Belajar dari Korsel, Merdeka Bareng RI di 1945 tapi Kok Lebih Maju?
Jakarta,CNBC Indonesia - Tahun 1945 menjadi titik balik bagi banyak negara Asia. Setelah puluhan tahun dijajah, bangsa-bangsa di kawasan ini mulai meraih kemerdekaan. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus, sementara hanya dua hari sebelumnya, tepat 15 Agustus 1945, Korea Selatan juga resmi terbebas dari penjajahan Jepang.
Namun, kemerdekaan Korea datang dengan tantangan yang berbeda. Alih-alih bersatu, semenanjung Korea justru terbelah menjadi dua wilayah. Korea Utara berada di bawah pengaruh Uni Soviet, sementara Korea Selatan berada di bawah pengaruh Amerika Serikat.
Perpecahan ini kemudian menandai sejarah panjang ketegangan antara kedua Korea. Sampai sekarang, kedua negara masih berstatus perang sebab hanya terjadi gencatan senjata, tanpa pernah sepakat damai.
Meski lahir di tengah perpecahan dan tantangan pascaperang, Korea Selatan berhasil bangkit pesat melalui fokus pada pendidikan, teknologi, dan industri, hingga kini menjadi salah satu negara maju di Asia.
Hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia. Meski sama-sama merdeka di tahun 1945, kenapa Korea Selatan punya nasib berbeda dengan RI?
Ketika situasi damai tahun 1953, Korea Selatan tergolong negara miskin. Banyak penduduknya melarat, pembangunan tak ada, hingga pendapatan perkapita yang rendah, yakni sekitar US$63.
Di tahun tersebut, Indonesia juga sedang melakukan pemulihan. Hanya saja, situasinya lebih menguntungkan. Sebab dalam kurun 1950-1953, Indonesia mendapat keuntungan dari tingginya ekspor karet ke Korea imbas Perang Korea.
Michel J. Seth dalam studinya "An Unpromising Recovery: South Korea's Post-Korean War Economic Development: 1953-1961" (2013), kondisi Korea Selatan di tahun tersebut, justru kalah jauh dari Korea Utara. Negara pimpinan Kim Il Sung itu tercatat lebih baik dari segi infrastruktur dan ekonomi.
Kondisi ekonomi carut marut itu makin parah usai terjadi ketidakstabilan politik. Ketika situasi damai, pemerintah Korea Selatan sering dilanda gonta-ganti kepemimpinan yang membuat tak ada peta jalan baik. Belum lagi, di setiap rezim, noda korupsi selalu hadir.
Namun, sekitar 1970-an, Korea Selatan mulai bangkit. Bantuan dari AS sukses, mulai dari finansial hingga ilmu pengetahuan, sukses membuat negara bangkit. Pada saat bersamaan, menurut The Middle Income Trap: A Case Study of Korea and Lesson for Vietnam (2021) pemerintah juga melakukan tiga kebijakan utama.
Pertama, reformasi tanah (land reform). Kepemilikan lahan pertanian yang sebelumnya dikuasai kelas elit dialihkan, lalu dimanfaatkan untuk mendukung industrialisasi serta pembangunan fasilitas pendidikan.
Kedua, keberhasilan pemerintah melobi dana luar negeri, terutama dari World Bank dan Jepang. Dana ini kemudian dipakai pemerintah untuk membangun infrastruktur vital, yakni rel kereta, jalan raya, irigasi, sekolah, hingga universitas.
Ketiga, penerapan industrialisasi dengan orientasi ekspor. Awalnya fokus pada industri ringan padat karya, lalu berkembang ke sektor yang lebih kompleks seperti industri berat dan petrokimia. Pemerintah juga memberi subsidi dan insentif pajak untuk mendorong percepatan ekspor.
Keempat, transformasi pendidikan. Sistem pendidikan diperluas dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Hasilnya, pada awal 1960-an tingkat partisipasi sekolah di Korea Selatan termasuk yang tertinggi di antara negara-negara berkembang, menjadikan masyarakatnya sangat melek literasi.
Semua ini pada akhirnya membuat dunia melihat kejadian menakjubkan yang disebut sebagai South Korean Miracle atau Keajaiban Korea Selatan.
Pada waktu bersamaan, Indonesia juga merangkak maju. Boediono dalam Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah (2016) menyebut, ini terjadi imbas keberhasilan ekspor minyak tahun 1970-an. Hanya saja, keberhasilan ekspor tersebut tak dibarengi tata kelola anggaran yang baik, sehingga membuat dana mengalir tak jelas ke mana.
Kini, kita tahu kedua negara kemudian tercatat sejarah mengalami perbedaan nasib, sekalipun merdeka bersama di tahun 1945.
(mfa/mfa)