dasar kedelai ini ternyata disukai warga sedunia karena dianggap sebagai solusi mengatasi permasalahan pangan dan dikategorikan sebagai makanan yang bergizi tinggi alias super food. 

Makanan Asli RI

Kisah tempe tak bisa dilepaskan dari kedelai. Menurut sejarawan Fadly Rahman dalam Jejak Kuliner Nusantara (2016), kedelai diduga kuat diperkenalkan oleh para pedagang Tionghoa dan sudah dikenal di kepulauan Nusantara sebelum abad ke-10. Dari bahan ini, masyarakat kemudian mengenal dua pangan penting, yakni tahu dan tempe.


Tahu memiliki jejak paling tua sebab sudah disebut dalam Prasasti Watukura di Jawa Timur yang berasal dari tahun 902 Masehi. Sedangkan tempe baru muncul berabad-abad kemudian dan tercatat dalam Serat Centhini yang berasal dari abad ke-16.

"Dalam Serat Centhini muncul kata tempe dalam makanan 'besengek tempe pitik' (besengek tempe ayam) dan kadhele tempe," ungkap Fadly Rahman.

Kemunculan istilah itu menunjukkan tempe berasal dari Jawa Tengah, bukan dari China. Menurut Fadly, tempe merupakan hasil kreasi olahan kedelai yang menjadi produk protein nabati pengganti daging pada abad ke-19.

Dia menduga ada dua kemungkinan orang Jawa bisa membuat tempe. Pertama, dari teknik peragian ampas kelapa setelah diambil minyaknya untuk dijadikan bongkrek. Kedua, besar kemungkinan diperoleh dari orang Tionghoa yang sering melakukan inokulasi kulit kedelai dengan bakteri atau jamur. Dari sini, kedua teknik tersebut berpengaruh terhadap kemunculan tempe.

Sejak saat itu, tempe menjadi bagian penting dari konsumsi masyarakat Nusantara. Seiring waktu, tempe juga membuktikan diri sebagai solusi makanan di kala susah. Pada masa krisis ekonomi global 1930, misalnya, tempe menjadi penyelamat bagi banyak keluarga ketika harga bahan pangan hewani seperti daging dan ikan melambung tinggi.

Tempe yang menjadi solusi murah dan bergizi tinggi berhasil mencukupi kebutuhan gizi orang-orang di Indonesia, termasuk juga bangsa Eropa.

Diburu Warga Dunia

Menurut peneliti tempe William Shurtleff dan Akiko Aoyagi dalam History of Tempeh (1980), popularitas tempe mulai meroket sejak masa kolonialisme. Awalnya dilakukan oleh para peneliti Belanda yang mulai mempublikasikan riset tentang tempe sejak 1875. Namun, produksi tempe secara komersial di Eropa baru terjadi beberapa dekade kemudian.

"Produksi tempe secara komersial di Eropa pertama kali dilakukan sekitar tahun 1946-1959," ungkapnya.

Sementara di Amerika Serikat (AS), pamor tempe semakin meningkat berkat penelitian para ahli mikrobiologi dan ilmuwan pangan di Cornell University's New York State Agricultural Experiment Station di Geneva, New York, serta di USDA Northern Regional Research Center di Peoria, Illinois.

Penelitian ini membuktikan tempe memiliki kandungan gizi yang luar biasa. Dari penelitian itu pula, para ilmuwan berhasil mengisolasi kultur bakteri Rhizopus oligosporus, yang kemudian dipakai untuk memproduksi tempe skala besar di AS. Para peneliti di sana juga mengungkap teknik baru yang mengubah industri tempe, khususnya soal pembungkusan.

Jika di Indonesia tempe dibungkus menggunakan daun pisang, maka di AS yang kemudian ditiru oleh negara lain mulai menggunakan kantong plastik. Sebab, plastik lebih mudah ditemukan daripada daun pisang.  Perubahan itu membuat produksi tempe lebih efisien dan mudah disebarluaskan. Sejak saat itu, tempe menjadi makanan sehat populer di Barat, terutama di kalangan penganut vegetarian.

Bahkan, Presiden AS Jimmy Carter (1977-1981) pernah mendapat masukan dari para penasihatnya untuk mendukung tempe sebagai solusi dalam kebijakan pangan nasional. Saat itu, tempe dianggap sebagai sumber protein nabati murah dan berkelanjutan yang berpotensi membantu mengatasi krisis pangan global.

Masih menurut peneliti tempe William Shurtleff dan Akiko Aoyagi dalam History of Tempeh (1980), tempe kemudian diproduksi dan dikonsumsi luas di berbagai negara. Tak hanya di Asia, Eropa, dan AS, tetapi juga negara di Afrika dan Amerika Latin. Menurutnya di setiap negara, ada pabrik produksi tempe yang mengindikasikan betapa tingginya permintaan tempe di sana.


(mfa/mfa)