Nenek Moyang Rohana-Rojali Terungkap, Namanya Rocita Sang Penguasa Mal

Jakarta,CNBC Indonesia - Fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana) kini kian marak menjangkiti pusat-pusat perbelanjaan (Mal) di Indonesia. Dalam dunia usaha, tren ini ibarat pisau bermata dua.
Di satu sisi, kehadiran Rojali dan Rohana mampu meningkatkan okupansi mall. Namun di sisi lain mereka tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan para pelaku usaha. Tak heran, banyak pihak mulai menyuarakan kegelisahannya.
Padahal, fenomena seperti ini bukanlah hal baru. Istilah Rojali dan Rohana memang populer belakangan ini, tetapi praktiknya sudah terjadi sejak lama.
Hanya saja dulu masyarakat menyebutnya dengan istilah "cuci mata". Alias, hanya melihat-lihat saja sebagai langkah penyegaran (refreshing) tanpa pernah membeli alias Rocita (rombongan cuci mata). Ini muncul seiring menjamurnya mal sejak awal tahun 1990-an.
Mal sendiri muncul sebagai alternatif hiburan warga kota. Di Jakarta, misalnya, banyak pengusaha membangun pusat perbelanjaan sebagai alternatif hiburan. Saat ruang terbuka hijau terbatas dan taman kota kurang terawat, mal menjadi pilihan rekreasi yang lebih praktis.
Istilah "cuci mata" sendiri berasal dari padanan frasa bahasa Inggris, yakni window shopping. Namun, di Indonesia, maknanya berkembang. Tak hanya melihat-lihat barang, tapi juga menikmati suasana, melihat-lihat orang, hingga sekadar nongkrong.
Fenomena ini tercatat dalam berbagai laporan media sejak beberapa dekade lalu. Harian Analisa (Agustus 1980), misalnya, menulis tentang kebiasaan anak muda dan masyarakat urban yang datang ke kawasan Melawai, Blok M, sekadar untuk melihat mobil mewah atau berinteraksi dengan lawan jenis.
Memasuki dekade 1990-an, kebiasaan ini makin meluas. Harian Berita Yudha (16 Desember 1994) mencatat tingginya jumlah pengunjung di Plaza Blok M dan Mal Kalibata, yang baru dibuka pada 1991, yang hanya datang untuk berjalan-jalan tanpa membeli.
"Kita cuma sekadar cuci mata, bukan juga harus belanja," ujar seorang ibu rumah tangga yang diwawancarai koran tersebut.
Menurut Berita Yudha, fenomena ini muncul karena kelalaian pemerintah dalam menyediakan ruang hiburan publik yang memadai. Akibatnya, masyarakat perkotaan lebih memilih mal yang menawarkan kenyamanan dan suasana menyenangkan, meskipun bersifat komsumtif.
"Tidak setiap ke mal lalu kita belanja. Kita malah lebih sering hanya sekadar ngeceng di halaman mal. Suasananya santai sih...!" ujar Lenny, siswi SMA yang ditemui bersama teman-temannya di halaman Mal Kalibata.
Hal serupa juga terjadi di pusat perbelanjaan lain. Harian Suara Karya (7 Desember 1991) menulis di Mega Mall Pluit dan Blok M Mall mulai dipenuhi pengunjung yang datang bukan untuk berbelanja, tapi sekadar "cuci mata" melihat atmosfer mal yang berbeda.
"Ini benar-benar memikat pengunjung. Entah untuk belanja, makan di restoran, atau sekadar cuci mata," tulis media tersebut.
![]() Suasana pengunjung di Pusat Perbelajan Kota Kasablanka, Jakarta, Kamis (26/6/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman) |
Fenomena ini terus berlanjut hingga pertengahan 1990-an. Harian Berita Yudha (23 September 1996) mencatat pengunjung kawasan Blok M berasal dari berbagai kalangan dan banyak di antaranya hanya datang untuk jalan-jalan, melihat-lihat, atau bertanya-tanya tanpa pernah membeli.
Fenomena ini tak hanya terjadi di Jakarta. Di Medan, kondisi serupa juga ditemukan. Harian Analisa (27 Desember 1999) melaporkan pusat perbelanjaan seperti Pasar Petisah, Medan Mall, Thamrin Plaza, hingga Deli Plaza diramaikan oleh anak-anak muda yang hanya datang untuk "cuci mata" atau "mejeng", bukan belanja.
Kondisi ini sempat menjadi tantangan serius bagi pelaku usaha. Harian Pelita (1 Maret 1999) menuliskan demi menyiasatinya, para pemilik toko di mal mulai menggelar diskon besar-besaran, mempercantik etalase, hingga menawarkan pembayaran dengan teknologi baru saat itu, yakni kartu debit.
"Tujuannya cuma satu: memikat para pengunjung yang awalnya hanya cuci mata agar tergoda berbelanja," tulis koran tersebut.
Strategi ini rupanya cukup berhasil. Harian Waspada (6 Maret 2001) menulis bahwa tak sedikit pengunjung yang awalnya hanya ingin jalan-jalan akhirnya justru membeli barang yang menarik perhatiannya.
"Awalnya cuma niat cuci mata. Tapi ketika melihat sesuatu yang bagus, selera timbul, akhirnya dibeli juga-meski agak mahal," tulis media tersebut.
(mfa/wur)
