CNBC Insight

Kisah Presiden RI Nego Alot dengan AS: Dulu Tambang & Utang

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Kamis, 24/07/2025 16:20 WIB
Foto: Presiden Indonesia Mohamed Suharto terlihat selama kunjungannya di Prancis, 13 November 1972 di Paris. (AFP/-)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi mengumumkan kesepakatan dagang dengan Indonesia yang mencakup kebijakan tarif resiprokal antar kedua negara. 

AS menyetujui penurunan tarif impor untuk produk asal Indonesia menjadi 19% dari sebelumnya 32%. Salah satu kompromi dari penurunan ini adalah pengiriman data pribadi warga Indonesia ke AS.

"Indonesia berkomitmen untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa dan investasi digital. Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat," jelas pernyataan tersebut, dikutip Kamis (24/7/2025).


Praktik nego-nego tukar guling yang melibatkan kepentingan strategis ternyata bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Pada era Orde Baru, Presiden Soeharto juga pernah melakukan negosiasi langsung dengan Amerika Serikat.

Hasilnya, berbagai kesepakatan ekonomi terjadi, termasuk terkait utang dan pemberian konsesi tambang kepada perusahaan-perusahaan AS sebagai bagian dari kompromi politik dan dagang antarnegara.

Tambang & Utang

Terpilihnya Jenderal Soeharto sebagai Presiden ke-2 RI pada 1967 mengubah arah haluan ekonomi dan politik Indonesia. Dari menutup diri dari bantuan asing menjadi terbuka terhadap investasi asing. 

Perubahan ini berlangsung di tengah ketegangan Perang Dingin (1945-1991), ketika AS berupaya mendorong negara-negara berkembang agar berpihak ke blok kapitalis dan mendukung sistem ekonomi pasar bebas.

Demi mendapatkan dukungan ekonomi dan politik, Soeharto hendak menjalin hubungan erat dengan AS dan berbagai lembaga dunia yang pendonor utamanya adalah Paman Sam, seperti IMF dan Bank Dunia.

Namun, ketika Indonesia hendak menjalin hubungan, mereka bergeming dan mengajukan syarat, yakni harus menyelesaikan utang masa lalu terlebih dahulu. Pembayaran utang tersebut sangat memberatkan.

Sebab, menurut paparan sejarawan M.C Rickfles dalam Sejarah Indonesia Modern (1999), ekonomi Indonesia pun sedang berat imbas warisan buruk kebijakan rezim sebelumnya. 

Menurut sejarawan Anne Booth dalam The Indonesian Economy in The Nineteenth and Twentieth Centuries, A History of Missed Opportunities (1998), IMF meminta Indonesia membayar utang sebesar US$ 55 juta sebagai syarat kembali menjadi anggota. 

Pemerintah RI lantas bersedia membayar sebagian kecilnya, sekitar US$30 ribu di awal, dan sisanya secara bertahap dalam setahun. Setelah negosiasi, IMF menyetujui permintaan tersebut dan melakukan penjadwalan ulang utang dengan kreditur lain.

Hasil akhirnya, Indonesia harus membayar semua utang dalam waktu 30 tahun, serta mendapat keringanan bunga utang yang dicicil dari 1970 hingga 1999. 

Selain persoalan utang, pada waktu bersamaan, Indonesia juga melakukan negosiasi soal tambang Freeport. Perlu diketahui, salah satu tonggak perubahan haluan ekonomi di bawah Soeharto adalah terbitnya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967. 

UU tersebut memungkinkan perusahaan asing beroperasi di Indonesia. Perusahaan pertama yang memanfaatkan aturan tersebut adalah Freeport asal AS. Pada 7 April 1967, pemerintah menandatangani kontrak karya dengan Freeport selama 30 tahun untuk mengeruk tambang di Papua.

"Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim baru di Jakarta dan menjadi aktor ekonomi dan politik utama di Indonesia," tulis Denise Leith dalam Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia (2003).

Freeport sebenarnya sudah ingin menambang sejak 1950-an. Namun, haluan politik Presiden Soekarno tidak memungkinkan perusahaan itu berada di Tanah Air.  

Seiring waktu, Soeharto ingin melakukan negosiasi kembali, salah satunya, meminta Indonesia kebagian saham Freeport. 

Dalam buku Pelaku Berkisah (2005) yang disusun Thee Kian Wie, mantan Menteri Pertambangan Mohammad Sadli menyatakan kontrak generasi pertama dengan Freeport terlalu menguntungkan pihak asing.

Soeharto ingin mendapat 8,9% saham. Namun, negosiasi ini berjalan alot. Freeport ogah membagikan saham karena mengklaim belum untung, terlebih usai Jepang melakukan pembelian dengan harga murah. 

Agar negosiasi sukses, pemerintah Indonesia menekan Jepang dengan pembatasan pasokan minyak. Ini bertujuan agar Jepang rela membayar mahal tambang ke Freeport. Hasilnya, dua tahun kemudian, Freeport akhirnya menyetujui pemberian saham sebesar 8,5% serta royalti 1% kepada pemerintah Indonesia. 


(mfa/mfa)