Pertamina Buka-bukaan Soal Green Energy D-100

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
21 July 2020 15:01
BBM Masa Depan? Pertamina Uji Coba D100 di Mesin Mobil (CNBC Indonesia TV)
Foto: BBM Masa Depan? Pertamina Uji Coba D100 di Mesin Mobil (CNBC Indonesia TV)

Jakarta, CNBC Indonesia- PT Pertamina (Persero) baru-baru ini sukses mengolah Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) 100% yang menghasilkan produk Green Diesel (D-100). Bahkan Pertamina sukses melakukan uji performa (road test) menggunakan D-100.

Bagaimana kisah Green Energy D-100 dan pengembangnya ke depan, Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional, Budi Santoso Syarif blak-blakan bersama CNBC Indonesia. Simak wawancara berikut ini:

D100 yang sudah di uji coba apa bedanya dengan B30 yang selama ini sudah kita kenal?

Kalau D100 adalah singkatan dari diesel solar yang berasal dari 100% bahan nabati sedangkan kalau B30 itu adalah biosolar yang merupakan campuran antara 30% FAME dan 70% solar jadi itu bedanya. Sedangkan pada saat penerapannya yang sekarang ini ada di SPBU B30 itu dicampur terlebih dahulu di teminal-terminal BBM yang ada di Pertamina.

Adapun D100 ini adalah merupakan sawit yang sudah dibersihkan getah, bau, maupun impurities kotorannya yang kita sebut RBDPO Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil di opeasikandi kilang meghasilkan yang kita sebut produk D100.

Beda dengan B100 yang disebut-sebut juga oleh pemerintah ya pak?

Ya jadi bedanya, B100 istilah untuk FAME, FAME adalah Fatty Acid Methyl Ester, sama-sama juga dibuat dari sawit, sedangkan D100 hanye membedakan bahwa itu diesel 100% dari minyak sawit juga, tapi dioperasikan di kilang minyak Pertamina.

Dan bedanya itu kalau FAME masih mengandung oksigen dan jenis ikatannya rangkap sehingga dia masih mengandung air, sehingga kemampuannya 30% untuk di industri mobil, sedangkan D100 ini dia lebih ramah lingkungan kemudian kandungan oksigennya kecil tidak menimbulkan air, dan yang terakhir dia sangat ramah lingkungan. Ramah lingkungan karena gas karbodioksida yang dilepaskan lebih sedikit dibandingkan B100 atau FAME yang disebut itu

Uji coba yang dilakukan ini baru tahap pertama, apakah akan ada ada uji coba lanjutan lagi? Elaborasi hasil uji coba seperti apa?

Uji coba ini memang ada aturan dari ESDM bahwa setiap produk yang akan dikeluarkan atau setiap produk yang akan dilkomersialisasi itu harus ada uji coba, 40 ribu km seluruh jalana di Indonesia dalam berbagai trackingnya jalanannya maupun suhu seperti yang kita lakukan di B20 B30 seperti itu.

Kemarin ini yang kita lakukan hanya sekedar apakah memang D100 ini bisa digunakan dalam mesin mobil hanya itu saja dan kita sama-sama tahu bahwa cetane numbernya sangat tinggi sehingga kita berfikir ini akan membuat mesin mobil lebih panas tetapi kami mencoba itu dicampur dengan solar yang ada di kita.

Kemarin pencampurannya itu adalah B30 jadi FAMEnya 30%, kemudian D100 nya 20% dan sisanya adalah Dexlite. Dexlite adalah solar yang lebih tinggi cetane numbernya karena apa kita gunakan Dexlite, karena di Dumai karena minyaknya terlalu bagus berasal dari Minas sehingga tidak bisa memproduksi solar yang diproduksi adalah Dexlite dan hasil campurannya itu kita sebut dengan istilahnya nanti kita sebut dengan B50 cetane numbernya lebih baik dan hasilnya kepekatan lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya dengan Dexlite yang B30 dan juga sangat ramah lingkungan artinya emisi sangat rendah hampir 50% di bawah Dexlite dan juga dari sisi karbondioksidanya dan satu lagi pemakaian bensin jauh lebih irit kalau biasanya 110, ini bisa 112, 113 begitu.

Dari hasil uji coba tahap awal apakah menjanjikan untuk dikembangkan D100? Apa langkah selanjutnya dari Pertamina?

Kemarin baru uji coba ya skala kilang artinya Indonesia sudah bisa produksi D100 secara kilang maupun secara katalis yang dibuat rekan-rekan Pertamina, Research & Technology Center Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Yang mau kita sampaikan kita secara tekhnis dan materi untuk pembuatan katalisnya kita sudah bisa. Sedangkan secara ekonomi masih perlu dari regulator maupun stakeholder yang ada karena pertama bahan baku ini adalah sawit, di sini sawit komoditas sebelumnya oleochemical, FAME, bahan makan. Kedua kita tidak punya sumber daya alamnya artinya kita sangat tergantung.

Ketiga dengan produksi D100 akan lebih mahal, karena dari sisi operasional banyak membutuhkan gas hidrogen. Kalau kita lihat kita melakukan pembuatan D100 di salah satu unit kita, yang sebelumnya operasi pada 8.000 barrel per hari sedangkan yang kita lakukan ini 1.000 barrel per hari. Artinya kilang yang ada hanya mampu mengolah bahan dasar sawit ini hanya sekitar 12%. Langkah-langkahnya apa kita akan melakukan FGD dengan pihak stakeholder dan regulator. Diharapkan nanti kemarin juga saat uji coba sosialisasi ini Pak Menteri dan Bu Dirut ini hadir.

Kami harap dapat dukungan dari stakeholder maupun dari regulator ya.

Jadi titik temu keekonomiannya apakah akan dicari pak?

Jelas mbak, jadi sebenarnya kalau sebagai contoh kalau di luar negeri yang Amerika saya pernah ke sana melihat pengembangan dari green diesel di sana memang ada insentif di mana memang kalau yang membeli bahan bakar yang environment ramah lingkungan dia tidak akan dikenakan pajak, beda dengan masyarakat yang beli bensin yang bukan ramah lingkungan.

Dan kedua dari sisi perusahaan dapat insentif dan kemudian kilang-kilang yang ada yang tidak produksi green diesel ini akan dikenakan pajak tertentu dari pemerintah, di situ ada sisi auditnya, dan kita sudah sampaikan hal ini kepada pemerintah mungkin bentuknya dalam hal yang berbeda. Misanya FAME dapat insentif oleh BPDPKS dan batu bara dengan DMO, mungkin modelnya beda saja tapi pada dasarnya support sudah setuju mengembangkan BBM ramah lingkungan lebih efisien dan ekonomis.

D100 lebih mahal seberapa mahal pak? Bisa diberikan gambaran untuk masyarakat?

Angkanya memang kita belum, sebagai contoh kita tidak akan menjual D100 ini sebagai bahan murni 100%, karena saya yakin belum ada juga, saya sudah lihat refrensi itu akan dicampurkan ke dalam Dexlite maupun Pertadex dan itu akan nanti rencana masih ke kalangan menengah.

Jadi penambahannya sekitar 1000 - 2000 seperti itu. Itu baru itungan kasar. Karena kita tidak membuat D100 semuanya artinya tadi itu misanya tadi itu harga Dexlite Rp. 9. 400 itu kan B30 kan ada campurannya, yang Dexlite kita kurangkan 20% kita tambahkan D100 yang 20%, mungkin nanti harganya akan sekitar itu, jangan dikira D100 dicampurkan dalam satu meskin kendaraan.

Campurannya berarti akan di kisaran berapa persen pak?

Antara 10 - 20 % untuk D100 ya, karena kan yang kita ikuti pemerintah yang bertahap kan B40 dan B50 kita nggak keluar dari koridor pemerintah seperti itu.

Timeline sudah ada kapan akan mulai dinikmati masyarakat di SPBU?

Kapasitas besar adalah di tahun 2023 kita bangun besar yang 20.000 itu di Plaju dan kira-kira operasi tahun 2023 itu timelinenya, sedangkan yang ini 1.000 barrel saya rasa sanga pikir sangat kecil ya, kemudian di Cilacap kita nambah lagi 3.000 barrel per hari kemduian di tahun 2022 6.000 kemudian di tahun 2023 sekitar 20.000, itu timeline kami yang baru kami buat seperti itu. -

Ke depannya pengebangan D100 ada di kilang Plaju dan juga Cilacap ya?

Untuk D100 ini di Dumai dan di Cilacap jadi bukan Plaju.

Plaju tahun 2023 kapasitas produksi sebesar 20.000 barrel per day apakah untuk D100 bukan pak?

Oh iya saya maaf bener-bener di Plaju ada dua satu lagi green gasoline ya jadi yang 20.000 ada di Plaju kemdian yang 3.000 dan pengembangan jadi 6.000 ada di Cilacap.

Sama timeline 2023?

Kalau yang 3.000 di Cilacap tahun depan 2021 ditambah lagi ditingkatkan jadi 6.000 di Cilacap yang sama unit yang sama tahun 2022 dan yang grassroot 20.000 itu ada di Plaju. Ada 3 Dumai 1.000, Cilacap 3.000 jadi 6.000 tahun 2022 dan di Plaju tahun 2023 dengan kapasitas 20.000 barrel per hari.

Investasi Pertamina untuk mengembangkan baik di Plaju dan Cilacap untuk D100 ini?

Karena sifatnya uji coba saya cuman beli sekitar 1.200 antara bahan bakunya untuk uji coba tetapi untuk investasi yang baru sekitar US$ 500 juta. Dan juga kita butuh sekitar sawit sekitar 20.000 barel seperti itu. Kalau harga sawit kan sekitar US$ 500 -600 per ton ya mungkin ya.

US$ 500 juta ini nanti pendanaan dari mana pak?

Ya yang jelas kita akan cari dana sebagian dari kita, atau dengan JV cari partner seperti itu.

Dengan kembangkan D100 ini bisa tekan impor minyak seberapa banyak, dan kurangi CAD?

Dengan adanya kalau kita tarik ke depan dengan, kalau kita lihat dengan crude oil, minyak mentah ini multi produk, sedangkan yang sawit ini hanya menggantikan solar yang dihasilkan dengan fosil dibandingkan dengan sawit, kami juga belum ngitung berapa kesetaraanya.

Kalau memang misalnya minyak mentah yang kami kurangi efeknya ke produk-produk lainnya. Artinya solar yang digunakan untuk fosil ini gantikan bahan solar kita ekspor kita blending lagi dengan produk lain, belum kita hitung sih. Sedangkan account deficitnya dari harga produknya dikalikan harga solar.

Apakah dalam pengembangan D100 ini sampai ke masyarakat akan diperlukan subsidi?

Tadi di depan sudah saya jelaskan keekonomisan harganya sawit adalah 30% di atas crude, sedangkan produknya juga akan lebih mahal karena biaya opeasinya lebih tinggi, memag kita harapkan pemerintah berikan kami insentif atau subsidi baik di bahan baku maupun produk dan itu sudah kita bicarakan dengan beberapa kali FGD dengan stakhoder maupun regulator.

Tantangan yang paling besar yang dihadapi untuk bisa menecapai target pengembangan D100 selain tadi soal biaya?

Kalau tantangannya sebenarnya bagaimana membuat produk nasional sebagai end to end terintegrasi mulai dari petani sawit sampai ke produk pengguna bahan bakar seperti ini. Kalau secara teknis ini sudah kita buktikan sudah kita lakukan penggunaan material atau katalis sudah kita lakukan dan inilah yang merupakan inovasi dari kita, bahwa Indonesia mampu hasilkan produk yang ramah lingkungan menggunakan bahan baku yang ada dan melimpah di Indonesia. Tantangannya bagaimana kita memplatkan semua seumber daya seperti ini.

Setelah D100 kita bertanya-tanya dengan green gasoline dan green avtur yang akan dikembangkan oleh Pertamina?

Jadi memang ada 3, green gasoline sebenarnya pernah kita lakukan di tahun 2018 dan 2019 kita sudah lakukan uji coba di Cilacap uji coba sifatnya, dan ini masih uji coba sifatnya kita bisa mengolah sampai dengan 20% untuk green gasoline dan di Cilacap 20% juga tapi hasilnya sangat berbeda. Kalau di Plaju kita bisa lebih meningkatkan kualitasnya, artinya dari sisi kualitas dan volumenya sedangkan di Cilacap ini berkebalikan karena bahan bakunya berbeda dalam artian di sana menggunakan gasoil atau fraksi diesel sedangkan di Cilacap menggunakan fraksi residu, nah itu karena ini baru pertama kali di dunia juga belum ada salah satu kilang melakukan co-prosessing dengan bahan bakar nabati dan ini nanti akan kita sosoalisasikan.

Kami juga akan sampaikan hasil ini dalam simposium dan lainnya harapannya kita bersama-sama perekahan katalis ini bisa memproses semua 100% dari bahan bakar nabati itu untuk green gasoline masih lama juga untuk 100% nya. Kemudian untuk green avtur kita akan uji coba di tahun 2021 akhir, namun itu masih campuran dari green avtur hanya 2% fosil avtur sekitar 98%.

Nanti kita harapkan yang di Cilacap kita switch ke green avtur semua tahun 2022 akhir, itu adalah timline kami dan juga kami kembangkan green BBM ini ramah lingkungan dalam rangka kurangi impor dan juga kita sudah suplus solar kemarin-kemarin kita usaha ekspor ke beberapa negara-negara sekitar.

Berapa banyak yang diekspor untuk surplus solar?

Kemarin kita masih sedikit karena kan kita ada kasus Covid-19 ini sehingga memang kita tidak memproyeksikan kapasitas yang besar sekiar 200 ribu barrel per bulan.

Ada pengamat bilang jika semua kilang Pertamina selesai dibangun maka kita tidak lagi impor BBM tahun 2026, pendapat anda seperti apa apakah mungkin?

Kalau saya rasa bisa karena kita dari solar mungkin beberapa tahun ke depan akan berlebih, diharapkan solar bisa convert juga, ada beberapa tekhnologi yang dilaksanakan bahwa solar ini bisa diconvert menjadi gasoline. Saya belum hitung, tapi saya yakin 2026 bisa mandiri seperti itu, seberapa jauh bisa memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Insyallah.

D100 senjata lawan CAD, seperti apa gambaran kontribusinya?

Seperti yang saya sampaikan mungkin kita nggak menyatakan D100nya ya kalau kita lihat mulai dari pemerintah kembangkan bahan bakar nabati ini kita lihat kan dari awal B2,5, B10, B7,5, B10, B20, B30 kemudian jadi D100 angka-angka ini bisa defisa tahun 2019 sekitar Rp 43,8 triliun kemudian tahun 2020 data yang saya peroleh adalah devisa Rp 63, 4 triliun dengan adanya D100 apalagi kalau memang misalnya D100 bisa dikomersialkan saya rasa akan meningkatkan lagi, artinya penurunan CAD akan bertambah lagi. Artinya kita bisa hemat devisa yang lebih besar lagi.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pertamina Dukung UMKM Binaan Lestarikan Kain Etnik Banjar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular