CNBC INSIGHT

Mantan Menteri RI Melarat, Rumah Ngontrak-Tak Mampu Beli Kain Kafan

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
10 October 2025 12:00
K.H. Agus Salim. (Dok Disdakmen)
Foto: K.H. Agus Salim. (Dok Disdakmen)
Naskah ini bagian dari CNBC Insight, menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu.

Jakarta, CNBC Indonesia - Gaya hidup para pejabat Indonesia kerap menjadi sorotan publik. Namun, di antara mereka, sosok Agus Salim layak dijadikan teladan. Sepanjang hidupnya, ketika menjabat sebagai pejabat tinggi negara hingga setelah pensiun, dia tetap hidup sederhana dan jauh dari kemewahan. Bahkan, sering dibilang melarat karena tak punya jas bagus hingga tinggal di kontrakan.

Nama Agus Salim memang tak sebesar Soekarno atau Mohammad Hatta. Namun, perannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan masa awal berdirinya republik sangat besar. Sebagai Menteri Luar Negeri (1947-1948), Salim menjadi tokoh kunci dalam diplomasi Indonesia di dunia internasional. Dia aktif berkeliling ke berbagai negara untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia.

Kepiawaiannya berbahasa dan berdiplomasi membuatnya dihormati banyak pihak, termasuk oleh tokoh asing. Perdana Menteri Belanda, Willem Schermerhorn, sampai kagum atas sikapnya.

"Orang tua yang sangat pintar ini (Agus Salim) seorang jenius dalam bidang bahasa, bicara, dan menulis dengan sempurna, paling sedikit sembilan bahasa, tapi punya satu kelemahannya yaitu selama hidupnya melarat," ungkap PM Belanda Willem Schermerhorn, dalam Het Dagboek van Schermerhorn (1946).

Apa yang disampaikan orang nomor satu di Belanda soal kemelaratan Salim memang benar. Pria kelahiran 8 Oktober itu memang penuh kesederhanaan dan cenderung melarat. Pada umumnya, diplomat selalu tampil rapih berjas untuk membentuk citra diri baik di hadapan para utusan asing. Agus Salim tidak seperti itu. Meski sering hadir dalam acara resmi, dia tidak pernah berusaha tampil mewah.

"Jas yang dia kenakan dalam acara-acara resmi sering kali terlihat kumal dan topi yang dia pakai pun bukan barang baru," ungkap buku Agus Salim: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia (2024).

Gaya hidup sederhana itu bukan karena tak mampu, melainkan karena pilihan untuk menjauh dari kemewahan. Bahkan selama menjabat dan pensiun, Agus Salim tidak memiliki rumah sendiri. Dia lebih sering tinggal di rumah kontrakan dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Kisah paling menyentuh datang ketika salah satu anaknya meninggal dunia. Dia sampai tak mampu beli kain kafan.

"Karena tidak memiliki uang untuk membeli kain kafan, Agus Salim dengan tenang mengambil taplak meja dan kain kelambu yang sudah terpakai untuk membungkus jenazah anaknya," ungkap buku Agus Salim: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia (2024).

Saat seorang kolega menawarkan kain kafan baru, Agus Salim menolak dengan bijak. Alasannya karena kain baru lebih dibutuhkan oleh orang yang masih hidup. Baginya, orang yang sudah wafat tak perlu memerlukan apapun selain kedamaian.

Sikap hidup seperti ini sudah memang melekat pada dirinya sejak muda. Pada masa 1920-an, meski berasal dari keluarga terpandang, yakni anak seorang jaksa di masa kolonial, Salim memilih hidup sederhana.

"Dia pernah tinggal di rumah kontrakan di Tanah Tinggi yang jalannya berlumpur di musim hujan, atau menumpang di rumah seorang kawannya," tulis Amrin Imran dalam Perintis Kemerdekaan: Perjuangan dan Pengorbanannya (1991).

Kesederhanaan itu dijaganya sampai akhir hayat pada 4 November 1954. Saat berpulang, pemerintah kemudian memakamkannya di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara kenegaraan.

Menurut Harian Merdeka (5 November 1954), Salim menjadi orang pertama yang dimakamkan di TMP Kalibata meski bukan pahlawan dan orang kedua setelah Jenderal Soedirman yang mendapat upacara kenegaraan.

"Mengingat K.H. Agus Salim almarhum sebagai tokoh nasional yang besar, maka pemerintah memutuskan untuk memakamkan jenazahnya dengan upacara kenegaraan. Sekaligus juga meminta kantor pemerintah dan masyarakat mengibarkan bendera setengah tiang," ungkap juru bicara pemerintah.

Masih menurut Harian Merdeka (6 November 1954), ribuan orang hadir mengantarkan kepergiannya, termasuk presiden, wakil presiden, dan para pejabat tinggi negara. Mereka meneteskan air mata melepas Salim. 

Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, pemerintah baru menetapkan K.H. Agus Salim sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 657 Tahun 1961, tertanggal 27 Desember 1961.


(mfa/wur)

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular