
Terlahir Kaya, Anak Bangsawan Ini Menangis Lihat Penderitaan Warga RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepekaan terhadap kondisi sosial di sekitar harus dimunculkan oleh setiap orang. Salah satu contohnya dilakukan oleh Soerjopranoto. Meski terlahir sebagai bangsawan kaya raya, dia memilih meninggalkan kemewahan usai prihatin dan menangis melihat kondisi Indonesia pada masa kolonial.
Soerjopranoto merupakan anak dari Pangeran Haryo Soerjaningrat dan adik dari Ki Hajar Dewantara. Sebenarnya dia calon Raja Jawa, tetapi karena sang ayah mengalami kebutaan, garis keturunan kekuasaan terputus. Dia pun harus menerima kenyataan hidup sebagai keluarga kerajaan dan bangsawan Jawa yang sangat makmur.
Namun, kemakmuran tersebut berjalan beriringan dengan kepekaan sosial dalam diri Soerjopranoto. Didikan ayahnya yang menekankan penghormatan terhadap sesama membuat dia terbiasa bergaul dengan anak-anak kampung miskin. Dari situlah tumbuh empatinya terhadap penderitaan rakyat.
Sampai akhirnya, pada usia 30, dia mengalami titik balik kehidupan. Dalam autobiografi berjudul Raja Mogok: R.M Soerjopranoto (1983) diceritakan, dia meneteskan air mata ketika mengetahui betapa parahnya kondisi Indonesia pada masa kolonial imbas kebijakan politik penjajahan. Kala itu menyaksikan para buruh perkebunan hanya digaji 12 sen sehari sementara mandornya mendapat 500 gulden.
Dia akhirnya merasa kedudukannya sebagai bangsawan tak ada artinya jika rakyat hidup sengsara. Dia jadi ogah punya harta banyak. Sejak itu, dia bertekad memutus hubungan dengan sistem kolonial. Dia yang sudah bekerja di Dinas Pertanian langsung melawan atasan yang orang Belanda dengan menempeleng kepalanya. Lalu, menyobek ijazah Belanda miliknya sambil mengeluarkan sumpah serapah.
"Sejak detik ini aku tidak sudi lagi bekerja untuk pemerintah Belanda," ungkap Soerjopranoto.
Sejak awal 1900-an, Soerjopranoto meninggalkan kehidupan istana dan memilih hidup miskin. Dia lalu aktif membela rakyat kecil, mengajar di Taman Siswa milik adiknya, serta memperjuangkan hak buruh melalui organisasi Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Semua itu dilakukan agar cita-cita memperjuangkan perbaikan nasib, peningkatan kesejahteraan manusia, dan membebaskan rakyat kecil dari kemelaratan dan kesengsaraan bisa terwujud.
Selain itu, dia juga aktif dalam ranah pergerakan nasional mewujudkan kemerdekaan. Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997) mencatat, dia aktif di Boedi Oetomo hingga Sarekat Islam. Salah satu pergerakan paling penting yang dilakukannya adalah ketika memimpin gerakan buruh.
Dia tercatat sebagai orang pertama yang berhasil memimpin demonstrasi pemogokan buruh-buruh sepanjang sejarah Indonesia. Keberhasilannya membuat pemerintah kolonial geram. Atas dasar ini, dia dijuluki "raja mogok".
Rasa balas dendam Soerjopranoto kemudian terselesaikan ketika Indonesia merdeka tahun 1945. Setelah merdeka, Soerjopranoto tak menghilangkan idealismenya. Dia tetap hidup miskin bersama warga di luar istana sampai akhir hayat pada 15 Oktober 1959, tepat hari ini 66 tahun lalu. Dia dimakamkan di Yogyakarta dan sebulan kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno.
(mfa/mfa)