Koruptor Terbesar RI Kabur Usai Suap Sipir Penjara, Diburu 179 Negara

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah warga Indonesia pernah masuk daftar red notice Interpol. Sebagian berhasil dibekuk lewat kerja sama kepolisian lintas negara. Namun, ada satu nama yang hingga kini masih jadi misteri besar, yakni Eddy Tansil.
Koruptor kelas kakap ini divonis 20 tahun penjara pada 1996 setelah merugikan negara hingga Rp1,3 triliun. Nominal ini begitu fantastis sehingga menjadikannya sebagai koruptor terbesar pada masanya. Namun, baru 1,5 tahun mendekam di balik jeruji Lapas Cipinang, dia justru berhasil melarikan diri. Eddy kabur ke China dan sejak saat itu keberadaannya tak pernah terdengar lagi.
Koruptor Duit Rp1,3 T
Eddy Tansil adalah pengusaha Indonesia yang merintis bisnis sejak 1970-an. Mulai dari jual-beli becak, perakitan sepeda motor, hingga pabrik bir untuk ekspor ke China. Namanya makin dikenal luas pada awal 1990-an setelah mendirikan perusahaan petrokimia, PT Golden Key Group.
Untuk membangun usahanya, Eddy mengajukan kredit ke negara melalui Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Pinjaman tersebut cair hingga Rp1,3 triliun. Kala itu, negara bisa memberikan kredit ke perusahaan-perusahaan demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Namun, dana itu menimbulkan kecurigaan karena diduga dipakai untuk kepentingan pribadi. Menurut pemberitaan koran Berita Yudha (18 Februari 1994) atas dugaan tersebut Kejaksaan Agung menahan Eddy Tansil bersama wakil kepala Bapindo cabang Jakarta berinisial SP pada 17 Februari 1994. Keduanya dijerat dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi.
"Pengusaha ET yang dikenal sebagai 'raja bir' dan 'raja bajaj' itu secara resmi ditahan Kejaksaan Agung hari Kamis, setelah semalam sebelumnya diperiksa tim jaksa secara maraton dari pukul 18.15 WIB sampai pukul 24.30 WIB," tulis Berita Yudha.
Dalam penyidikan, terungkap Eddy mendapat kredit berkat surat referensi dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Sudomo. Surat itu kemudian diserahkan kepada para petinggi Bapindo agar kredit segera dicairkan. Petinggi Bapindo percaya karena melihat kedekatan mereka.
"Setelah melihat dengan mata sendiri Eddy Tansil akrab dengan Sudomo, dia semakin percaya diri terhadap Eddy Tansil, sehingga apapun yang diminta dalam keperluan proyeknya selalu dikabulkan," kata saksi kepada Kejaksaan Agung, dikutip dari Berita Yudha (26 Agustus 1994).
Sudomo sendiri tidak membantah hubungannya dengan Eddy. Surat referensi yang dia berikan pun bukan "surat sakti" karena keputusan pencairan tetap berada di tangan para petinggi bank dengan berbagai pertimbangan.
"Saya siap diperiksa. Referensi yang saya buat itu tidak otomatis mengakibatkan pencairan kredit itu," terang Sudomo, dikutip dari Berita Yudha (17 Agustus 1994).
Setelah proses persidangan, akhirnya pada 15 Agustus 1994, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis bersalah kepada Eddy Tansil.
"Eddy Tansil divonis 17 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp500 miliar," ungkap hakim, dikutip dari Bali Post (16 Agustus 1994).
Eddy terbukti menyalahgunakan kredit Rp1,3 triliun untuk kepentingan pribadi bukan usaha. Dia malah membeli rumah, tanah, kendaraan, serta menaruh dana di berbagai bank. Atas dasar ini negara rugi Rp1,3 triliun.
Namun, vonis tersebut diperberat di tingkat Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung menjadi hukuman 20 tahun penjara.
Kabur & Diburu Ratusan Negara
Setelah menerima vonis, Eddy Tansil harus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta. Namun, baru sekitar 1,5 tahun kemudian, publik kembali dibuat heboh. Pada malam hari, 6 Mei 1996, komandan jaga tidak menemukan Eddy di dalam sel. Belakangan diketahui, dia sudah kabur sejak 4 Mei 1996.
Menurut laporan Berita Yudha (19 Desember 1996), pada tanggal kejadian Eddy dijadwalkan berobat ke RS Harapan Kita. Agenda tersebut bahkan sudah mendapat izin dari Kepala LP. Selama 1996, Eddy memang rutin berobat ke sana dan kunjungan itu tercatat sebagai yang kelima. Namun, justru di kesempatan inilah dia melarikan diri dengan bantuan sipir.
"Eddy Tansil kabur setelah menyogok para sipir dengan alasan berobat," tulis koran Berita Yudha (23 Desember 1996).
Proses suap ini juga diceritakan sejarawan Benny G. Setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003). Benny mengungkap dia juga menyuap para pejabat.
"Namun, setelah beberapa waktu lamanya mendekam di LP Cipinang, dengan bantuan para pejabat penjara yang disuapnya, dia bersama keluarganya berhasil melarikan diri," ungkap Benny.
Tanda-tanda kaburnya Eddy sebenarnya sudah mulai terlihat sebelumnya. Menteri Kehakiman Oetojo Oesman kepada Kompas (8 Mei 1996) mengatakan, Eddy sempat mengubah penampilannya dengan mengeriting rambut serta memelihara jambang, diduga untuk persiapan kabur.
Kasus ini membuat Kepala LP Cipinang langsung dicopot dari jabatannya. Pemerintah kemudian meminta bantuan 179 negara dan Interpol untuk melacak sang buronan. Bahkan, detektif swasta pun dikerahkan. Dari hasil pelacakan inilah diketahui Eddy berada di luar negeri dan sempat terdeteksi di Singapura dan China. Sebab, punya harta di sana.
"Hasil pelacakan detektif swasta yang disewa pemerintah menyebutkan buronan tersebut memiliki kekayaan di RRC, Hongkong dan Singapura," ungkap Jaksa Agung Muda Yunan Sawidji, dikutip Bali Post (14 Mei 1996).
Namun, pencarian itu tak pernah membuahkan hasil. Sejak saat itu hingga kini, batang hidung Eddy Tansil tidak pernah terlihat lagi. Mengutip Detik.com, Kejaksaan Agung sempat mendeteksi kembali keberadaannya di China pada 2011, tetapi lagi-lagi tak mendapat titik terang.
Kini, 29 tahun setelah pelariannya, Eddy masih tercatat sebagai buronan Interpol, meski keberadaan bahkan status hidupnya masih menjadi tanda tanya.
(mfa/wur)
