Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut harga komoditas dunia melonjak tajam tahun ini akibat perang Rusia vs Ukraina. Ini menyebabkan inflasi meninggi sehingga mencatat rekor baru dan suku bunga bergerak naik. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi sangat mungkin melamba
Dalam konferensi pers APBN Kita edisi Mei 2022, Senin (23/5/2022), Bendahara Negara melaporkan harga berbagai komoditas dunia naik gila-gilaan. Gas alam naik 125,8% secara year-to-date (ytd), batu bara 166,1%, minyak brent 45,7%, minyak sawit mentah (CPO) 20,9%, gandum 55,6%, jagung 31,5%, kedelai 28,1%, dan biji-bijian 15,5%.
Harga komoditas akan mempengaruhi harga bahan baku di tingkat industri. Saat harga bahan baku makin mahal, harga jual ke konsumen akan ikut naik.
Akibatnya, inflasi menjadi masalah global. Di berbagai negara, inflasi meninggi dan mencatat rekor baru.
Brasil 12,1%, Amerika Serikat 8,5%, dan Inggris 9%. Ini inflasi tertinggi 40 tahun di negara-negara advanced. Kemudian Afrika Selatan 5,9% dan Australia 7,7%
papar Sri Mulyani
Saat suku bunga makin tinggi, maka biaya ekspansi rumah tangga dan dunia usaha menjadi lebih mahal. Hasilnya, pertumbuhan ekonomi sangat mungkin melambat,
Oleh karena itu, demikian Sri Mulyani, kini dunia dihadapkan kepada tiga tantangan sekaligus. Triple challenges itu adalah inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang melemah.
Ini akan mempengaruhi environment ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Harus kita waspadai
tegas Sri MulyaniSo, semenakutkan apa triple horror yang dikhawatirkan Sri Mulyani tersebut? Apakah sudah mulai bergentayangan di Indonesia?
Untuk membahas hal tersebut, mari simak Laporan Khas Tim Riset CNBC Indonesia sebagai berikut…
‘Horor’ pertama yang dikhawatirkan Sri Mulyani adalah inflasi. Ini adalah hal yang sangat lumrah, karena permintaan pasti meningkat seiring meredanya pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Saat pandemi sedang ganas-ganasnya, miliaran manusia terpaksa #dirumahaja. Bagi mereka yang masih punya penghasilan, uang itu sulit untuk dibelanjakan karena tidak bisa beraktivitas di luar rumah.
Pada 2021, rasio simpanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia mencapai 27,98%. Ini adalah yang tertinggi setidaknya sejak 1980.
Setelah pandemi mereda dan pembatasan sosial kian longgar, masyarakat kembali getol berbelanja. Di Indonesia, tingkat kunjungan ke tempat perbelanjaan ritel dan rekreasi sudah melebihi masa sebelum pandemi.
Oleh karena itu, sudah pasti inflasi bakal meninggi akibat tekanan permintaan (demand pull). Wajar jika inflasi jadi salah satu hal yang patut diwaspadai usai pandemi.
Namun kemudian ada perkembangan lain. Pada 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan serangan ke Ukraina. Serangan yang disebut Putin sebagai operasi militer khusus, tetapi dicap sebagai invasi oleh negara-negara Barat.
Perang kemudian melahirkan kompleksitas baru. Rusia dan Ukraina adalah penghasil utama sejumlah komoditas, apakah itu migas, pertambangan, hingga pangan. Perang tentu membuat produksi dan distribusi komoditas-komoditas tersebut terganggu sehingga pasokan berkurang.
Plus, sejumlah negara juga memberlakukan sanksi terhadap Rusia. Embargo terhadap produk-produk Negeri Beruang Merah membuat pasokan semakin seret.
Hasilnya jelas, harga berbagai komoditas naik. Komoditas ini akan menjadi bahan baku untuk barang jadi yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari. Misalnya, harga minyak mentah yang tinggi membuat harga bahan bakar minyak (BBM) ikut melambung.
‘Horor’ inflasi ini adalah cerita yang utuh, lengkap di dua sisi. Permintaan tinggi, biaya produksi juga tinggi. Tidak hanya demand pull, tetapi juga cost push.
Banyak pihak awalnya memperkirakan tekanan inflasi hanya sementara, hanya karena permintaan yang meningkat usai pandemi. Namun dengan perang di Ukraina yang berkepanjangan, mungkin pandangan itu harus dikaji ulang.
Saya rasa kita semua harus mulai terbiasa. Ini (tekanan inflasi) bisa saja bukan yang terakhir. Saya sudah berhenti berpikir bahwa inflasi hanya bersifat sementara (transitory)
tegas Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), sebagaimana diwartakan Reuters.Dalam banyak literatur ekonomi, inflasi adalah sebuah fenomena moneter. Inflasi adalah berkurangnya nilai uang. Kemarin uang sekian bisa membeli lebih banyak barang dan jasa dibandingkan hari ini.
Oleh karena itu, fenomena inflasi juga harus disikapi melalui kebijakan moneter. Salah satunya dengan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga akan menyerap likuiditas dari perekonomian, sehingga uang yang beredar tidak terlalu banyak dan nilai tukarnya lebih terjaga.
So, sangat bisa dipahami banyak bank sentral yang memilih jalan pengetatan kebijakan moneter untuk melawan inflasi. Baik di negara maju maupun berkembang, kenaikan suku bunga acuan sudah terjadi.
Namun yang paling menyedot perhatian tentu di AS. The Federal Reserve/The Fed, bank sentral Negeri Stars and Stripes, diperkirakan menaikkan suku bunga acuan hingga tujuh kali selama tahun ini.
Kami sangat mengerti bahwa inflasi sangat menyakitkan. Kami siap melakukan lebih jika data memungkinkan
tegas Jerome ‘Jay’ Powell, Ketua The Fed, seperti dikutip dari ReuetrsTidak hanya The Fed, bank sentral di negara-negara lain juga sudah menaikkan suku bunga acuan. Inggris, India, Korea Selatan, Brasil, dan sebagainya memilih untuk mengerek suku bunga acuan untuk meredam ekspektasi inflasi.
Jadi, iklim suku bunga tinggi sudah tidak bisa terhindarkan lagi. Indonesia juga tidak imun dari tren ini.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Mei 2022, Bank Indonesia (BI) memang masih mempertahankan suku bunga acuan di 3,5%. BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah bertahan 15 bulan beruntun, dan masih menjadi suku bunga terendah sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Akan tetapi, pada akhirnya BI tidak akan bisa menahan lagi. Tekanan inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah akan membuat BI harus mulai menaikkan suku bunga acuan.
Radhika Rao, Ekonom DBS, menilai masih ada ruang untuk mempertahankan suku bunga. Inflasi domestik memang meninggi, tetapi relatif terkendali karena harga Pertalite dan Elpiji 3 kg belum naik.
BI sudah menyatakan akan menunggu langkah pemerintah mengenai harga BBM. Jadi, mungkin sebagai awalan BI akan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) lagi sebelum mengubah arah dan menaikkan suku bunga acuan
sebut Radhika dalam risetnyaKenaikan suku bunga acuan, lanjut Radhika, kemungkinan baru terjadi paling cepat Juni. Ini akan didahului oleh perubahan posisi (stance) dari mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi menjaga stabilitas.
“Dengan inflasi inti yang semakin kuat dan aset-aset di pasar keuangan mendapat tekanan, kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sebanyak 75 bps tahun ini,” tulis Radhika.
Helmi Arman, Ekonom Citi, memperkirakan BI juga masih bisa menahan suku bunga acuan lebih lama. Menurutnya, mungkin BI baru menaikkan suku bunga acuan pada akhir kuartal III-2022.
Data pertumbuhan ekonomi dan inflasi terbaru tidak mengubah perkiraan kami. Kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada akhir kuartal III karena saat itu inflasi akan menembus batas atas target 4%
sebut Helmi dalam risetnyaNamun, Helmi menilai kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate tidak akan selesai tahun ini. Bahkan tahun depan kenaikannya bakal lebih banyak.
“Seiring dengan pemulihan ekonomi yang menyebabkan tekanan di transaksi berjalan (current account), kenaikan suku bunga acuan akan banyak terjadi pada 2023,” tambah Helmi.
Kenaikan suku bunga memang dianggap jadi obat mujarab untuk menjinakkan inflasi. Namun harga yang harus dibayar dari suku bunga tinggi tidaklah murah.
Ketika suku bunga acuan naik, pada gilirannya akan ikut mengerek biaya dana (cost of fund) perbankan. Saat biaya dana naik, maka suku bunga kredit akan ikut naik.
Suku bunga kredit yang lebih tinggi akan membuat biaya ekspansi rumah tangga dan dunia usaha akan lebih mahal. Permintaan kredit akan berkurang karena khawatir dibebani bunga tinggi. Dengan demikian, konsumsi dan investasi akan terpukul.
Ini yang kemudian menjelma menjadi ‘horor’ yang terakhir dan paling ditakuti. Perlambatan ekonomi atau bahkan sampai resesi adalah risiko yang semakin nyata.
Di AS, omongan soal resesi ekonomi makin mengemuka. Menurut kajian Morgan Stanley, ada kemungkinan 25% Negeri Adikuasa mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan.
Bank of America Corp baru-baru ini mengungkapkan bahwa pihaknya melihat risiko resesi masih rendah. Namun risiko itu akan meningkat pada 2023.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah risiko resesi nyata adanya?
Kalau konsumsi dan investasi sampai terpukul, maka ekonomi Indonesia memang akan ‘pincang’. Sebab, dua pos ini adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB.
Suku bunga tinggi juga akan mempengaruhi anggaran negara. Beban bunga yang harus dibayar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan naik sehingga bisa mengurangi kemampuan ekspansi.
Namun, sepertinya resesi masih jauh dari Indonesia (semoga). Pelaku pasar memperkirakan ekonomi Indonesia masih tumbuh positif tahun ini, meski ada bejibun tantangan.
“Dengan aktivitas warga yang semakin normal, sektor jasa dan pariwisata akan pulih. Investasi juga akan tumbuh lebih tinggi pada semester II seiring peningkatan utilisasi produksi.
“Untuk keseluruhan 2022, kami memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5%. Sedikit lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yaitu 4,8%,” papar Helmi Arman.
Radhika Rao juga mengungkapkan rasa optimisme. Menurutnya, ekonomi Ibu Pertiwi bisa tumbuh setidaknya 4,8% tahun ini.
Permintaan akan tetap kuat seiring pembukaan aktivitas ekonomi, cakupan vaksinasi, dan kinerja perdagangan internasional akan menjadi pilar pendukung. Kami tetap mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di 4,8%
sebut RadhikaPenulis : Tim Riset CNBC Indonesia, Foto : CNBC Indonesia, AP Photo, Reuters
Key Visual : Edward Ricardo, Layout : Arie Pratama