Sst.. Ini Rahasia Kenapa Tukang Cukur Kebanyakan Orang Garut
Jakarta, CNBC Indonesia - Tukang cukur di perkotaan memiliki satu persamaan. Bukan soal model cukuran, tetapi asal muasal mereka.
Meski tak selalu sama, kebanyakan dari mereka berasal dipastikan dari Garut. Lebih spesifik, berasal dari Kecamatan Banyuresmi yang dikenal sumber pemangkas rambut.
Ini dapat dibuktikan dari dua hal. Pertama, kefasihan dalam bertutur logat atau berbahasa Sunda dan kedua, terpampang tulisan "Asgar" di depan tokonya yang merupakan singkatan dari "Asli Garut".
Fenomena gaya hidup di perkotaan ini memantik pertanyaan menarik. Mengapa perantau Garut kebanyakan berprofesi sebagai tukang cukur?
Jawabannya dapat ditarik mundur ke tahun 1950-an. Ini buntut carut-marut keamanan kota Garut.
Kala itu, di Garut terjadi konflik bersenjata antara gerakan separatis DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan S.M Kartosoewirjo dengan TNI. Sepanjang pertempuran itu, catat Kees Van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1993), terjadi kebrutalan besar yang dilakukan oleh gerombolan DI/TII.
Tercatat, dalam kurun 1953-1956, para gerombolan melakukan serangan ke rumah-rumah warga di malam hari. Tujuannya untuk mencari perbekalan dan menambah anggota, di mana mereka tidak segan bertindak kejam jika penduduk tidak mau bergabung.
Dari kekacauan ini, ribuan penduduk Garut, termasuk penduduk Banyuresmi, pada akhirnya memilih mengungsi ke kota terdekat. Salah satu yang paling aman adalah Bandung.
Mereka yang biasa bertani, pada akhirnya dituntut mencari usaha lain di kota orang. Dari mulai pedagang, menjadi tukang bangunan, jasa sol sepatu, termasuk juga pemangkas rambut.
Kendati demikian, Dedi Junaedi dalam Eksistensi Pangkas Rambut Asgar di Kota Bandung, 1950-2016 (2021) menyebut, dari sekian banyak profesi baru itu, pemangkas rambut adalah yang paling menjanjikan. Sebab, para pria yang jadi target pasar setiap saat pasti datang ke tukang cukur untuk merapihkan rambut.
Apalagi, menjadi tukang cukur tidak membutuhkan modal besar. Mereka bisa mencukur di sembarang tempat, termasuk di bawah pohon rindang.
Dari sinilah awal mula para perantau Garut turut menambah persebaran jasa pemangkas rambut di perkotaan yang sebenarnya sudah ada sejak masa kolonial. Dan, dari sini pula asal-muasal kata "Asgar" muncul.
Setelah pemberontakan berhasil diredam dan mereka kembali pulang kampung, bukan berarti para perantau Garut itu berhenti jadi tukang cukur. Kacaunya keamanan berdampak pada sulitnya ekonomi.
Menurut Dedi Junaedi dalam Eksistensi Pangkas Rambut Asgar di Kota Bandung, 1950-2016 (2021), dua faktor inilah yang membuat mereka tetap menjalani profesi tersebut. Malah mereka rela mengajarkannya ke generasi muda sesuai pemikiran tradisional adat Sunda.
Dalam alam pikir orang Sunda, orang yang lebih tua harus membimbing yang muda. Sedangkan, anak muda harus menghormati orang tua.
Dalam konteks profesi, para pencukur pun berupaya mengajarkan anak-anak muda supaya bisa menjadi pencukur handal saat dewasa. Sejak kecil, mereka sering dibawa ke tempat cukur untuk memperhatikan tata cara pencukuran rambut.
Barulah saat beranjak dewasa, mereka mulai diterjunkan mencukur rambut dengan bimbingan para senior sebelum akhirnya membuka pangkas rambut sendiri. Atas dasar inilah, para pencukur Asgar tidak pernah 'mati' karena terjadi pewarisan ilmu lintas generasi yang tidak terputus, sehingga selalu sukses merapikan rambut jutaan warga dari waktu ke waktu.
(mfa/sef)