Meteor Besar Benar Jatuh, Warga Panik Berhamburan Keluar Rumah
Jakarta, CNBC Indonesia - Masyarakat di wilayah Cirebon dan sekitarnya dikabarkan melihat bola api terang disertai dentuman keras pada malam Minggu (5/10). Peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN, Thomas, memastikan bahwa fenomena tersebut adalah meteor.
"Saya menyimpulkan itu adalah meteor cukup besar yang melintas memasuki wilayah Kuningan-Kabupaten Cirebon dari arah barat daya sekitar pukul 18.35-18.39 WIB," kata Thomas dalam unggahan di akun Instagramnya, Senin (6/10/2025).
Jatuhnya meteor di langit Indonesia bukanlah peristiwa pertama. Sejarah mencatat, meteor beberapa kali melintas di langit Nusantara. Perbedaannya hanya terletak pada respons masyarakat terhadap kemunculannya. Jika kini fenomena tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah, maka di masa lalu kejatuhan meteor sering menimbulkan kepanikan besar.
Berbagai surat kabar di masa kolonial banyak memberitakan kejadian meteor dan respons masyarakat yang dilanda ketakutan. Di Jakarta (dulu Batavia), misalnya, pada malam 14 Juni 1895 warga dihebohkan oleh suara dentuman keras dan cahaya petir dari langit kota.
Koran Apeldoornsche Courant (27 Juni 1895) mewartakan, ketika peristiwa itu terjadi banyak warga berlari keluar rumah karena kaget mengira bencana besar bakal datang. Saat keluar, mereka melihat bola api besar di langit yang sangat menyilaukan. Seakan-akan malam hari mendadak menjadi siang. Ternyata hal itu disebabkan oleh pantulan sinar awan tebal.
"Bola api itu disertai cahaya yang menyebar melalui pantulan tutupan awan tebal," ungkap koran tersebut.
Koran itu mencatat durasi fenomena mencapai lima menit. Setelah ditelusuri, bola api itu bernama meteor dan jejaknya ditemukan di dekat Tanjung Priok. Misteri dentuman yang membuat warga panik pun terungkap diduga kuat berasal dari ruang hampa di belakang meteor atau suara benturan saat menghantam bumi.
Masih di Jakarta, respons serupa terjadi pada 22 November 1898. Menurut The Telegraph (22 November 1898), masyarakat kembali dilanda kepanikan hebat. Tepat di malam hari, dentuman keras tiba-tiba terdengar di seluruh Batavia dan bergema cukup lama.
"Warga heran sebab itu bukan petir dan tembakan meriam," ungkap The Telegraph.
Beberapa hari kemudian, berdasarkan informasi dari badan antariksa, dentuman tersebut diduga berasal dari meteor yang jatuh karena tidak terdeteksi oleh alat pengukur gempa.
Tak hanya di Batavia, kepanikan akibat meteor juga pernah melanda daerah lain di luar Jawa, seperti di Solok, Sumatera Barat. Koran Nieuwe Groninger Courant (16 November 1903) melaporkan pada 25 September 1903 penduduk Solok mendadak panik karena mengira ada petaka.
Sekitar pukul setengah sembilan malam, terdengar suara gemuruh dan desingan di langit. Orang-orang lari keluar rumah dan melihat langit terang oleh sebuah bola api. Mengira itu semua adalah bencana. Namun, belakangan diketahui itu dikenal sebagai meteor.
"Orang-orang melihat langit diterangi oleh meteor yang tampak seperti bola api besar menembus angkasa sepanjang beberapa ribu meter," tulis koran tersebut.
Meteor itu dilaporkan jatuh ke tanah dan menimbulkan kawah besar di Solok. Di daerah Jawa Barat pula dikabarkan ditemukan beberapa serpihan meteor. Harian de Locomotief (11 Mei 1934) mengungkap pada 22 Mei 1934 ditemukan warga Jawa Barat di Bandung, Pangalengan, Ujungberung, Cibitu, Bogor, Cicurug, dan Batavia melihat bola api jatuh yang diikuti suara gemuruh.
Setelah ditelusuri, meteor tersebut berada di atar Utara 5 derajat Barat pada ketinggian 30 derajat di atas cakrawala. Lalu, serpihannya juga ditemukan di beberapa wilayah dengan berat bervariasi. Lalu di Cibangara, 27 km Tenggara Cianjur pada Mei 1934 juga terdapat laporan meteor jatuh, dan serpihannya berhasil ditemukan.
Namun, jauh sebelum itu, jejak meteor purba juga pernah terdeteksi di Indonesia.
Di wilayah Ciletuh, Sukabumi, terdapat formasi mega-amphitheatre yang diduga merupakan sisa hantaman meteor. Formasi ini berusia sekitar 0,3 juta tahun dan memiliki kemiripan dengan struktur bekas tumbukan meteor di Australia.
Berdasarkan riset berjudul "Remote Sensing Identification of Possible Meteorite Impact Crater on Ciletuh, West Java" (2018), para peneliti menganalisis bahwa sisa-sisa karakteristik tumbukan masih bisa diidentifikasi melalui morfologi kawah, anomali geofisika, bukti shock metamorphism, serta keberadaan jejak geokimia.
Dari hasil analisis tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa mega-amphitheatre di Ciletuh memang terbentuk akibat tumbukan meteor. Hal ini dibuktikan dengan relief permukaan bumi yang khas, terdapat tonjolan dan cekungan, serta pola aliran Sungai Ciletuh yang berkelok-kelok, yang mengindikasikan adanya hantaman meteor purba.
Pada Juni 2024, CNBC Indonesia pernah mengunjungi diduga salah satu lokasi jatuhnya meteor di pedalaman hutan Cianjur, Jawa Barat. Tim CNBC Indonesia berhasil menemukan jejak diduga bekas hantaman meteor berupa cekungan kawah yang cukup besar dan membentuk ceruk lebih kurang sedalam 3 meter. Di sekeliling cekungan tersebut dipenuhi hutan-hutan pinus yang melingkari.
"Kondisinya memang sudah sangat tertutup rapat semak belukar, tapi bentukan kawah masih sangat jelas meski sudah tampak sedimentasi," ungkap reportase CNBC Indonesia, dikutip Senin (6/10/2025). Laporan selengkapnya bisa baca di sini.
(mfa/mfa)