Belajar dari Kegagalan Soekarno Sempat Bikin Banyak Koperasi di RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih pada Senin (21/7/2025). Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat akar rumput lewat pengembangan ekonomi berbasis komunitas.
Koperasi sendiri bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Sejak lama, koperasi sudah jadi salah satu motor penggerak perekonomian negara. Meski begitu, perjalanan koperasi di Indonesia tak pernah mulus.
Andalan Sejak Lama
Sejak awal kemerdekaan, koperasi difungsikan sebagai wadah bangkitnya kaum miskin. Maksudnya, koperasi bakal menyediakan akumulasi modal untuk rakyat, bukan rakyat untuk akumulasi modal.
Dalam disertasinya Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Mohammad Hatta (1926-1959) (2016), Fadli Zon menyebut pemerintah saat itu mengandalkan koperasi sebagai instrumen utama dalam pembangunan ekonomi rakyat.
Koperasi dianggap sebagai wujud nyata semangat gotong royong yang hadir untuk menjawab persoalan klasik seperti kurangnya modal dan keterbatasan akses barang pokok.
Atas dasar ini, pada 1958, negara pernah juga mendirikan banyak koperasi lewat dukungan kredit dan subsidi. Jadi masyarakat bisa mendirikan koperasi sendiri dengan kredit dan subsidi dari pemerintah. Alhasil, jumlah koperasi pun melejit.
Menurut Amiruddin Al-Rahab dalam Ekonomi Berdikari Sukarno (2014), pemerintah menginginkan koperasi hadir bukan sekadar sebagai pelengkap ekonomi, tetapi sebagai pelaku utama dalam sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Dengan prinsip kolektivitas, koperasi tidak boleh dijadikan alat akumulasi modal pribadi, melainkan sebagai wadah warga untuk saling membantu memajukan usaha.
Soekarno sendiri membayangkan koperasi sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan petani, buruh, dan masyarakat miskin. Meski begitu, cita-cita Soekarno terkait koperasi tak berjalan mulus.
Berdampak Minim
Meskipun jumlah koperasi dan anggotanya melonjak tajam pada periode 1959-1966, peran koperasi terhadap perekonomian justru minim. Ada banyak penyebabnya. Mulai dari penyalahgunaan dana hingga kegagalan manajerial.
Menurut Amiruddin Al-Rahab dalam Ekonomi Berdikari Sukarno (2014), kredit dan subsidi dari pemerintah yang sejatinya ditujukan untuk pemberdayaan koperasi malah dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha nakal. Mereka hanya mengejar uang, tetapi tidak serius mengelola koperasi.
Akibatnya, banyak koperasi tak bisa berdiri sendiri dan kolaps saat bantuan dihentikan. Apalagi, terbukti banyak koperasi didirikan bukan atas kebutuhan anggota, tetapi karena inisiatif para pemilik modal dan tuan tanah.
Mereka membentuk koperasi untuk kepentingan pribadi dan menggunakan dana pemerintah untuk memperkaya diri sendiri. Rakyat kecil yang polos justru dijadikan korban. Tak sedikit dari mereka terjebak dalam lilitan utang koperasi, bukannya merasakan manfaat kolektivitas.
(mfa/mfa)