
Special Interview
"Fintech yang Selesaikan Banyak Masalah, Akan Berkembang"
Gita Rossiana & Roy Franedya, CNBC Indonesia
23 July 2018 07:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa tahun terakhir perusahan rintisan (startup) berbasis teknologi tumbuh pesat di tanah air. Para startup ini mendisrupsi praktek bisnis yang ada sebelumnya sehingga terlihat kurang inovatif.
Di belakang startup ada modal ventura. Sebuah lembaga yang memberikan bantuan modal, menjadi pemegang saham, dan memberikan masukan bagi tumbuh kembang perusahaan startup di Indonesia. Tanpa modal ventura, startup sulit berkembang karena kurangnya sokongan modal.
Pekan lalu, CNBC Indonesia mewawancarai Direktur Utama PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro. Dalam wawancara ini, Eddi menjelaskan masa depan startup secara garis besar dan industri teknologi keuangan (fintech) pada khususnya dan bagaimana kontribusi modal ventura dalam perkembangan industri tersebut.
MCI merupakan anak usaha Bank Mandiri yang telah melakukan penyertaan modal kepada delapan startup diantaranya Amartha (fintech P2P lending), Cashlez (fintech alat pembayaran), dan Digital Artha Media (fintech dompet digital).
Bisa dijelaskan perkembangan industri modal ventura di tengah industri perbankan saat ini?
Di industri modal ventura, sifatnya kita memberikan penyertaan ekuitas (modal). Apabila kita suka kepada satu startup, maka kita bisa jadi pemegang saham. Tapi di industri modal ventura tidak ada kolateral (jaminan) dan hal ini berbeda dengan di industri perbankan yang ada kolateralnya dan bisa ditarik. Karena tidak ada jaminan, sukses dan untung ditanggung sama-sama. Memang lebih riskan dari kredit bank, tapi kalau jadi pemegang saham, kita bisa ikut membesarkan.
Lalu, bagaimana dengan tren bisnis startup yang dinaungi oleh modal ventura?
Trennya sangat prospektif, karena startup perkembangannya naik terus, sekarang sudah ada 4 [startup] unicorn (valuasi startup di atas US$1 miliar). Kemudian, perkembangan dari valuasinya juga naik terus. Startup juga bisa membawa nilai tambah kepada kehidupan masyarakat, dan itu terasa sekali. Nasabah dan rakyat Indonesia bisa diuntungkan dari adanya startup.
Startup besar di Indonesia umumnya masih merugi tetapi punya valuasi yang terus besar tanpa memiliki aset riil. Kenapa bisa seperti itu?
Industri start up memang begitui. Valuasinya berbeda dengan perusahaan tradisional. Valuasi di-drive (didorong) bukan karena revenue (pendapatan), tapi dari jumlah pengguna (user), bisa dalam bentuk konsumen yang melakukan download atau berapa banyak UKM yang diberikan pembiayaan dan seterusnya.
Dengan tujuan, tidak untuk mengejar profit saat ini, tetapi user yang banyak itu nanti bisa dimonetisasi. Karena, di tengah persaingan yang keras seperti saat ini, ride-hailing (transportasi online) misalnya, sekarang ada tiga, semua perang harga dan bakar uang. Kalau mereka mengejar profit dengan menaikkan harga, nasabah akan lari ke pesaing.
Supaya bisa bertahan di tengah persaingan yang terlalu banyak, mereka jor-joran supaya bertahan dan menjadi market leader (pemimpin pasar). Setelah itu, baru mengejar profitabilitas dengan sedikit demi sedikit menaikkan harga. Ini uniknya, bukan sekedar mengejar profitabilitas, tapi forward looking (melihat ke depan).
Jadi yang dijual startup saat ini kepada pemilik modal adalah masa depan. Apakah hal tersebut bisa dipastikan?
Tidak ada yang pasti di bisnis, jadi harus melihat apa yang sudah terjadi di negara lain dengan dijadikan benchmark (tolak ukur). Namun bukan berarti apa yang terjadi di luar negeri, bisa terjadi juga di Indonesia.
Search engine (mesin pencarian) misalnya, ada segala macam, yang bertahan hanya Google. Marketplace yang bertahan Amazon. Di China juga banyak, yang bertahan Alibaba. Jadi memang like or not (suka atau tidak) akan mengerucut. Dari pemenang yang mengerucut, mereka kemudian menaikkan harga atau mencari income (pemasukan) lain dari iklan atau data.
Lalu, apakah ini terjadi juga di Indonesia. Marketplace yang ada sekarang ada 10 [startup], Tokopedia, Lazada dan lainnya, banyak. Berkaca pada apa yang terjadi di negara lain, tidak akan semua bertahan, akan mengerucut menjadi dua atau dua yang akan bertahan.
Dalam mengembangkan usahanya, apakah industri startup harus melakukan strategi predatory price?
Di belakang startup ada modal ventura. Sebuah lembaga yang memberikan bantuan modal, menjadi pemegang saham, dan memberikan masukan bagi tumbuh kembang perusahaan startup di Indonesia. Tanpa modal ventura, startup sulit berkembang karena kurangnya sokongan modal.
Pekan lalu, CNBC Indonesia mewawancarai Direktur Utama PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro. Dalam wawancara ini, Eddi menjelaskan masa depan startup secara garis besar dan industri teknologi keuangan (fintech) pada khususnya dan bagaimana kontribusi modal ventura dalam perkembangan industri tersebut.
Bisa dijelaskan perkembangan industri modal ventura di tengah industri perbankan saat ini?
Di industri modal ventura, sifatnya kita memberikan penyertaan ekuitas (modal). Apabila kita suka kepada satu startup, maka kita bisa jadi pemegang saham. Tapi di industri modal ventura tidak ada kolateral (jaminan) dan hal ini berbeda dengan di industri perbankan yang ada kolateralnya dan bisa ditarik. Karena tidak ada jaminan, sukses dan untung ditanggung sama-sama. Memang lebih riskan dari kredit bank, tapi kalau jadi pemegang saham, kita bisa ikut membesarkan.
![]() |
Lalu, bagaimana dengan tren bisnis startup yang dinaungi oleh modal ventura?
Trennya sangat prospektif, karena startup perkembangannya naik terus, sekarang sudah ada 4 [startup] unicorn (valuasi startup di atas US$1 miliar). Kemudian, perkembangan dari valuasinya juga naik terus. Startup juga bisa membawa nilai tambah kepada kehidupan masyarakat, dan itu terasa sekali. Nasabah dan rakyat Indonesia bisa diuntungkan dari adanya startup.
Startup besar di Indonesia umumnya masih merugi tetapi punya valuasi yang terus besar tanpa memiliki aset riil. Kenapa bisa seperti itu?
Industri start up memang begitui. Valuasinya berbeda dengan perusahaan tradisional. Valuasi di-drive (didorong) bukan karena revenue (pendapatan), tapi dari jumlah pengguna (user), bisa dalam bentuk konsumen yang melakukan download atau berapa banyak UKM yang diberikan pembiayaan dan seterusnya.
Dengan tujuan, tidak untuk mengejar profit saat ini, tetapi user yang banyak itu nanti bisa dimonetisasi. Karena, di tengah persaingan yang keras seperti saat ini, ride-hailing (transportasi online) misalnya, sekarang ada tiga, semua perang harga dan bakar uang. Kalau mereka mengejar profit dengan menaikkan harga, nasabah akan lari ke pesaing.
Supaya bisa bertahan di tengah persaingan yang terlalu banyak, mereka jor-joran supaya bertahan dan menjadi market leader (pemimpin pasar). Setelah itu, baru mengejar profitabilitas dengan sedikit demi sedikit menaikkan harga. Ini uniknya, bukan sekedar mengejar profitabilitas, tapi forward looking (melihat ke depan).
Jadi yang dijual startup saat ini kepada pemilik modal adalah masa depan. Apakah hal tersebut bisa dipastikan?
Tidak ada yang pasti di bisnis, jadi harus melihat apa yang sudah terjadi di negara lain dengan dijadikan benchmark (tolak ukur). Namun bukan berarti apa yang terjadi di luar negeri, bisa terjadi juga di Indonesia.
Search engine (mesin pencarian) misalnya, ada segala macam, yang bertahan hanya Google. Marketplace yang bertahan Amazon. Di China juga banyak, yang bertahan Alibaba. Jadi memang like or not (suka atau tidak) akan mengerucut. Dari pemenang yang mengerucut, mereka kemudian menaikkan harga atau mencari income (pemasukan) lain dari iklan atau data.
Lalu, apakah ini terjadi juga di Indonesia. Marketplace yang ada sekarang ada 10 [startup], Tokopedia, Lazada dan lainnya, banyak. Berkaca pada apa yang terjadi di negara lain, tidak akan semua bertahan, akan mengerucut menjadi dua atau dua yang akan bertahan.
Dalam mengembangkan usahanya, apakah industri startup harus melakukan strategi predatory price?
Sebagai dislaimer, kami belum investasi ke unicorn. Kami tidak punya pengalaman jor-joran uang seperti itu. Namun sebagai praktisi, mestinya sudah bisa melakukan survei. Konsumen memang sensitif, apakah yang menyebabkan mereka menggunakan platform A atau B. Mengapa hari ini belanja di marketplace ini, karena ada promo ongkos kirim dan lainnya. Bisa dikatakan tidak ada loyalty (loyalitas).
Konsumen memang sangat sensitif di price (harga), kecuali survei mengatakan, nasabah mungkin lebih mature (matang) selektif, jadi mungkin service (jasa) yang diutamakan. Kemudian, penyandang dana masuk karena mereka mencari return (imbal hasil). Pada kenyataannya, kalau mereka suka berinvestasi di salah satu unicorn dan bisa naik berapa kali lipat. Memang potensial return investasi ada, tapi risikonya juga ada.
Return ini akan direalisasikan pada saat jual. Mungkin belum terasa pada saat investasi, tapi pada saat realise (direalisasikan), gain (keuntungan dari selisih harga) baru terasa benar.
Konsumen memang sangat sensitif di price (harga), kecuali survei mengatakan, nasabah mungkin lebih mature (matang) selektif, jadi mungkin service (jasa) yang diutamakan. Kemudian, penyandang dana masuk karena mereka mencari return (imbal hasil). Pada kenyataannya, kalau mereka suka berinvestasi di salah satu unicorn dan bisa naik berapa kali lipat. Memang potensial return investasi ada, tapi risikonya juga ada.
Return ini akan direalisasikan pada saat jual. Mungkin belum terasa pada saat investasi, tapi pada saat realise (direalisasikan), gain (keuntungan dari selisih harga) baru terasa benar.
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular