Presiden RI Marah ke Presiden AS, Niat Kerja Sama Malah Dikerjain
Jakarta, CNBC Indonesia - Selama puluhan tahun menjalin hubungan diplomatik, Presiden Indonesia ternyata pernah dibuat marah oleh Presiden Amerika Serikat (AS). Niat awalnya untuk bersilaturahmi dan memperkuat kerja sama, tapi berakhir dikerjai langsung oleh Presiden AS. Peristiwa ini terjadi 65 tahun lalu dan melibatkan Presiden Soekarno serta Presiden ke-34 AS, Dwight D. Eisenhower.
Hitung mundur ke awal 1960. Kala itu, Soekarno mendapat undangan langsung dari Eisenhower untuk berkunjung ke Gedung Putih, Washington. Soekarno tentu saja terbuka atas undangan orang nomor satu di AS itu.
Bagi Soekarno, Indonesia merasa perlu silaturahmi dan menjalin kerja sama dengan Paman Sam. Apalagi, setelah 20 tahun merdeka, jasa AS terhadap Indonesia terbilang banyak.
Mulai dari memenangi Perang Dunia II (1939-1945) yang membuat Indonesia bisa merdeka hingga turut turun tangan menyelesaikan sengketa dengan Belanda. Atas dasar ini, pada Juni 1960, Soekarno dan rombongan berangkat ke AS.
Namun, begitu mendarat di bandara, Soekarno langsung dibuat heran. Dalam autobiografi berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), proklamator itu ternyata tak disambut Eisenhower di bandara.
Soekarno masih berpikir positif. Dia mengira sambutan resmi akan dilakukan di Gedung Putih. Tapi, setibanya di sana, Eisenhower pun tak muncul. Soekarno hanya disambut oleh staf protokol dan langsung diarahkan ke ruang tunggu.
Lazimnya, tamu negara setingkat kepala negara disambut langsung oleh Presiden AS. Namun, kali ini berbeda. Soekarno hanya disilakan duduk, tanpa sambutan resmi. Lagi-lagi, dia masih mencoba maklum. Pikirnya, mungkin Eisenhower sedang dalam perjalanan ke ruang tunggu.
Tapi setelah beberapa jam, sang presiden AS tak kunjung muncul. Di titik inilah kesabaran Soekarno habis.
Dia memanggil kepala protokol Gedung Putih dan meluapkan amarahnya. Dengan nada tinggi, Soekarno menyampaikan ultimatum.
"Apakah saya harus menunggu lebih lama lagi? Kalau begitu, saya akan berangkat sekarang juga," tegas Soekarno.
Kepala protokol langsung panik dan buru-buru melapor ke atasannya. Tak lama kemudian, Eisenhower pun datang. Artinya, keterlambatan itu memang disengaja dan di luar kebiasaan penyambutan tamu negara.
Pertemuan seketika berlangsung dingin. Eisenhower menyalami Soekarno dan rombongan, tapi tanpa sepatah kata permintaan maaf. Suasana pun menjadi canggung. Soekarno yang terlanjur kesal ingin segera mengakhiri kunjungan. Pertemuan pun tanpa hasil apa pun.
Lantas, apa penyebab perlakuan dingin itu?
Ternyata, masalahnya terletak pada kehadiran Ketua Partai Komunis Indonesia, Dipa Nusantara Aidit, dalam rombongan Soekarno.
Diplomat AS dan tangan kanan Eisenhower, Howard Palfrey Jones, dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream (1971), menulis bahwa Eisenhower sangat tidak senang dengan kehadiran Aidit. Mengingat latar belakang ideologinya, Eisenhower menganggap kehadiran Aidit sebagai penghinaan.
Apalagi, kehadiran Aidit menjadi orang komunis pertama di dunia yang secara resmi menginjakkan kaki di Gedung Putih. Itulah sebabnya dia membalas dengan mengerjai Soekarno.
Eisenhower sendiri lengser pada 1961. Posisinya digantikan oleh John F. Kennedy, yang jauh lebih moderat memandang Soekarno. Berbeda dari pendahulunya, Kennedy meyakini bahwa Soekarno bukan musuh, melainkan pemimpin berpengaruh di dunia ketiga yang harus dirangkul dan bukan dijauhi.
Atas dasar inilah, pemerintahan AS di bawah Kennedy mulai membuka kembali jalur kerja sama yang lebih hangat dengan Indonesia. Soekarno pun merespons dengan sikap terbuka. Hubungan keduanya bahkan terjalin cukup akrab secara pribadi.
Sebagai bentuk penghormatan, pada 1963 Soekarno membangun Wisma Indonesia di Istana Negara, yang dirancang sebagai tempat tinggal Kennedy selama kunjungan kenegaraannya ke Indonesia pada 1964.
Namun, rencana itu tak pernah terwujud. Pada 22 November 1963, Kennedy tewas ditembak di Dallas, Texas.
"Aku sangat menyesal bahwa ia tidak pernah bisa datang," ujar Soekarno, mengenang sahabat politiknya yang wafat sebelum sempat menginjakkan kaki di Indonesia.
(mfa/wur)