Gelson Kurniawan
CNBC Indonesia Researcher
Kabupaten Lamongan dinobatkan sebagai pemenang "Transformative & Inclusive Infrastructure Award" , sebuah pengakuan bergengsi atas beragam terobosan.
Kabupaten yang dijuluki "Kota Soto" ini tidak hanya fokus pada pembangunan fisik semata, tetapi berhasil merajutnya dengan inovasi teknologi dan pemberdayaan masyarakat, membuktikan komitmennya pada pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Penghargaan ini diberikan bukan atas satu proyek tunggal, melainkan atas keberhasilan Lamongan menerapkan strategi pembangunan 'Dua Garda'. Garda pertama adalah infrastruktur 'transformatif' berskala besar yang mengubah wajah konektivitas dan ketahanan daerah.
Garda kedua adalah infrastruktur 'inklusif' yang menyentuh langsung denyut nadi ekonomi lokal dan melindungi kelompok masyarakat rentan.
Di tengah ketatnya persaingan antar-daerah dalam menarik investasi dan menumbuhkan ekonomi, Kabupaten Lamongan justru tampil dengan filosofi pembangunan yang berbeda. Di bawah visi besar “Kejayaan Lamongan yang Berkelanjutan”, pemerintah daerah menekankan harmoni antara pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan.
Kejayaan bukan sekedar angka ekonomi, tetapi juga keberdayaan manusia, dan pemerataan hasil pembangunan hingga ke dusun."
Oleh karena itu, 15 program kami desain agar berdampak langsung pada masyarakat, mulai dari peningkatan konektivitas infrastruktur, pelayanan dasar, hingga penguatan ekonomi rakyat,” ujar Bupati Lamongan Yuhronur Efendi di acara Road di Program Road to CNBC Indonesia Awards, Kamis (6/11/2025).
Filosofi itu terbukti dari capaian makro ekonomi daerah yang konsisten membaik. Pertumbuhan ekonomi Lamongan melonjak dari kontraksi -2,65% pada 2020 menjadi 4,81% di 2024. Gini rasio menurun dari 0,295 menjadi 0,281, menandakan ketimpangan yang makin kecil. Indeks Pembangunan Manusia naik menjadi 75,90, sementara tingkat kemiskinan turun ke 12,03% di 2025.sekutu.
Kunci pemerataan pembangunan Lamongan ada pada strategi desentralisasi pelaksanaan, dana langsung serta partisipasi masyarakat.
Pemkab Lamongan menyalurkan bantuan keuangan hingga Rp211,4 miliar pada 2025, termasuk Rp35 juta per dusun untuk 1.030 dusun. Proyek dilakukan secara swakelola masyarakat, membuka lapangan kerja lokal dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap infrastruktur desa.
Tak hanya itu, program UMKM Naik Kelas dan Yakin Semua Sejahtera memperkuat ekonomi kelompok rentan.
“Dalam pelaksanaannya menggunakan swakelola masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya membangun fisik, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki dan menciptakan lapangan kerja lokal.
Kata kunci untuk percepatan dan berdampak yakni desentralisasi pelaksanaan, dana langsung partisipasi Masyarakat,” tutur Yuhronur.
Pembangunan Jalan Lingkar Utara sepanjang 7,5 km serta kehadiran Trans Jatim Koridor VII disebut menjadi game changer mobilitas Lamongan. Infrastruktur ini memperlancar distribusi hasil pertanian, mendorong kawasan pergudangan, dan menekan kemacetan.
Program Jamula Mantap pun memperbaiki 154,96 km jalan dalam periode 2021–2025, dengan target kondisi jalan mantap mencapai 64,79% pada akhir 2025. Dengan konektivitas yang terus diperkuat dari Trans Jatim, pelabuhan, hingga jalan strategis.
Lamongan kini menjadi simpul logistik penting dalam kawasan Gerbangkertosusila. Kabupaten ini berperan sebagai penyangga industri bagi Surabaya dan Gresik, menyediakan bahan baku, tenaga kerja, hingga ruang ekspansi industri.
Program Bantuan Keuangan Khusus Desa dan Dusun menjadi instrumen utama pemerataan. Tiga kuncinya: distribusi adil, pelibatan warga, dan fokus kebutuhan lokal. Hasilnya: akses ekonomi desa membaik, infrastruktur produktif meningkat, dan kesenjangan antarwilayah menurun.
Lamongan terus melakukan eksekusi proyek-proyek infrastruktur ambisius yang bersifat transformatif.
Pembangunan Jalan Lingkar Utara (JLU) menjadi sorotan utama, bersamaan dengan revitalisasi Stadion Surajaya yang telah ditargetkan rampung pada Februari 2025. JLU dinilai sebagai langkah strategis yang secara fundamental meningkatkan konektivitas dan membuka sumbatan logistik, sementara stadion baru menjadi ikon modern untuk mendukung kemajuan olahraga.
Di sinilah letak keunikan Lamongan yang membuatnya diganjar penghargaan "Inklusif". Kemegahan JLU dan Stadion Surajaya diimbangi dengan fokus tajam pada infrastruktur skala mikro yang menyentuh langsung masyarakat desa.
“Jalan lingkar utara mereduksi kemacetan perkotaan, menumbuhkan ekonomi baru untuk kawasan pergudangan, retail modern, dan rest area. Akses distribusi hasil pertanian lebih efisien dan dapat memperlancar arus barang,” imbuh Yuhronur.
Namun, transformasi paling vital justru terjadi di sektor ketahanan pangan. Pemkab Lamongan secara masif melakukan rehabilitasi 96 waduk dan embung. Ini adalah langkah infrastruktur fundamental yang mentransformasi sektor agraris Lamongan.
Langkah ini terbukti jitu. Dengan jaminan irigasi yang lebih baik, sektor peternakan Lamongan melonjak. Keberhassilan Lamongan membangun sektor peternakan yang berbasis ketahanan pangan dan kesejahteraan peternak serta infrastruktur air (waduk) secara langsung mentransformasi kapabilitas produksi pangan di daerah.
Lamongan menyoroti proyek perbaikan dua pasar desa yang ditargetkan rampung pada akhir 2025. Di saat daerah lain fokus pada pusat perbelanjaan modern, Lamongan memilih memperkuat 'Pasar Desa'. Langkah ini dinilai sebagai infrastruktur inklusif murni yang bertujuan spesifik untuk mendorong dan melindungi ekonomi lokal di level akar rumput.
Aspek inklusif ini diperkuat oleh "infrastruktur sosial". Pembangunan fisik di Lamongan tidak melupakan manusianya. Pemkab secara agresif menjalankan program unggulan di sektor kesehatan, seperti pencegahan stunting dan program inovatif CEPAK (Cegah Perkawinan Anak). Program CEPAK dirancang khusus untuk mencegah perkawinan anak sekaligus memastikan pemenuhan hak-hak dasar anak.
Langkah ini, ditambah dengan sosialisasi proaktif menanggulangi judi online, menunjukkan bahwa seluruh hasil pembangunan infrastruktur transformatif pada akhirnya ditujukan untuk melindungi generasi muda dan kelompok rentan, memastikan tidak ada yang tertinggal sebuah esensi dari pembangunan inklusif.
Pembangunan infrastruktur fisik Lamongan tidak berjalan 'buta'. Keberhasilan integrasi antara 'transformatif' dan 'inklusif' dimotori oleh "infrastruktur digital" yang canggih.
Pada tahun 2025, Lamongan meluncurkan MEGNOTEK (Megilan Inovasi dan Teknologi). Ini bukan sekadar pameran, melainkan sebuah platform kolaborasi permanen antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat. MEGNOTEK menjadi wadah untuk melahirkan solusi inovatif atas permasalahan daerah, memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun adalah jawaban atas kebutuhan nyata di lapangan.
MEGNOTEK didukung oleh Sistem Informasi Riset dan Inovasi Daerah (SI-RISDA). Ini adalah platform terintegrasi yang mengelola seluruh riset dan inovasi, memudahkan kolaborasi berbagai pihak untuk menghasilkan solusi berbasis data.
Puncak dari sinergi infrastruktur transformatif dan inklusif ini adalah terbukanya keran ekspor global. Infrastruktur yang membaik (JLU), produsen lokal yang kuat (Pasar Desa, Waduk), dan dukungan sistematis (Klinik Ekspor UMKM, INARXport) melahirkan gebrakan bersejarah.
Pada tahun 2025, Lamongan untuk pertama kalinya sukses melakukan ekspor perdana "Kota Soto" ke 10 negara sekaligus , termasuk pasar sulit seperti USA, Jepang, China, Australia, dan UK. Komoditas yang diekspor pun beragam, mulai dari ikan, udang, kayu, kain tenun, pupuk, pakan ternak, hingga makanan olahan dan perabot rumah tangga.
Seluruh pencapaian infrastruktur fisik ini mulai dari JLU, rehabilitasi waduk, hingga perbaikan pasar desa mutlak membutuhkan komitmen anggaran yang disiplin. Data APBD Kabupaten Lamongan per 4 November 2025 dari Kementerian Keuangan menjadi bukti konkret komitmen tersebut.
Kunci kesuksesan eksekusi ini terlihat jelas pada pos Belanja Modal. Dari total pagu anggaran Belanja Modal sebesar Rp 265,58 Miliar, Pemkab Lamongan telah merealisasikan Rp 199,98 Miliar. Angka ini menunjukkan tingkat realisasi penyerapan sebesar 75,30%.
Capaian ini sangat impresif karena jauh melampaui rata-rata realisasi total Belanja Daerah yang berada di angka 67,28%.
Hal ini membuktikan satu hal yaitu belanja infrastruktur bukan hanya prioritas di atas kertas, tetapi juga menjadi prioritas dalam eksekusi di lapangan. Akselerasi penyerapan Belanja Modal inilah yang menjadi 'bensin' fiskal sesungguhnya, yang memastikan proyek-proyek transformatif dan inklusif dapat berjalan tepat waktu dan dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. Ini adalah fondasi anggaran yang kokoh di balik penghargaan bergengsi yang diterima Lamongan.
Kabupaten Lamongan juga mencuri perhatian dengan strategi pengelolaan pembiayaan daerah yang dinilai progresif dan terukur. Alih-alih membebani keuangan daerah, Lamongan justru menjadikan pinjaman dan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebagai katalis pembangunan infrastruktur berkelanjutan.
“Prinsipnya sederhana: pinjaman daerah dipakai sebagai katalis untuk proyek prioritas yang produktif, bukan untuk pengeluaran rutin,” ujar Yuhronur.
Langkah konkret dimulai sejak 2022, ketika Lamongan bekerja sama dengan Bank Jatim untuk pembiayaan pembangunan jalan kabupaten senilai Rp150 miliar, serta Rp50 miliar tambahan untuk pembebasan lahan jalan lingkar utara. Melihat hasil yang efektif, pada 2025 kerja sama kembali dilakukan untuk pembangunan jalan di 18 ruas sepanjang 16,68 kilometer dengan nilai Rp48 miliar.
Secara total, investasi infrastruktur jalan melalui skema pinjaman daerah pada 2022 dan 2025 mencapai Rp250 miliar. Infrastruktur ini bukan hanya memperlancar konektivitas antarwilayah, tapi juga mempercepat arus barang dan menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru di kawasan sekitar.
Kami sadar Keberlanjutan fiskal adalah kunci. Karena itu, setiap pinjaman daerah dan KPBU kami desain berbasis analisis manfaat ekonomi dan kemampuan bayar."
Tak berhenti di sana, Lamongan juga tengah menyiapkan skema KPBU untuk proyek penerangan jalan umum (PJU) yang efisien dan ramah lingkungan pada 2026. Proyek ini menjadi bagian dari arah besar pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ia menambahkan, setiap rupiah dari pinjaman daerah harus menghasilkan nilai tambah ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat. “Bukan beban, tapi leverage bagi pembangunan jangka panjang,” ujarnya. Lamongan pun kini menjadi salah satu contoh daerah yang mampu mengelola pembiayaan alternatif secara cerdas dan bertanggung jawab — membuktikan bahwa inovasi fiskal bisa berjalan seiring dengan prinsip keberlanjutan pembangunan.
Elvan Widyatama
CNBC Indonesia Researcher
Kabupaten bulungan berhasil meraih penghargaan “Sustainable Governance & Eco-Impact Award pada ajang CNBC Indonesia Awards 2025. Penghargaan ini menjadi bukti nyata komitmen pemerintahan Bulungan dalam menerapkan tata keloga pemerintahan yang berkelanjutan serta pembangungan yang berpihak pada kelestarian lingkungan.
Melalui kebijakan yang pro-lingkungan, inovasi energi terbarukan, serta tata kelola yang berbasis pada data dan partisipasi masyarakat, Kabupaten Bulungan sukses membangun model pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya menjaga ekosistem alam, tetapi juga mendorong kesejahteraan masyarakatnya.
Salah satu tonggak penting dari pencapaian tersebut adalah keberhasilan Kabupaten Bulungan menjadi daerah terbaik pertama secara nasional dalam pelaksanaan program Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE).
Program ini mengaitkan indikator ekologis dengan mekanisme penganggaran daerah, sehingga aspek lingkungan hidup tidak hanya menjadi komitmen moral, melainkan juga bagian dari sistem fiskal daerah yang terukur.
Melalui implementasi TAKE, Bulungan mendorong desa-desa dibawahnya untuk mengembangkan program inovatif berbasis lingkungan. Mulai dari konservasi hutan, pengelolaan air bersih, hingga pertanian berkelanjutan.
Tahun 2025, pemerintahn Kabupaten Bulungan mengalokasikan Rp7 miliar untuk mendorong program ini. Naik dari Rp5 miliar pada tahun sebelumnya. Dana tersebut diberikan kepada desa-desa yang mampu melaksanakan kegiatan pembangunan ramah lingkungan secara efektif dan terukur.
Dari sistem insentif inilah, muncul berbagai inovasi lokal yang berorientasi pada keberlanjutan. Desa Pejalin dan Antunan misalnya, berhasil mengembangkan produk olahan cokelat unggulan yang dikelola tanpa merusak hutan tapi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain suskes menjalankan kebijakan fiksal yang hijau melalui program TAKE, Kabupaten Bulungan juga menunjukkan komitmen dalam menghadapi tantangan lingungan lainnya. Terutama polusi udara yang kerap menjadi masalah umum.
Salah satu inovasi yang lahir dari komitmen tersebut adalah program “Aku Beda”, yang merupakan singkatan dari “Asap Kulepas, Bebekku Dapat”. Program ini merupakan langkah dalam pengendalian polusi udara akibat pembakaran limbah organik yang sebelumnya menjadi praktik umum di berbagai daerah.
Program ini mampu mengubah mengubah cara pengelolaan limbah organik. Jika sebelumnya daun kering, ranting, dan sisa pertanian sering dibakar hingga menghasilkan asap tebal, kini limbah tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku energi terbarukan.
Melalui teknologi bioenergi, limbah organik diolah menjadi bahan bakar yang dapat digunakan untuk pembangkit listri kecil atau sumber energi alternatif di tingkat masyakarat.
Pendekatan ini tidak hanya berhasil menekan emisi asap, tetapi juga mengurangi volume sampah organik yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Dengan mengubah limbah menjadi energi, Bulungan menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan bisa menjadi solusi ekonomi sekaligus ekologis.
Keberhasilan program Aku Beda tidak lepas dari partisipasi aktif masyarakat. Pemerintah daerah menggelar sosialisasi dan edukasi lintas desa untuk meningkatkan kesadaran warga akan bahaya polusi udara dan pentingnya pengelolaan limbah organik.
Masyarakat didorong untuk berperan langsung dalam pengumpulan limbah, pengolahan bioenergi, hingga pemanfaatan hasil energi tersebut untuk kebuthan rumah tangga dan kegiatan produktif.
Melalui pendekatan partisipatif ini, program Aku Beda berhasil menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif terhadap lingkungan sekaligus membuka peluang ekonomi baru di tingkat lokal. Masyarakat tidak lagi memandang limbah sebagai beban, melainkan sebagai sumber daya bernilai.
Beberapa Program dan Inisiatif Lingkungan Kabupaten Bulungan:
keberhasilan Bulungan dalam menjaga kelestarian lingkungan juga didukung oleh kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat adat, dan sektor swasta melalui mekanisme tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Perusahaan-perusahaan di sektor energi, pertambangan, dan perkebunan di wilayah Bulungan tidak lagi memandang CSR sebagai kewajiban formal, tetapi sebagai instrumen nyata untuk mendukung pembangunan ekologis. Dana CSR diarahkan untuk mendukung konservasi hutan dan pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang menjadi penjaga utama kelestarian ekosistem.
Salah satu wujud nyata kolaborasi ini adalah dukungan perusahaan terhadap program rehabilitasi hutan dan konservasi biodiversitas di kawasan Sajau dan Sekatak, di mana MHA Punan Batu Benau Sajau menerima Penghargaan Kalpataru 2024 atas keberhasilannya menjaga hutan secara berkelanjutan. Program ini menjadi bukti bahwa pelibatan masyarakat adat dalam tata kelola ekologi menghasilkan manfaat ganda: menjaga alam sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial.
Komitmen Kabupaten Bulungan terhadap pembangunan berkelanjutan juga tercermin dari kinerja ekonominya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejumlah sektor yang berkaitan erat dengan pengelolaan lingkungan menunjukkan tren pertumbuhan sepanjang 2020–2024.
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah mencatat peningkatan signifikan dari Rp3.079,96 miliar pada 2020 menjadi Rp3.919 miliar pada 2024.
Pertumbuhan ini menunjukkan kemampuan Bulungan menjaga produktivitas tanpa mengorbankan keseimbangan ekologis. Praktik budidaya berkelanjutan, perlindungan lahan pertanian, serta peran masyarakat adat dalam menjaga kawasan hutan turut menopang ketahanan sektor ini.
Sementara itu, sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah, dan daur ulang juga tumbuh konsisten, dari Rp13,11 miliar pada 2020 menjadi Rp17,35 miliar pada 2024 meningkat lebih dari 32% dalam empat tahun. Kenaikan ini menandakan meningkatnya investasi dan kesadaran terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan yang modern dan berkelanjutan.
Sektor pengadaan listrik dan gas pun ikut berkembang, naik dari Rp7,8 miliar pada 2020 menjadi Rp10,1 miliar pada 2024. Peningkatan ini didorong oleh perluasan akses energi dan adopsi sumber energi bersih di berbagai fasilitas publik.
Dengan kemajuan di sektor-sektor tersebut, Bulungan menegaskan bahwa pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan bukan dua hal yang bertolak belakang, melainkan dua sisi yang saling menguatkan.
Tren pertumbuhan ini memperlihatkan bahwa kebijakan fiskal berbasis ekologi yang diterapkan pemerintah daerah seperti program TAKE “Bulungan Hijau” dan inovasi pengelolaan lingkungan di tingkat desa memberikan hasil yang nyata. Pertumbuhan ekonomi hijau kini menjadi fondasi utama dalam perjalanan Bulungan menuju tata kelola yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.
Susi Setiawati
CNBC Indonesia Researcher
Di tengah peta pembangunan nasional yang semakin kompetitif, Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) hadir bukan sebagai daerah yang hanya menjalankan program, tetapi sebagai daerah yang menciptakan standar baru.
Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) di Sulawesi Selatan membuktikan bahwa transformasi ekonomi, energi, dan pangan bukan monopoli kota besar atau kawasan industri lama. Dari wilayah agraris di jantung Sulawesi, Sidrap bergerak menjadi laboratorium kebijakan baru, bagaimana sebuah kabupaten dapat melompat kelas melalui inovasi pangan, energi terbarukan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Dengan pondasi historis sebagai lumbung padi, Sidrap kini menjadi salah satu contoh paling menarik tentang bagaimana daerah kecil bisa tampil sebagai pemimpin agenda nasional.
Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) di Sulawesi Selatan tidak lagi hanya identik dengan predikat “lumbung padi”. Dalam beberapa tahun terakhir, citra itu meluas. Sidrap kini tampil sebagai salah satu wilayah dengan transformasi ekonomi paling progresif di kawasan Indonesia Timur. Perubahan struktur ekonomi, diversifikasi kegiatan usaha, serta keberanian mengambil inisiatif pembangunan berskala distrik, menjadikan Sidrap semakin sering dipakai sebagai contoh daerah yang mampu naik kelas dari ekonomi agraris tradisional menuju model ekonomi berbasis nilai tambah.
Ragam terobosan mulai dilakukan, mulai dari inovasi energi terbarukan, perbaikan rantai pasok pertanian, hingga penguatan industri pangan yang berbasis pada keberlanjutan dan produktivitas. Di sektor energi, kehadiran pembangkit listrik non-fosil menjadi simbol bahwa Sidrap tidak hanya memproduksi komoditas primer, namun juga memberi kontribusi pada ekosistem energi nasional. Di sektor pertanian dan industri olahan, orientasi kini tidak hanya hasil panen tinggi, namun juga nilai tambah tinggi, dengan mendorong hilirisasi dan peningkatan standar mutu produk.
Hasilnya dapat terlihat pada indikator kesejahteraan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Sidrap termasuk ke dalam wilayah dengan tingkat kemiskinan terendah di Sulawesi Selatan. Tingkat kemiskinan berada di angka 4,94%, terendah ketiga di provinsi tersebut. Capaian ini memperlihatkan bahwa transformasi yang dilakukan bukan hanya bersifat infrastruktural atau teknologis, tetapi memiliki dampak langsung ke masyarakat, pendapatan yang lebih merata, kesempatan kerja yang lebih luas, dan meningkatnya kualitas hidup.

Menjadi tuan rumah Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) komersial dan terbesar pertama di Indonesia, membuat Kabupaten Sidrap bukan sekadar bertambah satu infrastruktur, tetapi lahirnya sebuah ikon kota energi baru.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap yang berdiri di perbukitan Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, bukan hanya deretan turbin bercat putih yang berputar ditiup angin pesisir. Ia adalah simbol capaian teknologi energi bersih Indonesia. Di banyak foto yang beredar di media sosial, turbin-turbinnya terlihat seolah tarian raksasa di atas garis cakrawala.
Namun di balik visual instagramable tersebut, tersimpan fakta bahwa Sidrap adalah pencetus tonggak sejarah industri energi angin nasional.
Diresmikan dan beroperasi komersial penuh sejak 5 April 2018, proyek ini langsung memberi dampak signifikan terhadap rasio elektrifikasi Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat. PLTB Sidrap memiliki kapasitas terpasang 75 MW yang dipasok dari 30 unit turbin, masing-masing berkapasitas 2,5 MW. Turbin-turbin itu berdiri di menara baja setinggi 80 meter, dan setiap bilah turbin sepanjang 57 meter, hampir sebesar sayap pesawat Airbus.
Dengan konfigurasi tersebut, Sidrap mampu melayani lebih dari 70.000 pelanggan berdaya 900 VA. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir saja, listrik yang telah dihasilkan lebih dari 400.000 MWh, energi yang sebanding dengan pengurangan emisi ratusan ribu ton CO₂ jika dibandingkan sumber listrik berbasis fosil.
Kontribusinya membuat Sulawesi Selatan tercatat sebagai daerah surplus energi, dan menjadi salah satu provinsi dengan rasio elektrifikasi tertinggi di Indonesia timur. Bagi para pemangku kepentingan, Sidrap adalah “proof of concept” bahwa PLTB layak secara teknis, finansial, dan sosial, bukan utopia.
Melihat keberhasilan itu, pengembang UPC Renewable tengah menyiapkan rencana ekspansi lanjutan, menggunakan teknologi turbin generasi terbaru dan sistem penyimpanan baterai (battery energy storage system/BESS). Estimasi nilai investasi tahap pengembangan ini mencapai sekitar US$ 1,8 juta per MW. Dengan kehadiran sistem penyimpanan energi, PLTB Sidrap pada fase berikutnya tidak hanya mengirim daya saat angin berhembus saja, namun bisa memasok daya lebih stabil, sehingga makin relevan menguatkan grid jangka panjang.
Sebagai PLTB komersial pertama sekaligus terbesar di Asia Tenggara pada masanya, Sidrap menjadi bukti konkret komitmen pemerintah mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025.
Proyek ini menunjukkan bahwa keberanian untuk memulai, mengambil risiko teknologi, dan membuka ruang investasi global dapat mempercepat agenda transisi energi nasional. Namun kisah Sidrap bukan sekadar angka MW, MWh, atau prosentase bauran energi. Dengan setiap putaran bilah turbinnya, Sidrap serupa penanda bahwa masa depan Indonesia tidak harus tergantung pada batu bara. Sidrap menjadi narasi bahwa energi bersih bukan wacana elite seminar, tetapi realitas yang bisa berdiri kokoh di tanah sendiri, di kabupaten yang namanya dulu bahkan tidak pernah masuk dalam percakapan energi global.
PLTB Sidrap adalah kebanggaan sekaligus pengingat. Bahwa keberlanjutan bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan. Bahwa inovasi bukan hanya monopoli kota besar. Bahwa harapan bisa dicetak dari angin.
Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan, kembali menegaskan visinya sebagai salah satu lumbung beras utama nasional. Potensi lahan, volume produksi eksisting, dan posisi Sidrap sebagai penyuplai pangan untuk kawasan timur Indonesia menjadi modal besar. Tetapi, untuk mengubah potensi menjadi kapasitas produksi yang stabil dan terukur, daerah ini masih harus menaklukkan dua pekerjaan rumah besar, percepatan perbaikan infrastruktur jalan dan revolusi pola pikir petani menuju pertanian modern.
Bupati Sidrap, Syaharuddin Alrif, menyampaikan bahwa berdasarkan pemetaan pemerintah daerah, terdapat sekitar 900 kilometer ruas jalan, baik jalan desa, kecamatan, maupun kabupaten yang kini berada dalam kondisi rusak dan membutuhkan intervensi segera. Infrastruktur yang tidak layak ini bukan sekadar persoalan fisik, namun berimbas langsung pada kecepatan distribusi hasil pertanian, biaya logistik, serta daya tawar petani terhadap pasar.
Karena itu, Pemkab Sidrap kini intens memperkuat koordinasi dan lobi anggaran dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan, agar perbaikan akses distribusi menjadi prioritas pendanaan nasional.
Sidrap tidak bisa lagi hanya mengandalkan pola tanam konvensional yang selama puluhan tahun menjadi budaya kerja petani. Untuk mengejar produktivitas tinggi, efisiensi pupuk, mitigasi gagal panen, dan stabilitas harga. Sidrap membutuhkan petani baru yang “tech-minded”.
Saat ini, Pemkab mendorong akselerasi adopsi teknologi agri, mulai dari mekanisasi tanam/panen, irrigation scheduling berbasis data, optimalisasi varietas unggul, hingga integrasi pupuk organik dan subsidi agar hasil stabil namun biaya produksi lebih rendah. Fokus selanjutnya adalah lahirnya petani milenial yang bukan sekadar meneruskan lahan warisan keluarga, tetapi menjadikan pertanian sebagai bisnis dengan pendekatan digital, data, dan inovasi.
Dengan serangkaian langkah ini, Sidrap menargetkan
1 juta ton gabah per tahun
10 juta butir telur per tahun
peningkatan populasi dan produksi ayam pedaging dan bebek
penguatan komoditas bernilai ekspor
Target besar tersebut di-set dalam horizon lima tahun. Apabila semua ide dan gagasan ini dieksekusi konsisten, mulai hulu (lahan, benih, pupuk) hingga hilir (pasar, logistik, pengolahan), maka Sidrap bukan hanya pusat pangan Sulsel, tetapi berpeluang menjadi pilar ketahanan pangan nasional.
Susi Setiawati
CNBC Indonesia Researcher
Menjelang petang di Balaikota Makassar, layar-layar data di ruang War Room masih menyala. Angka-angka lalu lintas, laporan pengaduan, hingga cuaca laut tampak bergerak di dinding digital yang memantau kota. Dari ruangan inilah pemerintah memantau aktivitas sehari-hari jutaan warganya sebuah simbol baru dari tata kelola yang bertransformasi menuju kota cerdas.
Makassar telah lama dikenal sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan di Indonesia Timur. Kini, di bawah kepemimpinan Wali Kota Munafri Arifuddin, kota ini membangun sistem pemerintahan yang berbasis data dan teknologi. Transformasi ini berakar pada keyakinan bahwa pelayanan publik harus secepat denyut kota yang tidak pernah berhenti.
Dua tahun terakhir menjadi periode paling progresif dalam sejarah digitalisasi pemerintahan Makassar.
Puncaknya adalah peluncuran Lontara+, sebuah super apps yang dirancang sebagai pintu utama semua layanan publik. Ide ini lahir dari kesadaran bahwa masyarakat modern membutuhkan kemudahan yang terintegrasi, bukan kumpulan aplikasi yang saling terpisah.
Blueprint resmi yang disusun Pemerintah Kota Makassar menggambarkan kompleksitas ekosistem digital kota. Sebelum Lontara+ hadir, tercatat 358 aplikasi aktif milik berbagai OPD, masing-masing bekerja dengan sistem dan data sendiri. Kondisi ini menciptakan tumpang tindih fungsi, biaya tinggi, dan kesulitan dalam pelaporan.
Melalui Lontara+, seluruh layanan akan diintegrasikan dalam satu platform dengan sistem login terpadu, tata kelola data tunggal, dan analitik waktu nyata.
Pengguna Lontara+ dikategorikan ke dalam tujuh profil, mulai dari pelajar hingga lansia, agar setiap kelompok mendapat layanan sesuai kebutuhannya. Dalam fase awal, platform ini sudah menyediakan layanan penting seperti pendaftaran air gratis, bantuan seragam sekolah, layanan kependudukan, hingga pengaduan prioritas.

Nama Lontara+ sendiri merupakan hasil sayembara publik yang melibatkan anak muda. Huruf Bugis-Makassar yang menjadi dasar namanya dipilih sebagai simbol koneksi antara masa lalu dan masa depan antara kearifan lokal dan kecerdasan digital.
Ini adalah tahap awal menuju visi besar Makassar: membangun governance yang tidak hanya efisien, tetapi juga adaptif terhadap perubahan perilaku masyarakat.
Karena eiring waktu, aplikasi ini berkembang menjadi sistem saraf pemerintahan. Dari kantor kelurahan hingga sekretariat daerah, seluruh perangkat kini diarahkan menuju satu jaringan data terpadu.
Kebutuhan akan integrasi ini berangkat dari realitas lapangan. Berdasarkan data yang tercantum dalam blueprint Lontara+ , sebanyak 132 aplikasi sebelumnya digunakan hanya untuk administrasi internal, 122 aplikasi bersifat portal informasi, sementara layanan publik digital berjumlah 68 aplikasi. Fragmentasi ini menimbulkan duplikasi kerja dan kesenjangan data. Lontara+ hadir untuk menjahit seluruh simpul itu menjadi satu sistem kota yang berdenyut serempak.
Selain aspek teknis, ada dimensi kemanusiaan yang menguat di balik proyek ini. Selama bertahun-tahun, sebagian warga harus berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain untuk urusan sederhana seperti pengurusan dokumen atau melapor masalah lingkungan. Dengan Lontara+, pengalaman warga diubah: satu pintu, satu identitas, satu basis data.
Transformasi ini tidak terlepas dari dukungan infrastruktur yang telah disiapkan sejak beberapa tahun sebelumnya.
War Room Makassar, yang berfungsi sebagai pusat kendali dan penyimpanan data kota, kini beroperasi sebagai server utama Lontara+.
Sistem ini memiliki 12 node Hyper-Converged Infrastructure dengan 153 mesin virtual yang melayani 53 OPD dan lebih dari 150 kelurahan. Dengan klasifikasi Tier 2, pusat data ini sudah cukup kuat untuk menopang integrasi sistem skala kota, meski penguatan keamanan masih menjadi agenda lanjutan.
Namun tantangan tidak ringan, sepanjang 2024 terdapat 1.476 insiden keamanan siber yang menargetkan 62 domain pemerintah kota, sebagian besar mengarah pada situs strategis seperti PPID, Bagian Perekonomian, dan DP3A. Pola ini menandakan pentingnya membangun sistem pertahanan digital yang terpusat dan responsif.
Di sisi lain, perluasan konektivitas publik mulai menunjukkan hasil. Pemerintah mencatat setidaknya 100 titik Wifi Publik aktif di seluruh kota, dengan tingkat operasional mencapai 82%. Dari total 1.815 titik Lorong Wisata, sekitar 90% telah terhubung dengan jaringan internet yang mendukung kegiatan ekonomi lokal. Meski belum merata di semua kecamatan, fondasi ini menjadi pijakan penting bagi adopsi digital yang lebih luas.
Blueprint pengembangan mencatat empat lapisan utama: front-end user, back-office OPD, dashboard eksekutif, dan entitas publik.
Masing-masing terhubung oleh sistem integrasi berbasis Application Programming Interface (API) dan Enterprise Service Bus (ESB) yang memungkinkan pertukaran data antar instansi tanpa gesekan birokrasi.
Langkah awal yang ditempuh pemerintah kota adalah rasionalisasi aplikasi, mengaudit 358 sistem yang sebelumnya berjalan sendiri-sendiri. Audit ini menghasilkan peta fungsional yang menunjukkan area duplikasi dan gap.
Aplikasi dengan fungsi serupa digabungkan ke dalam modul Lontara+, sementara data dari sistem lama ditransfer ke basis data terpusat. Proses ini membutuhkan disiplin tata kelola yang jarang terlihat di level pemerintah daerah.
Keunggulan lain Lontara+ terletak pada desain user-centered. Setiap fitur dikembangkan melalui uji coba langsung dengan masyarakat. Tim digital kota mengadakan forum diskusi kelompok dan survei untuk memahami titik lemah dalam pelayanan publik. Hasilnya, lahirlah antarmuka yang sederhana, dengan bahasa lokal, akses cepat, dan integrasi layanan prioritas.
Filosofi yang mendasari sistem ini sederhana: data harus bergerak secepat kebutuhan warga. Karena itu, Pemkot Makassar memperkuat infrastruktur server, memperluas jaringan fiber antar-OPD, dan menyiapkan Disaster Recovery Site agar sistem tetap berjalan bahkan dalam situasi darurat.
Makassar kini memiliki pusat data Tier 2 di bawah pengelolaan UPT War Room, dilengkapi 12 node hyper-converged infrastructure dan 153 virtual machines yang melayani lebih dari 50 OPD dan 150 kelurahan. Kapasitas ini belum besar, tetapi cukup untuk menopang arsitektur integratif tahap pertama.
Blueprint juga merekomendasikan penguatan keamanan siber. Data tahun 2024 menunjukkan 1.476 insiden siber yang menargetkan 62 domain pemerintah kota. Tiga domain dengan serangan terbanyak PPID, Bagian Perekonomian, dan UPTD DP3A—menyumbang lebih dari separuh total kasus. Pola ini menunjukkan bahwa keamanan harus diperlakukan sebagai infrastruktur, bukan pelengkap teknis. Pemerintah mulai menyiapkan standar secure software development lifecycle (SDLC) dan audit berkala untuk sistem utama.
Lontara+ tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian dari transformasi besar yang disebut pemerintah kota sebagai “Makassar Digital Ecosystem”, yang menghubungkan data sosial, administrasi, dan ekonomi ke dalam satu sistem analitik.
Dari War Room, seluruh aktivitas ini dipantau secara real time, mulai dari layanan Dukcapil, distribusi bantuan sosial, hingga aktivitas ekonomi warga di lorong-lorong wisata.
Kunci keberhasilan terletak pada data governance. Pemerintah kota mengembangkan data lake yang menampung informasi lintas sektor.
Data ini kemudian digunakan untuk analisis kebijakan, pemetaan kemiskinan, dan pengawasan pelayanan publik. Mekanisme Single Sign-On (SSO) memudahkan warga untuk mengakses semua layanan tanpa registrasi berulang, sementara sistem analitik di tingkat eksekutif memberikan peringatan dini terhadap potensi masalah sosial.
Langkah-langkah ini membuahkan hasil. Dalam evaluasi nasional Gerakan Menuju Kota Cerdas 2024, Makassar meraih nilai 3,64 dari skala 4,0, meningkat tajam dari 3,14 pada tahun sebelumnya. Predikat Sangat Baik juga diberikan oleh Kementerian PAN-RB untuk Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dengan skor 4,02, menempatkan Makassar di posisi strategis sebagai kota dengan birokrasi digital paling siap di kawasan timur Indonesia.
Secara makro, transformasi digital ikut berpengaruh pada indikator kesejahteraan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) tahun 2024 tercatat Rp1,56 triliun atau 79,78% dari target, sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 85,23%, masuk 10 besar nasional. Tingkat kemiskinan menurun ke 4,97%, hasil dari berbagai program sosial dan ekonomi yang juga dimonitor melalui sistem digital.
Masing-masing capaian itu berhubungan dengan efisiensi birokrasi yang kini lebih terukur. Sebelum digitalisasi, waktu penyelesaian dokumen kependudukan rata-rata mencapai 3–5 hari kerja. Dengan integrasi Lontara+, waktu proses bisa dipangkas hingga 60%.
Sistem aduan warga yang sebelumnya tersebar di berbagai kanal kini terkonsolidasi, sehingga respon instansi meningkat lebih cepat dan terukur.
Pemerintah kota mengadakan training bootcamp bagi operator kelurahan dan OPD agar mampu mengelola data secara mandiri. Pendekatan ini penting karena teknologi tanpa kompetensi manusia akan berhenti di permukaan.
Makassar juga memperkuat kerja sama dengan akademisi dan sektor swasta dalam pengembangan inovasi digital. Universitas Hasanuddin menjadi mitra dalam riset kebijakan data, sementara komunitas lokal terlibat dalam pengembangan desain antarmuka dan keamanan. Pendekatan kolaboratif ini membuat Makassar menonjol dibanding banyak kota lain yang transformasinya berjalan top-down.
Pemerintah memanfaatkan momentum ini untuk memperluas integrasi sistem lain seperti OPPOKI—aplikasi pengelolaan kendaraan dinas berbasis QR Code yang memastikan efisiensi dan transparansi aset publik. Di sektor ekonomi, sistem digital juga diterapkan untuk revitalisasi pasar tradisional agar manajemen kios dan data pedagang dapat dipantau langsung dari dashboard kota. Semua upaya itu bergerak menuju satu arah: menciptakan kota yang tidak hanya berteknologi tinggi, tetapi juga memahami ritme manusia di dalamnya. Makassar mencoba membangun sistem yang human-centered, di mana teknologi bekerja dalam diam untuk membuat hidup warga lebih sederhana.
Dampak paling terasa datang dari pengalaman warga. Di kelurahan-kelurahan, petugas kini bekerja dengan sistem terpadu yang terhubung langsung dengan pusat data kota. Pengajuan administrasi tidak lagi menumpuk di meja, karena setiap dokumen bisa dilacak secara digital. Warga juga dapat memantau status permohonan melalui aplikasi Lontara+, yang terhubung dengan notifikasi real-time. Di banyak kasus, waktu penyelesaian layanan publik berkurang hingga separuhnya dibanding tahun sebelumnya.
Cerita kecil datang dari salah satu kelurahan di Kecamatan Panakkukang. Sebelum sistem digital diberlakukan, pengaduan kerusakan infrastruktur sering kali baru sampai ke dinas terkait setelah beberapa minggu. Kini, laporan warga yang masuk melalui Lontara+ otomatis terhubung dengan dashboard pengawasan kota. Laporan yang divalidasi segera dikirim ke dinas teknis, sementara warga menerima pembaruan status langsung di ponsel mereka. Mekanisme sederhana ini menciptakan rasa percaya yang baru antara pemerintah dan masyarakat.
Transformasi juga merambah ke bidang sosial dan ekonomi. Melalui integrasi data program bantuan, pemerintah bisa mengidentifikasi penerima manfaat secara lebih akurat. Ketika data kependudukan, pendidikan, dan sosial ekonomi disatukan dalam satu basis, penyaluran bantuan menjadi lebih tepat sasaran.
Meski banyak pekerjaan rumah, arah perubahan sudah jelas. Kota ini perlahan membangun ekosistem yang tidak terikat pada satu platform, melainkan pada filosofi open governance.
Setiap data yang dikumpulkan menjadi dasar kebijakan yang lebih cepat dan terukur. Proses perencanaan kota kini mengandalkan data visualization dashboard di War Room—menunjukkan tren kepadatan penduduk, kualitas udara, hingga kinerja anggaran harian.
Satu dekade lalu, konsep seperti ini mungkin terasa utopis untuk sebuah kota di luar Jawa. Kini, Makassar menjadikannya kenyataan.
Peringkat tinggi dalam Smart City Index dan SPBE adalah refleksi dari kerja sistemik yang dilakukan terus-menerus, bukan hasil sebuah proyek singkat.
Dalam lanskap perkotaan Indonesia, Makassar menjadi contoh bagaimana kepemimpinan lokal bisa mendorong inovasi dengan arah yang konsisten.
Munafri Arifuddin memposisikan teknologi sebagai bahasa baru dalam pelayanan publik, sementara birokrasi menyesuaikan diri dengan logika data dan akuntabilitas. Pemerintah kota tidak lagi hanya mengelola kota, tapi mengelola ekosistem digital yang hidup dan terus berevolusi.
Menariknya, transformasi ini juga mengubah cara warga memandang pemerintah. Ketika data terbuka dan pelayanan menjadi lebih cepat, rasa memiliki terhadap kota tumbuh. Warga bukan sekadar penerima layanan, tetapi bagian dari sistem yang ikut memelihara ketertiban, kebersihan, dan ekonomi lokal.
Di tingkat kebijakan, inisiatif Makassar Kota Sehat 2025 dan program inklusi bagi penyandang disabilitas juga dipantau melalui dashboard Lontara+. Data membantu pemerintah menilai efektivitas setiap program dan menyesuaikan kebijakan secara real time. Ini adalah bentuk baru dari pemerintahan adaptif, yang belajar dari data dan memperbaiki dirinya setiap hari.
Refleksi dari seluruh perjalanan ini menggambarkan bahwa kota cerdas bukanlah tujuan akhir, melainkan cara baru menjalani pemerintahan. Lontara+ menjadi bukti bahwa ketika data, teknologi, dan manusia bergerak bersama, birokrasi bisa menjadi lebih manusiawi.
Maka dari itu CNBC Indonesia menjadikan Makassar sebagai contoh nyata dari Urban Innovation & Smart Governance, sebuah kota yang belajar dari datanya, membangun sistem yang melayani warganya, dan menanamkan identitas digital yang berakar pada budaya lokal.
Penulis/ Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia | Grafis & Layout: Edward Ricardo | Foto: Faisal Rahman