CNBC Insight

Berkat Didikan Ayah, Putra Orang Terkaya RI Putuskan Hidup Miskin

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Minggu, 27/07/2025 09:15 WIB
Foto: R.M. Soerjopranoto. (Dok. budaya.jogjaprov.go.id)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menjadi anak orang kaya biasanya berarti hidup nyaman, serba cukup, dan terbebas dari kekhawatiran ekonomi. Tapi tidak demikian bagi R.M. Soerjopranoto.

Meski lahir dari keluarga bangsawan Jawa yang sangat kaya, dia justru memilih jalan hidup yang berlawanan, yakni meninggalkan kemewahan dan hidup sederhana bersama rakyat kecil.

Nama Soerjopranoto mungkin tak sepopuler kakaknya, Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional. Namun, perjuangan dan idealismenya tak kalah besar. Dia sebenarnya berada di jalur keturunan penguasa Kadipaten Pakualaman.


Namun, takhta itu sirna karena ayahnya, Haryo Soerjaningrat, gagal menjadi raja akibat kebutaan. Meski begitu, harta keluarga tak ikut hilang. Mereka tetap hidup dalam kekayaan dan kehormatan sebagai bangsawan.

Hanya saja, sejak kecil Soerjopranoto sudah menunjukkan sikap berbeda. Dia dan saudara-saudaranya dibesarkan dalam nilai kesetaraan oleh sang ayah. Mereka diajarkan untuk menghormati semua orang, tanpa memandang status sosial.

Alih-alih tumbuh dalam lingkaran elit istana, Soerjopranoto justru sering bermain dan bergaul dengan anak-anak kampung-anak-anak dari keluarga miskin. Kebiasaan ini lantas membentuk empatinya.

Dia tumbuh melihat langsung kerasnya hidup di luar istana. Dan dari sanalah muncul kesadaran. Kekayaan yang dia miliki tak berarti apa-apa jika rakyat di sekitarnya menderita

Apalagi ketika menyadari kemiskinan ini bukan hal alami, melainkan hasil dari sistem kolonial yang menindas dan menciptakan ketimpangan sosial.

Salah satu pengalaman yang membekas adalah saat melihat langsung nasib para buruh perkebunan tebu. Para kuli hanya dibayar 12 sen sehari, sementara mandor yang hanya duduk-duduk bisa mendapat 500 gulden.

Ketimpangan ini membuatnya menangis. Hatinya terpukul. Dia muak dengan gemerlap istana dan mulai menaruh benci pada pemerintahan kolonial.

Sejak saat itu, dia menolak menjadi bagian dari sistem yang menindas. Bahkan ijazah hasil susah payah dari sekolah Belanda pun disobek sendiri.

"Sejak detik ini aku tidak sudi lagi bekerja untuk pemerintah Belanda," tegasnya lantang.

Keputusan itu bukan sekadar emosi sesaat. Di awal 1900-an, Soerjopranoto benar-benar meninggalkan warisan, gelar, serta kemewahan istana. Dia memilih keluar dan hidup di tengah rakyat jelata. Dia mulai dari nol, hidup sederhana dan tanpa fasilitas. 

Pada 1920-an, dia ikut mengajar di sekolah Taman Siswa milik adiknya. Di sana, dia menyatu dengan perjuangan pendidikan dan pencerahan rakyat. Tak hanya itu, dia juga aktif di berbagai organisasi pergerakan seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.

Namun peran paling besar yang dia mainkan adalah di bidang perburuhan. Dia menjadi tokoh yang memimpin pemogokan buruh secara besar-besaran-yang pertama kali terjadi dalam sejarah Indonesia.

Aksinya mengguncang pemerintahan kolonial dan membuat namanya dikenal luas. Karena keberaniannya itu, dia dijuluki "raja mogok."

Semua perjuangan itu akhirnya mencapai puncaknya saat Indonesia merdeka pada 1945. Tapi Soerjopranoto tidak berubah. Meski bangsa telah merdeka, dia tetap memilih hidup di tengah rakyat, jauh dari gemerlap kekuasaan, dan setia pada idealismenya sampai akhir hayat.

Catatan:

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.


(mfa/mfa)

Related Articles