Sampai saat ini, perang masih berlangsung. Mengutip Statista, jumlah korban jiwa perang Ukraina per 30 Mei 2022 mencapai 4.113 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 264 adalah anak-anak. Selain memakan korban jiwa, perang itu juga berdampak ke aspek ekonomi. Sebab, Rusia dan Ukraina merupakan produsen dan eksportir komoditas utama dunia. Migas, pertambangan, hingga pangan banyak berasal dari dua negara tersebut.

Perang membuat produksi dan distribusi berbagai komoditas itu terganggu. Plus, banyak negara yang memberlakukan embargo terhadap produk Rusia. Ini membuat pasokan komoditas dunia terganggu, seret.

Global supply chain terganggu akibat perang. Harga berbagai komoditas naik,

Tegas Margo Yuwono, Kepala Badan Pusat Statistik, dalam jumpa pers, Kamis (2/6/2022)

Sumber : BPS

Untuk meredam harga di tingkat domestik, lanjut Margo, sejumlah negara memberlakukan kebijakan restriksi ekspor. Dengan demikian pasokan di dalam negeri akan memadai sehingga harga bisa terkendali.

Terdapat 10 negara yang melakukan pembatasan ekspor pangan dan pupuk selama krisis Rusia-Ukraina. Enam negara membatasi ekspor pangan dan empat membatasi pupuk," 

Ungkap Margo

Hambatan produksi dan distribusi, kenaikan harga, serta kebijakan pembatasan ekspor komoditas membuat dunia usaha di berbagai negara kesulitan untuk mendapatkan bahan baku. S&P Global mencatat tekanan harga untuk biaya input masih berada di level tinggi dibandingkan historisnya.

Indeks Tekanan Harga Dunia (Global Price Pressure Index) mengindikasikan harga komoditas naik lima kali lipat dibanding kondisi normal. Harga semikonduktor, komponen elektronik, dan biaya transportasi masih di level tertinggi sepanjang sejarah pencatatan,

Sebut Laporan S&P Global

Oleh karena itu, dampak perang di Ukraina sudah menyebar ke mana-mana. Dunia sudah menjadi ‘korban’ perang Ukraina.

Sumber : S&P Global



Negara-negara Eropa sudah pasti terkena dampak paling instan dari konflik di Ukraina. Secara geografis, Eropa paling dekat dengan Rusia dan Ukraina.

UN COMTRADE mencatat, pada 2020 tujuan ekspor Rusia didominasi oleh negara-negara Eropa. Belanda, Inggris, Jerman, Belarusia, dan sebagainya adalah pasar utama produk Negeri Beruang Merah.

Begitu pula dengan Ukraina. Di posisi 10 besar, negara-negara tujuan ekspor Ukraina kebanyakan di Eropa.

Oleh karena itu, ketergantungan Eropa terhadap produk-produk Rusia dan Ukraina sangat tinggi. Apesnya, produk-produk itu adalah komoditas vital.

Di Belanda, misalnya, nilai impor Negeri Kincir Angin pada 2020 adalah US$ 524 miliar. Dari jumlah tersebut, paling besar adalah minyak mentah yaitu US$ 32,1 miliar (6,12%).

Celakanya lagi, sebagian besar impor minyak Belanda datang dari Rusia. Pada 2020, nilai impor minyak Belanda dari Rusia tercatat US$ 9,26 miliar atau 28,9%. Artinya, hampir sepertiga impor minyak Belanda adalah dari Rusia, jumlah yang signifikan.

Itu baru minyak, belum gas alam. Eurostat mencatat impor gas Uni Eropa pada 2020 paling banyak datang dari Rusia. Porsinya mencapai 43%.

Ambil contoh Jerman. Sebanyak 66,1% impor gas Negeri Panser datang dari Rusia. Angka yang luar biasa.

Perang membuat produksi dan distribusi komoditas-komoditas itu terhambat. Belum lagi Uni Eropa sudah memberlakukan sanksi embargo produk-produk Rusia.

Teranyar, Uni Eropa sepakat untuk melarang pengiriman minyak dari Rusia lewat jalur laut. Namun pengiriman melalui pipa masih diperbolehkan, untuk kepentingan negara-negara yang tidak memiliki garis pantai (landlocked) seperti Hungaria.

Embargo tersebut akan berlaku secara gradual. Pada akhir tahun ini, impor minyak dari Rusia ditargetkan turun 90%. Sisa 10% masih berlaku untuk Hungaria, Slowakia, dan Republik Ceska karena sulit menggantikan pasokan dari pipa Druzhba.



Efek perang Rusia-Ukraina tidak berhenti di Eropa. Negara-negara Asia pun kena getahnya.

Seperti halnya di Eropa, Benua Kuning juga terpapar dampak kenaikan harga komoditas akibat perang. Misalnya di produk pangan seperti gandum.

Pada musim 2021/2022, Rusia dan Ukraina masuk daftar 10 besar produsen gandum dunia. Rusia di peringkat empat, Ukraina nomor tujuh.

Di sisi ekspor, Rusia mengirim gandum sebanyak 37,3 juta ton pada 2020. Rusia menduduki peringkat pertama, sementara Ukraina ada di posisi kelima.

Negara-negara Asia jadi tujuan utama ekspor gandum, terutama buat Ukraina. Pada 2019, volume ekspor gandum Ukraina ke Asia adalah 17,69 juta ton. Dari jumlah tersebut, Indonesia jadi negara tujuan utama dengan volume 7,66 juta ton (43,3%).

Gara-gara perang, ekspor gandum Ukraina anjlok. Pada Mei 2022, ekspor biji-bijian Ukraina (termasuk gandum) tercatat 1,06 juta ton. Turun 2,8 juta ton dibandingkan Mei 2021.

Pasokan yang menipis membuat harga gandum melesat. Kini harga gandum dunia stabil di atas US$ 10/bushel.

Mahalnya harga gandum membuat harga produk turunannya ikut melambung. Gandum adalah bahan dasar pembuatan tepung terigu, dan komoditas ini sudah menjadi penyumbang inflasi di Ibu Pertiwi.

Margo Yuwono menyebutkan kenaikan harga gandum dan kedelai membuat tepung terigu memberikan andil ke inflasi Mei 2022 sebesar 0,008% dan tempe 0,0052%. "Jadi harganya ke domestik sudah terasa,” ujarnya.



Bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia juga sudah menjadi ‘korban’ perang Ukraina?

Sepertinya demikian. Di tengah perekonomian dunia yang makin terintegrasi, tanpa batas, apa yang terjadi di Ukraina tentu dirasakan hingga ke Indonesia.

Dampak itu terutama dirasakan oleh pelaku usaha. Seperti di negara lain, dunia usaha Ibu Pertiwi juga merasakan kesulitan mendapatkan bahan baku untuk produksi.

Pada Mei 2022, S&P Global melaporkan aktivitas manufaktur yang diukur oleh Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia berada di 50,8. Skor PMI di atas 50 menandakan dunia usaha masih berada di fase ekspansi.

Akan tetapi, laju ekspansi tersebut melambat. PMI manufaktur di 50,8 adalah yang terendah dalam sembilan bulan terakhir.

Menjelang kuartal II, pelaku usaha manufaktur memberi sinyal bahwa produksi mungkin akan turun sedikit. Penyebabnya adalah masalah pasokan bahan baku.

BPS juga memberi bukti bahwa perang Rusia-Ukraina telah merasuki dunia usaha. Inflasi di level produsen (Harga Perdagangan Besar/HPB) pada Mei 2022 tercatat 4,23% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Tertinggi sejak November 2018.

Semakin lamanya waktu pengiriman, ditambah dengan kenaikan harga, akan menjadi hambatan kinerja sektor manufaktur Indonesia,

tegas Jingyi Pan, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, dalam keterangan tertulis.

Di sisi industri, kenaikan terjadi di tepung terigu, daging sapi, dan mie kering instan. Bisa dikatakan sebagai respons harga di tingkat global. Harga bahan baku sudah mengalami kenaikan. Perkembangan harga global sudah merambat ke kita, walau masih di level HPB, belum sepenuhnya masuk ke harga konsumen,

jelas Margo Yuwono