
Wadirut Mandiri Bicara Restrukturisasi Rp67 T Hingga Tapera

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) melaporkan laba bersih kuartal I-2020 sebesar Rp 7,92 triliun atau tumbuh 9,44% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat Rp 7,23 triliun.
Capaian itu didukung oleh pertumbuhan pendapatan berbasis biaya (fee based income) Rp 7,74 triliun, tumbuh 23,95% dibanding Maret 2019 yang sebesar Rp 6,24 triliun.
Kenaikan laba juga didorong oleh pertumbuhan kredit konsolidasi sebesar 14,20% dari Rp 790,5 triliun pada Maret 2019 menjadi Rp 902,7 triliun di Maret 2020 dengan NPL gross terjaga di level 2,36%.
Kendati demikian, Bank Mandiri menyadari dampak pandemi Covid-19 baru terlihat pada pencapaian kinerja kuartal II-2020. Eksklusif dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, Rabu (10/6/2020), Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Hery Gunardi membeberkan dampak Covid-19 terhadap kinerja perusahaan hingga rencana perseroan ke depan. Hery juga mengomentari keberadaan BP Tapera.
Simak petikan wawancaranya berikut ini:
Bagaimana proyeksi kinerja Bank Mandiri pada kuartal-kuartal selanjutnya?
Memang kalau kita lihat, Senin lalu, Bank Mandiri sudah merilis laporan keuangan. Kelihatan di posisi Maret itu, sebetulnya masih bagus. Tapi saya rasa ke periode berikutnya, April hingga Juni, sudah terasa impact akibat Covid-19. Tentunya kami sadar dengan kondisi yang ada, hal utama adalah menjaga kualitas kredit kami dan dalam hal ini mempercepat restrukturisasi dari wholesale dan ritel. Yang dilakukan ini agar mempercepat proses kolektabilitas. Nasabah terdampak Covid-19 mengalami penurunan kemampuan membayar cicilan kredit perlu restrukturisasi. Itu sesuai dengan POJK 11/POJK.03/2020 yang memberikan ruang dan fleksibilitas kepada bank.
Di sisi lain, kami melihat di Juni sudah ada titik terang karena pemerintah pusat dan daerah sudah mulai memberikan kelonggaran PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Jadi aktivitas ekonomi, meski masih uji coba, kami lihat ini sinyal positif untuk industri keuangan dan perdagangan yang nantinya memberikan ruang ke bank, terutama pertumbuhan kredit. Segmen yang punya potensi antara lain telekomunikasi, fast moving consumer good (FMCG), dan farmasi, bisa memberikan ruang tumbuh dan kami akan menyalurkan kredit dengan tetap prudent dan hati-hati.
Secara spesifik, bagaimana kinerja kuartal II-2020?
Pada kuartal I-2020 kemarin kalau kita lihat kredit bisa tumbuh 14,20%, artinya masih bagus. Tapi saya rasa dari bulan April, Mei, Juni ini tentunya kan terjadi perlambatan akibat dari banyak sekali sektor yang terkena imbas Covid-19, terutama dari transportasi, perdagangan, manufaktur, dan pertambangan. Ini mengakibatkan ada terjadi perlambatan baik dari demand kredit maupun dari sisi penyaluran karena kami lihat dalam kondisi kurang kondusif, bank hati-hati dalam menyalurkan kredit.
Harapannya kalau di kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020, kalau PSBB atau kondisi pergerakan masyarakat sudah makin lebih baik, walau tetap menggunakan protokol Covid-19 seperti jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan, ada harapan demand kredit terutama dan perbumbuhan bisnis terjadi. Kami melihat bahwa pertumbuhan tertekan di kuartal II-2020.
Lalu, seperti apa gambaran restrukturisasi kredit yang dilakukan Bank Mandiri?
Jadi memang saya rasa dalam kondisi Covid-19 ini, sesuai juga dengan fleksibilitas dan relaksasi OJK, sesuai POJK 11/POJK.03/2020, bank melakukan assesment untuk sektor apa saja yang perlu diberikan relaksasi.
Dari catatan yang ada, kami melihat ada dua potensi itu. Pertama, dari sisi eligibilitas, kami melihat di portofolio kami bahwa current debitur Bank Mandiri matching dengan sektor usaha yang memang mereka miliki. Berdasarkan kerja sama dengan chief economist kita peroleh data eligible restrukturisasi debiturnya 936 ribu.
Dari itu yang masuk ke pipeline 426 ribu, dari pipeline sudah restrukturisasi dari Maret hasilnya lumayan bagus dari sisi persentase jumlah yang direstrukturisasi saat ini dan dinyatakan efektif terhadap pipeline sudah 90% cukup tinggi tapi dari sisi eligibilitas 41%-45%. Jadi yang eligible restrukturisasi sudah Rp 67 triliun. Dari jumlah itu, Rp 21,7 triliun wholesale dan Rp 45,5 triliun ritel. Ini adalah yang sudah kami lakukan.
Proses restrukturisasi masih berlangsung. Nanti akan ada proses komunikasi antara debitur dan bank dari komunikasi ini apakah memang permohonan restrukturisasi eligible atau tidak sesuai regulasi atau assesment bank baru direstrukturisasi.
Bagaimana tanggapan Anda terkait pengesahan PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera?
Menarik memang kalau kita menyimak disahkannya PP 25 Tahun 2020. Saya mau balik sedikit flashback. Pada dasarnya kebutuhan rumah basic need di samping pangan dan sandang. Jadi artinya setiap orang ingin punya rumah tapi gak mudah banyak juga kendala yang harus diperhatikan.
Jadi kalau saya melihat data sebelum Covid-19, ada sekitar 13 juta backlog kebutuhan rumah di Indonesia dan yang menarik lagi antara supply dan demand rumah selalu terjadi gap. Katakan kebutuhan 800 ribu sampai 900 ribu tapi supply dari developer 600 ribu hingga 700 ribu. Backlog ini menunjukkan masyarakat butuh rumah.
Berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2020, kami sebagai bank dan salah satu bank BUMN mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah untuk mendorong rumah buat masyarakat berpenghasilan rendah dan mengatur dana murah jangka panjang untuk perumahan dan fokus pada penyelenggara negara, ASN, TNI, dan Polri.
Program serupa ini kita juga kenal FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan). Berkaca dari FLPP, data yang dikeuarkan Kementerian PUPR lebih dari 80% realisasi FLPP memang kepada ASN dan karyawan yang punya gaji Rp 1,5 hingga Rp 3,5 juta setara kan dengan gaji di PNS dan ASN maka diperkirakan penerima manfaat ini yang ada di range golongan 1, 2, dan pekerja lain yang setara.
Sebelum ini ada aturan dan juga Bank Mandiri sudah menyalurkan dari KPR reguler 17 ribu rumah dengan nilai Rp 3,4 triliun. Ini target marketnya ASN, TNI, dan Polri. Dalam portofolio ini, ada 400 ribu nasabah yang ada payroll di Bank Mandiri. Itu potensi market yang berkembang ke depan. Jadi dengan jumlah cabang Bank Mandiri yang besar, ada potensi pelaksanaan BP Tapera ke depan.
Seperti apa perkembangan digitalisasi yang dilakukan Bank Mandiri?
Saya rasa memang dengan adanya pandemi Covid-19 trennya percepat digitalisasi gak hanya di perbankan tapi seluruh lini bisnis di Indonesia dan dunia dan kita sebetulnya nanti akan memasuki masa new normal, yang akan dimasuki perbankan, termasuk Bank Mandiri. Suasananya tidak akan sama dengan apa yang kita lakukan atau sebelum pandemi Covid-19.
Memang selama kondisi yang kita alami ini, dengan PSBB, traffic nasabah ke cabang ini mengubah cara kita lakukan interaksi. Bagaimana delivery produk ke nasabah itu akan banyak dipengaruhi oleh kemampuan digital. Di Bank Mandiri sendiri kita sudah lebih siap dari awal, sebelum Covid-19, transaksi 90% sudah melalui e-channel, mobile banking, ATM, EDC, dan sebagainya. Dan dengan adanya Covid-19 ini, kita terus lakukan perbaikan dan improve digital. Kita ingin nasabah bisa interaksi melalui kanal digital.
Apa ada rencana Bank Mandiri menutup kantor cabang?
Sampai saat ini belum ada. Kami masih kajian memang belum ada angka pasti tapi tentu banyak sedikit akan terdampak saat new normal. Dari lesson learn yang kita pelajari dari krisis ini yang pertama kami lakukan re-evaluasi untuk proses bisnis yang kemarin, current ini apa masih valid dengan new normal. Dari re-evaluasi ini akan re-design dari sisi adjustmen yang kita lakukan antisipasi perubahan perilaku nasabah dan masyarakat, memang pergeseran dibantu digitalisasi.
(miq/dob) Next Article Hery Gunardi, Jejak Bankir Sejati