30 Tahun Genosida Srebrenica

Tentara Serang Kota Pengungsian, 8.000 Muslim Tewas-PBB Tak Berkutik

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Sabtu, 19/07/2025 09:15 WIB
Foto: REUTERS/Amel Emric

Jakarta, CNBC Indonesia - Hidup Nedzad Avdic berubah total sejak desanya dibombardir oleh tentara etnis Serbia dari Republik Srpska. Setiap hari, dia lari menembus hutan demi menghindari tentara yang tak segan membunuh warga sipil Bosnia.

Namun, pelarian itu tak selamanya berhasil. Pada 14 Juli 1995, Avdic tertangkap. Dia dan puluhan pria lainnya digiring ke dalam bus yang sesak. Lalu diturunkan di sebuah sekolah.

Saat itu, Avdic yakin hidupnya akan segera berakhir. Namun, secercah harapan datang ketika tentara membawa kabar menggembirakan. 


"Palang Merah akan datang. Bersiaplah untuk ditukar," kata salah satu tentara.

"Dan kami semua memercayainya. Dalam situasi seperti itu, kita akan memercayai apa pun demi kesempatan bertahan hidup," kata Avdic kepada Al Jazeera, dikutip Sabtu (19/7/2025).

Avdic kemudian dimasukkan ke dalam truk yang disebut akan membawa mereka ke tempat aman. Tapi, sesaat setelah semua orang masuk, tentara justru menembakkan peluru dari luar. Beberapa orang tertembak dan terluka. 

Di titik itu, Avdic sadar telah dibohongi.

Truk kemudian bergerak dan berhenti di tanah lapang. Seluruh penumpang dipaksa turun dan berbaris. Tak lama, penembakan brutal dimulai lagi. Satu per satu tumbang bersimbah darah. Avdic sendiri terkena peluru dan jatuh ke tumpukan.

Saat tembakan berhenti, Avdic menyadari dirinya masih hidup. Dalam kondisi terluka dan tubuh berlumuran darah, dia merangkak menjauh bersama satu penyintas lainnya.

Setelah berhari-hari, keduanya kemudian sukses mencapai tempat aman.

Pembantaian Brutal

Kisah Avdic adalah bagian dari tragedi berdarah di Eropa setelah Perang Dunia II, yakni genosida Srebrenica. 

Menurut riset "Geraroid O. Tuathail dalam "A Strategic Sign" (1999), tragedi bermula dari pecahnya Yugoslavia awal 1990-an. Negara itu sudah lama digerogoti krisis ekonomi, utang besar, dan pengangguran sejak 1980-an, yang kemudian memicu bangkitnya nasionalisme dan tuntutan kemerdekaan di berbagai wilayah.

Salah satunya adalah Bosnia-Herzegovina yang menyatakan kemerdekaan pada 1992 di bawah Alija Izetbegovic. Bosnia-Herzegovina sendiri merupakan negara multi-etnis. Ada 3 etnis terbesar, yakni Bosnia (mayoritas Muslim), Kroat, dan Serb. 

Dari ketiganya, etnis Serb-lah yang gencar menolak kemerdekaan Bosnia dan memilih berambisi mendirikan Serbia Raya, sebuah negara satu etnis yang menyingkirkan semua kelompok non-Serb.

Di bawah Radovan Karadzic dan Jenderal Ratko Mladić, kelompok Serbia Bosnia mendirikan Republik Srpska dan melancarkan serangan ke Sarajevo dan wilayah-wilayah Bosniak. Perang Bosnia pun pecah.

Jenderal Mladić memimpin operasi pembersihan etnis secara sistematis. Kota-kota dibakar, desa-desa dihancurkan, dan ribuan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, dibantai.

Ribuan Muslim Bosnia pun mengungsi ke Srebrenica, yang saat itu dinyatakan sebagai zona aman oleh PBB dan dijaga oleh pasukan perdamaian UNPROFOR dari Belanda sejak 1993. 

Meski sudah dijaga, pasukan Mladić tak peduli. Mereka tetap melakukan serangan. Awalnya lewat pengepungan kota supaya akses sumber daya terputus. Barulah puncaknya terjadi pada 11 Juli 1995. Militer Republik Srpska mengepung dan merebut Srebrenica.

Ribuan pria dan anak-anak dipisahkan dari keluarga hanya untuk dibunuh. Para perempuan, anak kecil hingga bayi tak luput dari kekejaman. Salah satu penyintas, Zumra Sehomerovic, bercerita kepada BBC International, dia melihat langsung bayi digorok lehernya hanya karena dia menangis. 

"Tentara tertawa setelah menggorok leher bayi berusia beberapa bulan karena terus-menerus menangis kencang," kenang Zumra. 

PBB Tak Berkutik

Saat pembantaian terjadi, banyak pihak mempertanyakan di mana pasukan perdamaian Belanda dari UNPROFOR?

Pasukan PBB ternyata kalah jumlah dari pasukan Mladić yang berhasil mengepung lokasi barak-barak mereka. Alhasil, mereka yang ditugaskan melindungi warga justru malah dilaporkan ketakutan.

Salah satu saksi mata, Nidzara Ahmetavic, bercerita pasukan PBB justru terlihat diam ketika pembantaian terjadi di depan mata.

"Genosida di Srebrenica dilakukan di depan mata pasukan perdamaian PBB, yang tidak hanya gagal mencegahnya tetapi bahkan mencoba menghentikannya," tulisnya di Middle East Eye.

Konflik baru berakhir pada akhir 1995 setelah semua pihak meneken Perjanjian Dayton. Lewat pengadilan internasional, tragedi Srebrenica dinyatakan sebagai genosida.

Lalu, Jenderal Ratko Mladić yang lantas dikenal sebagai 'Sang Jagal dari Bosnia' dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Meski begitu, dia baru ditangkap pada 2011 atau 16 tahun setelah kejadian karena terus-terusan kabur dan buron. 

Badan PBB untuk Pengadilan Internasional menyebut, kebengisan pasukan Mladić membuat 8.000 Muslim terbunuh dan 30.000 yang selamat mengalami pemindahan paksa dan kekerasan. Namun, ini belum memperhitungkan korban dari awal Perang Bosnia. Jika ditotal, lebih dari 10.000 orang terbunuh.

Atas dasar ini, Sekjen PBB, Kofi Annan, mengakui lembaganya telah gagal menjaga keselamatan etnis Bosnia dan menyebutnya sebagai kejadian paling berdarah di Eropa setelah Perang Dunia 2.

"Tragedi Srebrenica akan selamanya menghantui PBB," katanya, dikutip dari situs resmi PBB. 

Soal pasukan dari UNPROFOR yang tak berkutik, Belanda resmi mengeluarkan maaf atas kelalaiannya. Mengutip Independent, Belanda lantas memberikan kompensasi kepada korban.

Kini, 30 tahun setelahnya, kejadian berdarah lain masih banyak terjadi di berbagai belahan dunia.

Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global