Ilmuwan RI Tewas Dipenggal di Ancol Gegara Permalukan Peneliti Jepang
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia tak pernah kehabisan orang-orang hebat. Dari masa perjuangan hingga kini, selalu ada putra bangsa yang lahir dengan kecerdasan dan keberanian di atas rata-rata.
Salah satunya adalah Profesor Achmad Mochtar, ilmuwan medis brilian yang namanya sempat menggemparkan dunia sains internasional. Namun, alih-alih dikenang sebagai pahlawan ilmu pengetahuan, hidup Mochtar berakhir tragis di tangan penjajah Jepang.
Kisah itu bermula pada Sabtu, 7 Oktober 1944. Di bawah terik matahari Jakarta, langkah Mochtar tergopoh-gopoh ketika dijemput polisi militer Jepang dari rumah pribadinya. Hari itu, dia dipanggil usai terjadi kematian ratusan romusha gara-gara suntikan vaksin.
Jepang menuding vaksin dari Eijkman Instituut yang dipimpinnya sebagai penyebab, meski tak ada bukti langsung atas tuduhan itu. Mochtar lalu ditempatkan di penjara Kempetai, bekas sekolah tinggi hukum Batavia yang kini menjadi kantor Kementerian Pertahanan.
Di sana, dia diinterogasi dan disiksa berkali-kali bersama para ilmuwan Indonesia lain yang turut ditahan Jepang. Saking parahnya, raungan kesakitan terdengar hingga ke gedung-gedung sekitar. Nasib Mochtar berakhir di Ancol pada 3 Juli 1945 saat dipenggal dan tubuhnya terpisah dari kepala. Sementara itu, rekan-rekan ilmuwan lain dibebaskan.
Beberapa tahun setelah tragedi itu, barulah terungkap, Achmad Mochtar dan Eijkman Instituut sama sekali tidak terbukti terlibat dalam kematian romusha.
Menurut penelusuran Sangkot Marzuki dan Kevin Baird dalam Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang (2020), Negeri Matahari Terbit hanya menjadikan Mochtar sebagai kambing hitam atas kesalahan ilmuwan Jepang yang melakukan eksperimen vaksin tetanus terhadap romusha.
Kendati demikian, kematian Mochtar juga dianggap sebagai penuntasan dendam lama karena dia pernah membantah penelitian ilmuwan Jepang Noguchi Hideyo.
"Tidak masuk akal bahwa Jepang membunuh Mochtar tanpa motif selain dendam semata. Mochtar tidak melakukan apapun selain serangan teknisnya yang sukses atas penelitian Noguchi Hideyo dua dekade sebelumnya," ungkap Sangkot Marzuki dan Kevin Baird.
Siapa Noguchi Hideyo?
Dia merupakan ilmuwan ternama Jepang yang berulang kali dinominasikan Nobel Kedokteran. Pada 1913, misalnya, dia mengungkap hubungan antara sifilis dengan kerusakan saraf.
Lalu pada 1922 dia menyatakan bahwa demam kuning disebabkan bakteri Leptospira icteroides. Namun, klaim terakhir inilah yang dibantah keras oleh Mochtar lewat disertasi doktoralnya di Universitas Amsterdam berjudul Onderzoekingen Omtrent Eenige Leptospirren-Stammen (Penelitian Pada Beberapa Galur Leptospira)
Mochtar membuktikan bakteri yang ditemukan Noguchi bukan penyebab demam kuning, melainkan penyakit Weil. Seketika dunia medis gempar dan reputasi Noguchi pun jatuh.
Sang ilmuwan Jepang mencoba mempertahankan teorinya dengan mengujicobakan hasil riset pada tubuhnya sendiri, tetapi berakhir tragis. Eksperimen itu gagal dan Noguchi meninggal pada 21 Mei 1928. Kasus ini membuktikan kebenaran penelitian Mochtar.
Pada titik inilah benang merah antara bantahan Mochtar atas riset Noguchi dan kematiannya di tangan Jepang terlihat. Bahkan, Sangkot Marzuki dan Kevin Baird menyebut Jepang menyita salinan disertasi Mochtar saat penangkapan, seolah ingin menghapus jejak kebenarannya.
"Nama dan reputasi Noguchi Hideyo kemungkinan memainkan peran pada nasib yang menimpa Achmad Mochtar, melalui kebanggaan nasionalistik membara yang salah kaprah di hati para penangkapnya," tulis keduanya.
Kini, Noguchi Hideyo masih sangat dihormati di Jepang. Wajahnya bahkan terpampang di mata uang kertas 1.000 Yen. Sementara Achmad Mochtar, meski sudah tenang di alam keabadian, namanya tak pernah sepenuhnya dipulihkan di negeri yang ia bela dengan ilmu dan pengorbanan.
(mfa/mfa)