
Gegara Penjajah, Bos Sering Anggap Karyawan Malas & Lelet saat Kerja

Jakarta, CNBC Indonesia - Relasi antara bos dan karyawan di entitas bisnis seringkali menyebalkan. Bos sebagai pemilik modal sering menganggap para pekerja malas hanya karena bekerja tidak sesuai harapan.
Misalnya, pekerja dituduh malas hanya karena kerja tidak mencapai target dan di saat bersamaan menuntut kenaikan gaji agar lebih sejahtera. Pada akhirnya, tuduhan malas dan besarnya tuntutan pekerja seringkali berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Anggapan ini tentu saja tidak benar dan sebenarnya melanggengkan warisan kolonialisme belaka. Sebab, sejarah mencatat tuduhan malas yang tercipta dari relasi kuasa bos ke karyawan bermula dari kebijakan penjajah. Para pekerja dianggap malas hanya karena dia tidak bersedia menjadi alat produksi kapitalis untuk menghindari kerja sebagai budak.
Mitos Belaka
Sosiolog Malaysia kelahiran Bogor, Syed Hussein Alatas, menjadi peneliti yang sukses membongkar tuduhan ini dalam karyanya Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial (1988). Dia berupaya menjawab masalah kekinian tadi berdasarkan perspektif sejarah: bahwa tuduhan malas berasal dari sistem penjajahan.
"Citra tentang pribumi yang malas adalah produk dari kekuasaan kolonial yang umumnya terjadi pada abad ke-19, ketika kekuasaan terhadap koloni-koloni mencapai puncaknya dan tatkala eksploitasi kapitalis koloni memerlukan penguasaan yang meluas atas daerah tersebut," ungkapnya (hlm. 97).
Dalam penelusuran Alatas atas arsip-arsip kolonial, tuduhan malas kepada pekerja--yang dalam karyanya disebut "pribumi" dan merujuk kepada orang Jawa, Melayu, dan Filipina--baru muncul saat penjajah membuka perkebunan baru di negeri jajahan.
Ambil contoh saat pemerintah Hindia Belanda menerapkan sistem tanam paksa di Jawa pada 1830. Imbas kebijakan tersebut, warga diharuskan membuka perkebunan dan menanam tanaman baru sesuai kehendak pemerintah. Atau setidaknya bersedia kerja di perkebunan milik pemerintah.
Semua itu tentu ditolak masyarakat sebab hanya menguntungkan pemerintah kolonial. Sedangkan warga yang jadi pekerja tidak untung. Kondisi ini lantas membuat warga yang tak mau diperalat melakukan perlawanan kecil-kecilan. Caranya dengan memperlambat kerja supaya roda perekonomian diharapkan juga melambat.
Saat kondisi ini terjadi, pihak kolonialis melihatnya berbeda. Mereka langsung menandai warga yang memperlambat kerja sebagai pemalas. Sialnya, ungkapan perlawanan dari pekerja justru menjadi justifikasi tanam paksa agar terus berlanjut.
Pemerintah kolonial melihat kemalasan pekerja pribumi bukan bentuk perlawanan. Mereka justru melihat kemalasan itu sebagai sesuatu yang alamiah. Maka, penjajah bertekad melanjutkan sistem tanam paksa supaya mereka terus bekerja. Harapannya agar jadi rajin, tak lagi malas.
Di titik ini, pekerja pribumi bak jatuh tertimpa tangga. Bentuk perlawanan malah membuat mereka ditindas. Mereka makin dicap pemalas oleh pemerintah kolonial. Sementara, penjajah makin untung dan mendapat citra baik.
Terus Diwariskan
Menurut Alatas, mereka sebenarnya tidak benar-benar malas. Namun, hanya menolak bekerja di perkebunan dan tidak ingin terlibat dalam kegiatan ekonomi kapitalisme perkotaan yang dikuasai pihak penjajah (hlm.105).
"Mereka hanya menghindari jenis kerja budak," tulis S.H Alatas.
Faktanya, orang Jawa, Melayu, dan Filipina adalah pekerja keras yang rajin di bidangnya masing-masing. Hanya saja, mereka tidak bersedia menjadi alat produksi kapitalis dan tidak mau bekerja kepada mereka. Jika benar malas dalam melakoni pekerjaan rutin, maka kata Alatas mereka tidak akan dapat hidup sebagai manusia.
Dengan demikian, Alatas menyimpulkan tuduhan malas oleh penjajah berfungsi sebagai landasan atas praktek penindasan dan eksploitasi yang bertujuan untuk memupuk kekayaan mereka. Melalui legitimasi pemalas tersebut diharapkan dapat menjadi pembenaran atas tindakan sewenang-wenang mereka terhadap pekerja pribumi.
Sayangnya, ketika tanam paksa berakhir di tahun 1900-an, begitu juga kebijakan serupa di Malaya dan Filipina, tuduhan tersebut tak serta-merta hilang. Para penguasa pribumi, bupati atau raja, justru melanjutkan tuduhan pemalas kepada rakyat jelata. Begitu juga orang-orang Barat yang tetap menuduh pribumi malas agar bisa memberi upah murah.
Alhasil, pandangan orang pribumi malas terus diwariskan hingga bertahun-tahun lamanya. Penjajahan pada akhirnya tidak hanya mengontrol ekonomi dan politik, tapi juga pikiran rakyat. Sampai sekarang, pandangan tersebut masih bisa dilihat dalam konteks relasi antara pemilik modal dan pekerja.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ternyata Ini Awal Mula Para Konglomerat Tionghoa Indonesia Ganti Nama