x



K

Kenaikan harga barang-barang, terutama sembako, di Indonesia datang silih berganti. Ibarat jamur di musim hujan, Indonesia tidak pernah kehilangan cerita mengenai persoalan melambungnya harga-harga pangan.

Dalam empat bulan terakhir saja, atau sejak Desember tahun lalu, ada tiga komoditas yang harganya melonjak tajam karena sejumlah persoalan yakni cabai rawit merah, tempe/tahu, dan minyak goreng.

Sejumlah faktor menjadi pendorong mengapa harga-harga pangan di Indonesia kerap melonjak tajam. Ada faktor musiman, kebijakan, hingga faktor di luar kebiasaan.

Pada Desember lalu, harga cabai rawit merah sempat menyentuh Rp 125.000 per kg. Kenaikan harga lebih karena faktor musiman terutama karena musim hujan. Banyuwangi sebagai pemasok 40% cabai nasional mengalami kemunduran musim tanam karena tingginya curah hujan.

Harga tahu/tempe melonjak tajam karena merangkaknya harga kedelai di pasar internasional. Kementerian Perdagangan memperkirakan tahu dan tempe masih akan mahal hingga Juli mendatang.

Sementara itu, harga minyak goreng melambung karena "menghilangnya" komoditas tersebut dari pasaran.

Harga minyak goreng sudah melambung sejak Desember 2021 karena lonjakan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional. Merujuk data Refinitiv, Kamis (24/3/2022), harga CPO sudah melambung 59% selama setahun menjadi MYR 6.242 per ton. Harga CPO bahkan menembus rekor tertinggi pada 9 Maret 2022 di MYR 7.268 per ton.

Untuk menstabilkan harga minyak goreng, pemerintah, di Januari, kemudian mengambil kebijakan dengan memberikan subsidi sehingga harga minyak goreng dijual Rp 14.000 per liter.

Belum genap sebulan, pemerintah mengubah kebijakan dengan meminta produsen menjual minyak goreng dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) per 1 Februari. Namun, kebijakan tersebut juga kembali berganti. Mulai 16 Maret lau, pemerintah mengizinkan harga minyak goreng dijual sesuai mekanisme pasar.

Jauh sebelum lonjakan harga minyak goreng mewarnai lini masa, masyarakat Indonesia sudah kerap menghadapi kenaikan harga-harga yang meramaikan pemberitaan televisi, radio, maupun media cetak.

Pada 2008, minyak tanah sempat langka karena adanya disparitas harga yang terlalu tinggi dengan minyak mentah dunia. Juga, karena sedang masa transisi konversi ke Elpiji.

Pada Maret 2013, giliran harga bawang putih meroket dan menyentuh Rp 100.000 per kg karena pasokan impor terhambat. Pada awal 204, harga gula melambung sehingga komoditas tersebut menghilang dari toko-toko ritel.

Tidak melulu soal sembako, tarif angkutan udara meroket tajam pada akhir 2018 dan awal 2019. Tiket pesawat naik hingga 120% dan membuat pemerintah akhirnya mengubah sejumlah kebijakan, termasuk menerapakan batas bawah tarif.

Dengan negara berbentuk kepulauan, Indonesia kerap bermasalah dengan persoalan logistik sembako. Disparitas harga juga sangat terasa antar wilayah Barat dan Timur. Harga pangan akan melonjak jika pasokan dari satu pulau ke pulau lain terganggu seperti  pada kenaikan sayur mayur saat Gunung Sinabung meletus pada 2010 ataupun saat terjadi banjir di wilayah lain.

Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mengatakan biaya logistik di Indonesia masih di level 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau senilai Rp 1.820 triliun per tahun. Biaya tersebut menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Biaya logistik di Indonesia jauh lebih  tinggi  dibandingkan dengan Malaysia yang hanya 15%, serta AS dan Jepang masing-masing sebesar 10%.

Faktor musiman juga sangat menentukan pasokan pangan sehingga selalu ada kerawanan suplai seperti cabai rawit, tomat, ataupun bawang merah. Namun, melihat data, faktor kebijakan juga berpengaruh terhadap lonjakan harga seperti pada harga BBM, minyak goreng, hingga tarif angkutan.

Perang Rusia-Ukraina juga sudah melambungkan harga minyak mentah dunia sehingga harga BBM ikut naik. Hingga kini, harga BBM yang dijual PT Pertamina (Persero) masih jauh di bawah harga keekonomiannya. Namun, sinyal Pertamina akan menaikkan harga mendekati harga pasar sudah dilayangkan sejumlah pejabat.

Pertamina menjual harga BBM di bawah harga keekonomiannya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa batas atas BBM umum dalam hal ini RON 92 atau Pertamax mencapai Rp 14.526 per liter.

Harga tersebut merupakan cerminan dari harga keekonomian BBM berdasarkan formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis BBM Umum. Adapun harga Jual BBM RON 92 di SPBU saat ini bervariasi tergantung para Badan Usaha terkecuali Pertamax yang masih diharga Rp 9.000 per liter.

Perang Rusia-Ukraina juga sudah melambungkan harga minyak mentah dunia sehingga harga BBM ikut naik. Hingga kini, harga BBM yang dijual PT Pertamina (Persero) masih jauh di bawah harga keekonomiannya. Namun, sinyal Pertamina akan menaikkan harga mendekati harga pasar sudah dilayangkan sejumlah pejabat.

Pertamina menjual harga BBM di bawah harga keeonomiannya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa batas atas BBM umum dalam hal ini RON 92 atau Pertamax mencapai Rp 14.526 per liter.

Harga tersebut merupakan cerminan dari harga keekonomian BBM berdasarkan formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis BBM Umum. Adapun harga Jual BBM RON 92 di SPBU saat ini bervariasi tergantung para Badan Usaha terkecuali Pertamax yang masih diharga Rp 9.000 per liter.

Untuk harga BBM jenis umum memang ditetapkan badan usaha, yang penting tidak boleh melebihi batas atas yang ditetapkan yaitu Rp. 14.526 per liter untuk Maret 2022

by Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM


Menjelang Ramadhan, Indonesia juga akan menghadapi kenaikan harga musiman mulai dari sembako, makanan olahan, hingga tarif angkutan.

Seolah belum usai, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 % pada April diperkirakan juga akan meningkatkan harga sejumlah barang.

Pemerintah memang memastikan bahan pangan dasar yang dijual di pasar tidak akan dikenakan PPN seperti beras, jagung, garam konsumsi, telur, hingga susu. Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya juga diberikan fasilitas pembebasan PPN.

Sementara itu, barang yang dekat dengan masyarakat dan dipastikan naik dan dikenakan PPN 11% di antaranya adalah baju atau pakaian, sabun, tas, sepatu, pulsa, rumah, motor dan barang lainnya yang dikenakan PPN.

Piter mengatakan produk makanan olahan seperti biskuit dan minuman kemasan bisa naik harganya karena pengenaan PPN. Padahal, produk tersebut secara tradisi akan meningkat permintaanya saat Ramadhan.

Pasti naik semua, kalau ada satu barang naik, ujung-ujungnya semua naik. Second round effect akan ada

Survei Konsumen Bank Indonesia pada Februari 2022 mengindikasikan keyakinan konsumen lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya.. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2022 tercatat 113,1 sementara pada Januari ada di angka 119,6.

Penurunan disebabkan oleh ekspektasi terhadap kondisi ekonomi mendatang yang lebih terbatas, baik ekspektasi terhadap penghasilan, ketersediaan lapangan kerja maupun kegiatan usaha, meskipun masih berada pada area optimistis.


Ilustrasi Lawan Corona 
Foto : CNBC Indonesia/Arie Pratana

Bumi Pertiwi diguncang pandemi Covid-19 pada 2020 silam. Tak hanya kesehatan, seluruh kehidupan masayarakat indonesia berubah.

Dalam upaya menghentikan penyebaran virus corona, ekonomi menjadi ‘tumbal’. Indonesia untuk kali pertama mengalami resesi sejak 1998 akibat aktivitas dan mobilitas masyarakat yang ‘dikunci’.

Saat ini keadaan sudah jauh lebih baik. Indonesia kian jauh dari ‘hantu’ resesi. Ekonomi Nusantara perlahan bangkit. Dana Moneter Dunia (IMF) ‘menerawang’ ekonomi Indonesia akan tumbuh 6% pada 2023, yang jika terwujud merupakan rekor tertinggi sejak 2012.

Akan tetapi, Covid-19 masih meninggalkan ‘bangkai’ meskipun sudah lebih terkendali. Gara-gara pandemi, harga komoditas dunia beterbangan. Kok bisa?

Saat pandemi melanda Indonesia dan seluruh dunia, aktivitas bisnis baik manufaktur dan bisnis terhenti sebagai upaya menekan laju penyebaran. Ini membuat kapasitas produksi turun sehingga pasokan barang di pasar jadi berkurang. Di sisi permintaan, daya beli juga turun karena masyarakat menerima dampak pengurangan upah hingga pemecatan.

Vaksin kemudian jadi game changer. Vaksin diyakini jadi penangkal Covid-19. Dunia yang tadinya ‘digembok’ perlahan dibuka. Mobilitas meningkat, ekonomi bertumbuh, dan masyarakat pun kembali mendapatkan kekuatan untuk konsumsi dengan cepat.

Sayangnya, para produsen tidak mampu mengimbangi kecepatan konsumen karena pandemi telah membuat bisnis jatuh. Mengembalikan bisnis menjadi normal bukanlah hal mudah. Sehingga sisi produksi tertinggal.

Saat permintaan lebih tinggi dari produksi, barang di pasr menjadi terbatas atau langka. Maka harga kemudian melonjak. Efeknya bahkan dirasakan hingga kini.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks harga produsen telah melonjak dua kali lipat pada tahun 2021 dibanding rata-rata. Akibatnya harga barang-barang di pasar pun melonjak. Khususnya harga barang kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan juga sembako.

Lonjakan tersebut dipengaruhi oleh tingginya harga komoditas dunia, terutama sektor energi. Harga minyak dan minyak kelapa sawit memiliki andil dalam lonjakan harga. Selain itu rantai pasokan yang macet juga memperparah kendala pasokan. Jadi sudah barangnya langka, mahal pula (amsyong deh…).

Dampak langsung kenaikan harga minyak tidak terasa secara langsung karena adanya harga jual bahan bakar minyak (BBM) domestik yang masih murah. Namun, masalahnya Indonesia banyak mengiimpor barang dari China yang merupakan konsumen minyak terbesar di dunia. Sehingga harga barang impor made in China berpotensi melejit. Selain itu minyak juga digunakan sebagai bahan produksi untuk kimia seperti amonia untuk pupuk dan juga bijih plastik yang banyak dikonsumsi masyarakat.

Sementara minyak kelapa sawit mayoritas digunakan untuk minyak goreng. Harga yang melonjak nyatanya turut mendongkrak harga minyak goreng. Selain karena pasokan yang terbatas akibat produksi sawit yang belum pulih ditambah faktor cuaca membuat panen menjadi semakin sulit.

Harga komoditas tersebut berpotensi kian melambung karena adanya serangan Rusia dan Ukraina. Saat ini harga minyak dunia pun sudah diperdagangkan di atas US$ 120/barel. Harga minyak kelapa sawiit diperdagangkan di MYR 6.027/ton. Keduanya telah naik 55,19% dan 28% sepanjang tahun 2022.

Sumber : Refinitiv

Selain itu, harga pupuk, bijih-bijihan dan sereal juga melonjak sehingga membuat harga pangan turut menanjak. Indonesia patut was-was karena untuk impor pupuk dan sereal. Sebab Indonesia mengimpor langsung dari Rusia dan Ukraina. Indonesia mengimpor pupuk dari Rusia dengan besaran 14,8% dari total impor. Sementara dari Ukraina, Indonesia mengimpor serealia dengan besaran 23,7% dari total impor.

Indonesia saat ini ibarat keluar lubang, masuk jurang. Covid-19 mulai terkendali, perang di Ukraina malah menghantui.



Ilustrasi Penjual Sembako
Foto : CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Pada 2021 perekonomian Indonesia sudah mampu pulih dari kemerosotan akibat pandemi Covid-19. Belum banyak negara yang mampu membawa perekonomiannya kembali ke pra-pandemi. Berdasarkan rilis Kementerian Keuangan, melihat indeks Produk Domestik Bruto (PDB) riil, hanya ada Amerika Serikat (AS), China, Singapura, dan Korea Selatan yang juga sudah pulih.

Kinerja pertumbuhan global yang sudah rilis, Indonesia menjadi salah satu negara yang sudah kembali ke level sebelum pandemi, bersama Singapura, AS, Korsel dan China

by Abdurohman, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan

Sumber : Bloomberg, Data per 15 Februari, diolah 

Indeks ini menggunakan PDB 2019 sebagai tahun dasar dengan angka 100. Pada 2021, indeks PDB riil Indonesia tercatat sebesar 101,6, yang berarti sudah lebih tinggi dari sebelum pandemi.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai PDB atas dasar harga berlaku pada 2021 sebesar Rp 16.970,8 triliun, lebih tinggi ketimbang 2019 yakni Rp 15.833,9 triliun.

Dengan pulihnya perekonomian artinya demand pun mengalami peningkatan. Namun di sisi lain supply masih belum siap, masalah rantai pasokan hingga kenaikan harga komoditas energi akibat perang semuanya memicu kenaikan harga-harga.

Harga makanan maupun sembako belakangan menjadi sorotan, minyak goreng khususnya yang mengalami kenaikan tajam meski penyebab utamanya adalah mahalnya harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Kenaikan harga sembako bisa semakin terakselerasi di April karena merupakan bulan Ramadan, yang secara musiman memang tidak bisa dihindari.

Dalam 10 tahun terakhir misalnya, inflasi selalu terjadi menjelang dan saat bulan Ramadan. Kecuali 2020 saat pandemi Covid-19 melanda, inflasi saat bulan Ramadhan selalu lebih tinggi dari bulan sebelumnya (month-to-month), sebelum akhirnya menurun.

Kenaikan harga sembako tentunya bisa berkontribusi besar terhadap inflasi di Indonesia.  Pada 2021, inflasi di Indonesia tumbuh 1,87%, dengan makanan, minuman dan tembaku memiliki andil sebesar 0,79%, terbesar dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya.

Pada 2020 lalu, sumbangsih kelompok makanan, minuman dan tembakau bahkan lebih besar lagi, yakni 0,91%, saat inflasi hanya tumbuh 1,68%.

Selain itu, kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) juga bisa memicu kenaikan inflasi yang tinggi. Pada 2013, misalnya, kombinasi kenaikan harga BBM plus faktor musiman bulan Ramadan membuat inflasi di bulan meroket lebih dari 3% (mtm) pada Juli dan nyaris 8% jika dibandingkan Juli 2012 (year-on-year/yoy).

Pada saat itu, pemerintah menaikkan harga BBM Premium RON 88 menjadi Rp 6.500/liter pada 22 Juni 2013, dari sebelumnya Rp 4.500/liter. Harga BBM diesel alias Solar juga naik Rp 1.000 menjadi Rp 5.500/liter.

Tahun ini, pemerintah sudah dua kali menaikkan harga BBM non-subsidi. PT Pertamina (Persero) pada 3 Maret 2022 menaikkan harga untuk tiga jenis produk BBM non subsidi, yakni Pertamax Turbo (RON 98), Dexlite (Cetane Number/CN 51), dan Pertamina DEX (CN 53). Hal yang sama dilakukan pada 12 Februari lalu.

Adapun kenaikan harga jual ketiga jenis BBM Pertamina per 3 Maret 2022 ini di kisaran Rp 500 - Rp 1.000 per liter

Untuk Pertamax (RON 92) masih belum mengalami kenaikan, tetapi tidak menutup kemungkinan akan terkerek juga. Sebab, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa batas atas BBM umum dalam hal ini RON 92 atau Pertamax mencapai Rp 14.526 per liter. Sementara saat ini harga Pertamax masih Rp 9.000/liter.

Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengakui bahwa harga keekonomian bensin Pertamax memang ada gap yang cukup besar.

"Memang ada gap besar. Kami masih me-review dan juga berkoordinasi dengan stakeholder," terang Irto kepada CNBC Indonesia, Senin (21/3/2022).

Sementara iu Pertalite (RON 90), dipastikan tidak mengalami kenaikan.

"Pemerintah tetap menjaga harga BBM Pertalite sebesar Rp 7.650 per liter, karena paling banyak dikonsumsi masyarakat," terang Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agung Pribadi, Senin (21/3/2022).

Inflasi Bisa Tembus 4%

Inflasi di Indonesia saat ini masih memang masih rendah, yang tentunya bisa menjaga daya beli masyarakat. Tetapi di tahun ini diperkirakan akan melesat naik 2 kali lipat.

BPS di awal bulan Maret melaporkan inflasi secara tahunan pada bulan Februari sebesar 2,03%. Sementara inflasi inti yang tidak memasukkkan item volatil tumbuh 2,06% (yoy).

Pertumbuhan inflasi tersebut berada di batas bawah target Bank Indonesia (BI) sebesar 3% plus minus 1%, begitu juga dengan asumsi makro di APBN 2022.

Dengan mulai menanjak harga-harga, inflasi di tahun ini diperkirakan bisa mencapai 4%. Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan dampak kenaikan BBM ke inflasi akan sangat bergantung pada besaran kenaikannya. Dalam hitungan Bank Danamon, setiap kenaikan Rp 500 per liter bisa mendorong inflasi hingga 0,69 percentage points (pcp) dari asumsi awal.

"Kenaikan Rp 1.000 per liter bisa berdampak 1,44 pcp ke baseline dan bila naik Rp 2.000 bisa hingga 2,62 pcp," tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.

Irman memperkirakan inflasi pada akhir tahun bisa mengarah ke 4% bila tanpa kenaikan harga BBM. 

"Jika (BBM) dinaikkan dapat berpotensi lebih tinggi di berbagai skenario tersebut," tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan, Ekonom Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, yang melihat inflasi bisa mencapai 4%. Selain kenaikan harga BBM, PPN serta cukai rokok juga menjadi penyumbang inflasi tahun ini.

"Inflasi Indonesia dari prediksi awal untuk rata-rata 2,4% tahun ini kemungkinan besar melonjak jadi 4%," kata Enrico dalam program PROFIT CNBC Indonesia 9 Maret lalu.

"Kita harus lihat sumber inflasi, dampak PPN termasuk kenaikan cukai rokok 0,3-0,5%. Dampak hari raya dan lebaran cukup signifikan," terangnya

Kalau kemarin itu kita ada di range (3% minus 1%), di 2%. Mungkin kita akan di 3% plus 1% ada di 4%. Ini tadi karena tekanan dari luar yang luar biasa. Insyaallah akan tetap terjaga di 3% plus minus 1%,

by Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan


Pembagian Takjil Drive Thru
Foto : CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Bulan suci umat muslim sudah di depan mata. Meski demikian harga beberapa bahan kebutuhan pokok nyatanya masih belum stabil di pasar.

Bulan puasa memang identik dengan naiknya harga kebutuhan dan peningkatan laju inflasi, salah satunya tentu diakibatkan oleh permintaan yang lebih tinggi dari masyarakat yang sedang merayakan bulan puasa.

Menilik ke belakang, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, selama bulan puasa laju inflasi selalu naik dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Laju tersebut juga langsung turun tepat ketikan bulan puasa dan perayaan lebaran selesai.

Inflasi tertinggi terjadi selama bulan puasa 2013, di mana tingkat kenaikannya mencapai lebih dari 3% dibanding bulan sebelumnya. Sementara pada tahun-tahun lainnya, inflasi berada di kisaran lebih kecil dari 1%, dengan pengecualian pada 2020 di mana laju inflasi mengalami perlambatan akibat pandemi.

Kenaikan harga sembako salah satu yang berkontribusi besar terhadap inflasi di Indonesia, termasuk yang terjadi selama bulan puasa.  Sepanjang tahun lalu, inflasi di Indonesia tumbuh 1,87%, dengan makanan, minuman serta tembakau memiliki andil sebesar 0,79%, terbesar dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya. Sementara pada 2020, sumbangsih kelompok tersebut bahkan lebih besar lagi, yakni 0,91%, saat inflasi hanya tumbuh 1,68%.

Selama hiruk pikuk bulan puasa, pemerintah tentu menerapkan berbagai cara demi mengendalikan harga kebutuhan pokok tidak mengalami kenaikan signifikan yang pada akhirnya menekan kelompok ekonomi lemah. Akan tetapi, tidak semuanya sesuai harapan karena beberapa kebutuhan pokok nyaris selalu meningkat tajam selama bulan puasa.

Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang tersedia mulai 2018, setidaknya pemerintah mampu mengendalikan enam dari sepuluh komoditas yang disurvei.

Dalam empat tahun terakhir, secara nasional, rata-rata harga beras, bawang merah, bawah putih, cabai merah, cabai rawit, dan gula selama bulan puasa cenderung stabil atau turun dari harga rata-rata di bulan sebelumnya.

Penurunan tajam – kecuali bawang merah yang meningkat 18,9% – terjadi sepanjang 2020.

Sementara itu terdapat empat kebutuhan pokok utama lainnya, yang dalam empat tahun terakhir cenderung mengalami kenaikan. Komoditas tersebut adalah daging sapi, daging ayam, telur dan minyak goreng.

Permintaan tinggi untuk jenis protein hewani memang menjadi ritual selama bulan puasa atau menjelang lebaran, hal ini pada akhirnya mendongkrak harga daging dan telur di pasar.

Minyak goreng yang hingga saat ini harganya masih relatif tinggi juga berpeluang kembali naik – jika tidak ada upaya pengendalian tambahan dari pemerintah – dalam beberapa waktu ke depan, berkaca dari data historis selama empat tahun ke belakang.

Kenaikan harga kebutuhan pokok tentu, pada akhirnya menambah beban dan tekanan terhadap pengeluaran rumah tangga.

Menggunakan data BPS tahun acuan 2018 untuk rata-rata konsumsi per kapita 10 macam bahan makanan di atas, maka diketahui selama bulan puasa, masyarakat Indonesia harus merogoh kocek lebih dalam untuk pengeluaran makanan dibandingkan sebulan sebelum puasa.

Kecuali 2020 atau selama pandemi di mana pengeluaran tercatat turun, karena sebagian besar harga bahan kebutuhan pokok juga tidak naik seganas tahun-tahun lain. Hal ini tentu tidak terlepas dari fakta bahwa tahun 2020 Indonesia mengalami resesi. Perputaran uang yang lebih sedikit dengan bisnis yang cenderung loyo pada akhirnya pasti ikut menekan permintaan masyarakat.

Kenaikan pengeluaran tertinggi terjadi pada 2018, yang mana selama bulan puasa setiap orang harus menambah Rp 22.863 untuk konsumsi bahan makanan. Artinya jika satu unit keluarga terdiri dari empat orang – suami istri dan dua orang anak – maka selama bulan puasa akan terdapat tambahan pengeluaran Rp 91.452.

Meski sepanjang bulan puasa 2020 pengeluaran per kapita turun Rp 6.531, tahun lalu pengeluaran kembali naik Rp 5.008 akibat perekonomian yang mulai pulih.

Jika berkaca pada data historis dan kondisi ekonomi Indonesia yang terus mengalami ekspansi setelah resesi akibat pandemi Covid-19, maka puasa tahun ini kemungkinan harga bahan kebutuhan pokok utama akan mengalami kenaikan dan memberikan tekanan tambahan bagi pengeluaran konsumsi makanan rumah tangga.



Sembako murah di Pasar Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Sabtu, 21/3. Kegiatan ini sebagai antisipasi panic buying dan pengendalian harga pangan saat mewabahnya corona.
Foto : CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Memasuki 2022, optimisme terhadap prospek ekonomi yang cerah membahana. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) semakin terkendali sehingga harapan menuju endemi terbayang nyata. Hidup bakal normal lagi setelah dua tahun ‘dikunci’.

Namun ternyata pandemi masih mengancam. Kemunculan varian Omicron membuat kasus positif corona kembali meninggi. Bahkan menyentuh rekor tertinggi, termasuk di Indonesia.

Plus, sekarang bukan cuma virus corona yang menebar ancaman. Setelah menggertak beberapa saat, Rusia benar-benar melancarkan serangan ke Ukraina. Pengerahan pasukan Rusia ke Ukraina menjadi yang terbesar sejak Perang Dunia II.

Namanya perang, pasti ada korban. Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (OHCHR) mencatat, korban jiwa dalam konflik ini mencapai 925 orang per 20 Maret 2022. Dari jumlah tersebut, 75 di antaranya adalah anak-anak.

Dampak perang Rusia-Ukraina menyebar ke mana-mana. Ekonomi juga kena getahnya.

Amerika Serikat (AS) telah memberlakukan sanksi larangan membeli minyak dari Negeri Beruang Merah. Padahal Rusia adalah salah satu pemain utama industri minyak dunia.

International Energy Agency mencatat, Rusia adalah eksportir minyak mentah kedua terbesar di dunia, hanya kalah dari Arab Saudi. Namun untuk minyak secara keseluruhan (dengan produk-produk turunannya), ekspor Rusia adalah nomor satu dunia.

Pada 2021, ekspor minyak Rusia tercatat 7,8 juta barel/hari. Terbanyak adalah minyak mentah dan kondensat 5 juta barel/hari, atau 64% dari total ekspor.

Kemudian ekspor produk minyak Rusia tahun lalu adalah 2,85 juta barel/hari. Terdiri dari 1,1 juta barel/hari gasoil, 650.000 barel/hari bahan bakar minyak, dan 500.000 barel/hari naphta, 280.000 barel/hari vacuum gas oil (VCO). Plus liquefied petroleum gas (LPG), avtur, dan petroleum coke dengan total 350.000 barel/hari.

Sayangnya, minyak masih menjadi sumber energi utama yang menggerakkan ekonomi dunia. Begitu minyak dari Rusia susah masuk ke pasar, otomatis harga naik dan kemudian mengerek biaya produksi dunia usaha. Saat harga minyak naik, harga bahan baku dan logistik pasti ikut terungkit.

Ini pun terasa di Indonesia. Pada Januari 2022, inflasi di tingkat produsen (Indeks Harga Perdagangan Besar/IHPB) mencapai 3,11% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Ini adalah yang tertinggi sejak Desember 2018.

Biaya yang dibayarkan dunia usaha meningkat dan lebih tinggi dari rata-rata. Tingginya harga bahan baku dilaporkan terjadi di seluruh sektor usaha manufaktur yang kemungkinan akan diteruskan ke konsumen,

laporan IHS Markit

Tidak cuma harga minyak, komoditas pangan pun mengalami lonjakan harga. Gandum menjadi contohnya. 

Rusia dan Ukraina adalah produsen gandum utama dunia, keduanya berada di peringkat 10 besar. Perang tentu akan mengganggu produksi dan distribusi gandum. Belum lagi ada sanksi terhadap ekspor Rusia, situasi menjadi semakin runyam.

Buat Indonesia, gandum ini bisa jadi persoalan. Produk Ukraina yang banyak didatangkan di Indonesia pada 2021 adalah serealia, yang mencakup gandum, dengan nilai US$ 946,5 juta. Diikuti oleh besi dan baja (US$ 53,3 juta) serta mesin dan peralatan mekanis (US$ 10,9 juta).

Untuk Januari-Februari 2022, komposisinya masih sama. Serealia masih dominan dengan nilai impor US$ 15,7 juta. Kemudian ada besi dan baja (US$ 15 juta) serta mesin dan peralatan mekanis (US$ 0,2 juta).

Khusus serealia, Ukraina adalah salah satu pemasok terbesar di Indonesia. Tahun lalu, serealia dari Ukraina menyumbang 23,23% dari total nilai impor komoditas tersebut. Nomor dua, hanya kalah dari Australia.

Jadi saat harga gandum melonjak gara-gara konflik di Ukraina, maka jangan kaget kalau harga sejumlah kebutuhan pokok bakal ikut naik. Dalam beberapa waktu ke depan, mungkin harga mie, roti, dan sereal akan terkerek.


Kami memperkirakan harga roti, sereal, dan mie instan akan naik, atau setidaknya ukurannya bakal menyusut seperti tahu dan tempe saat harga kedelai naik

sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.

Bicara soal tahu-tempe, harga dua makanan wong cilik ini juga kemungkinan bakal naik. Atau, seperti kata Satria, minimal ukurannya menciut. Soalnya, harga kedelai pun ikut naik. Bukan sembarang naik, tetapi tembus rekor baru. 

Pada Selasa (22/3/2022), harga kedelai di Chicago Board of Trade tercatat US$ 17,14/bushel. Ini adalah yang tertinggi setidaknya sejak 2019.


Di Indonesia, tahu dan tempe adalah makanan rakyat jelata. Makanan sederhana, sama sekali tidak fancy. Namun siapa sangka, bahan baku utama tahu-tempe, yaitu kedelai, banyak yang didatangkan dari luar negeri.

Mengutip laporan Outlook Kedelai 2020 terbitan Kementerian Pertanian, produksi kedelai Tanah Air cenderung turun. Pada 2015-2019, produksi kedelai nasional terlihat mengkhawatirkan karena terus menurun cukup signifikan sebesar 37,33% pada 2017 dari tahun sebelumnya yang juga turun 10,75%.

Sedihnya, laporan Kementerian Pertanian mengakui bahwa Indonesia semakin tergantung terhadap kedelai impor. Selama periode 2015-2019, tingkat ketergantungan impor (Import Dependency Ratio/IDR) ada di 78,44%.

Gara-gara perang, harga minyak, gandum, sampai kedelai melonjak tajam. Ini tentu bakal dirasakan oleh Indonesia dalam bentuk percepatan laju inflasi.

Kenaikan harga komoditas menyebabkan tambahan biaya impor yang kemudian diterjemahkan menjadi harga di tingkat konsumen. Kami memperkirakan inflasi Indonesia tahun ini berada di kisaran 3% dengan risiko kenaikan 50-70 bps

sebut Riset DBS

Inflasi 3% kalau dibandingkan dengan AS yang sudah mencapai lebih dari 7% memang kelihatan tidak ada apa-apanya. Namun inflasi 3% buat Indonesia adalah yang tertinggi sejak 2019.

Oleh karena itu, inflasi adalah ancaman yang amat sangat nyata sekali buat Indonesia. Untuk memerangi inflasi, tugas ini paling pantas diemban oleh Bank Indoesia (BI).

Agar laju inflasi melambat, maka aktivitas ekonomi juga harus diperlambat. Selama ekonomi berputar cepat, maka pendapatan masyarakat akan meningkat sehingga mampu membeli barang dan jasa meski dengan harga yang lebih tinggi.

Caranya adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Ketika suku bunga acuan naik, maka biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga dan dunia usaha akan lebih mahal. Ekspansi ekonomi melambat, permintaan pun melambat. Hasilnya tekanan inflasi diharapkan mereda.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Maret 2022, Gubernur Perry Warjiyo dan kolega sepakat untuk mempertahankan suku bunga acuan di 3,5%. BI 7 Day Reverse Repo Rate sudah bertahan di titik itu lebih dari setahun.

BI kemungkinan masih mempertahankan posisinya hingga pertengahan tahun, saat risiko inflasi lebih nyata yaitu saat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mungkin sudah naik. Kemungkinan akan ada satu kali kenaikan pada kuartal III-2022 dan dua kali pada kuartal berikutnya sehingga pada akhir tahun BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 4,75%

lanjut Laporan DBS

Itu dari sisi bank sentral. Buat pemerintah, apa pekerjaan rumah yang bisa dilakukan untuk meredam kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok?

Kalau kebijakan moneter adalah untuk membendung laju inflasi dari sisi permintaan (demand-pull), maka kebijakan fiskal bisa ‘bermain’ di sisi penawaran (cost-push). Caranya adalah memberikan insentif agar harga jual ke konsumen bisa lebih terjangkau. 

Ini bisa dilakukan dengan operasi pasar untuk barang-barang tertentu seperti minyak goreng, beras, gula, dan sebagainya. Atau pemerintah memberikan insentif untuk menjaga harga jual ke konsumen bisa tetap murah.

Contoh di Korea Selatan. Pemerintah Negeri Ginseng memutuskan untuk memperpanjang potongan pajak BBM hingga 20% sampai Juli tahun ini.

Kebijakan tersebut diberlakukan selama enam bulan November 2021-April 2022 tetapi kemudian diperpanjang tiga bulan ke depan pada periode Mei-Juli 2022. Dikutip dari The Korea Herald, potongan pajak hingga 20% akan membuat harga bensin lebih murah KRW 164 per liter atau sekitar Rp 1.936 per liter (asumsi KRW 1 sama dengan Rp 11,18 rupiah). 

Kemudian di Malaysia, pemerintah Negeri Harimau Malaya menyiapkan subsidi sebesar MYR 600 juta atau sekitar Rp 2,05 triliun tahun ini untuk program COSS (Program Skim Rasionalisasi Minyak Masak) yang digunakan untuk menyediakan minyak goreng bersubsidi sebanyak 60.000 ton sebulan.

Dengan subsidi tersebut, Malaysia membanderol minyak goreng subsidi dengan harga MYR 2,5 atau sekitar Rp 8.850 per liter (MYR 1 setara dengan Rp 3,420) meskipun harga minyak sawit mentah (CPO) sudah melambung.



Perang Rusia-Ukraina Pecah, Warga Dunia Demo Putin
Ilustrasi : CNBC Indonesia/Arie Pratama

Indonesia bukanlah pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam konflik Ukraina versus Rusia. Pemerintah sejauh ini juga bersikap netral, tak memihak salah satu pihak. Namun, tetap saja kita terkena getahnya.

Di atas kertas, neraca dagang antara Indonesia dengan Rusia tidaklah besar, dengan surplus perdagangan US$ 239,79 juta (setara Rp 3,5 triliun) sepanjang tahun lalu. Total ekspor Indonesia ke Rusia hanya 0,65% dari keseluruhan ekspor, sementara porsi impor 0,64%.

Di sisi lain, perdagangan Indonesia dengan Ukraina justru boncos, dengan defisit senilai US$ 623,89 juta. Porsi ekspor Indonesia ke sana hanya 0,18% sementara porsi impor kita sebesar 0,53%.

Sumber : BPS

Dari sisi investasi, Indonesia juga tak terlalu tergantung. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan nilai investasi langsung (foreign direct investment/FDI) Rusia di Indonesia adalah US$ 23,21 juta, sementara investasi dari Ukraina hanya US$ 1,6 juta.

Namun Indonesia tetap terkena pukulan yang timbul akibat perang tersebut, berupa kenaikan harga komoditas, baik energi, logam, maupun pertanian. Kenaikan harga komoditas logam masih terbilang positif karena mendongkrak penerimaan negara dari eksportir nikel, timah dkk.

Pukulan lumayan berimbang dirasakan dari kenaikan harga komoditas energi, mengingat Indonesia juga penghasil minyak, gas, dan batu bara sehingga kenaikan harga juga mendongkrak penerimaan negara meski secara bersamaan memperberat alokasi kompensasi BBM (dan kemungkinan tarif listrik).

Pukulan paling buruk terjadi dalam kasus komoditas pertanian. Kita semua sempat melihat ironi bagaimana Indonesia yang dikenal sebagai produsen utama sawit dunia menghadapi kelangkaan minyak goreng sawit. Setelah harga dilepas mengikuti mekanisme pasar, alias naik, komoditas pangan lain juga harganya merangkak naik seperti tempe (kedelai), minyak kelapa, gula, dll.

Situasi ini mengafirmasi rentannya ketahanan pangan di Indonesia. Sebagai negara hujan hutan dengan keragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil, Indonesia dianugerahi tanah yang subur dan semestinya memberikan keunggulan untuk pengembangan produk pangan.

Namun data menyebutkan bahwa ketahanan pangan Indonesia justru berada di level yang rendah, dengan skor hanya 59,2 di Indeks Ketahanan Pangan Dunia di bawah Filipina (60), Vietnam (61,1) dan Arab Saudi (68,1) yang gersang.

Skor tersebut hanya bisa membawa Indonesia di posisi ke 69, dari 113 negara yang dinilai berdasarkan keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan (availability), kualitas dan keamanannya (quality and safety) dan kekuatan daya dukung lingkungan (natural resources and resilience).

Analisis soal buruknya ketahanan pangan Indonesia tersebut diperkuat penelitian lain mengenai ketercukupan stok beras di Indonesia sebagai makanan pokok nasional, yang bahkan sudah diakui oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Tokoh ulama tersebut mengungkapkan kemampuan bertahan cadangan pangan di Indonesia saat ini hanya 21 hari, jika mengacu pada 1,7 juta ton cadangan beras untuk 271 juta penduduk. Angka itu masih lebih rendah dari Vietnam yang ketahanan pangannya 23 hari.

"Kilas balik data ketahanan pangan menyebutkan bahwa kemampuan bertahan cadangan pangan Indonesia pada tahun 2020 hanya sekitar 21 hari. Jadi sebenarnya kita cuma bisa mampu bertahan 21 hari, kalau tidak ada supply," tuturnya dalam peluncuran digitalisasi pertanian di Pondok Pesantren Al-Ittifaq, Bandung, Jawa Barat, Selasa (22/3/2022).

Lebih lanjut, Ma'ruf menjelaskan angka Indonesia terkait ketahanan pangan terpaut jauh dengan Thailand yang memiliki ketahanan pangan 143 hari.

India 151 hari, China agak lama 681 hari, Amerika 1.068 hari. Ini data dari Departemen pangan Amerika Serikat

by Ma'ruf Amin, Wakil Presiden RI

Efisienkan Rantai Pasokan

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dalam risetnya berjudul “Rantai Pasok Beras di Indonesia: Kasus Provinsi Jabar, Kalbar, dan Kalsel” menilai aksesibilitas merupakan syarat utama bagi terciptanya ketahanan pangan yang kokoh. Di sini, rantai pasokan menjadi kunci.

Sayangnya, indikator lemahnya sistem supply chain pangan di Indonesia masih bisa ditemui dari kelangkaan komoditas jenis pangan tertentu dan disparitas harga beberapa jenis komoditas antardaerah.

Terbaru, kita bisa melihatnya dalam kasus kelangkaan dan disparitas harga minyak goreng. Sekalipun kini tak lagi langka, tapi persoalan harga (keterjangkauan) ini menjadi problem terutama tatkala ekonomi masih tertatih sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik.

Hal ini menunjukkan bahwa problem pangan Indonesia, sekalipun untuk produk swasembada yang dihasilkan dari dalam negeri masih berkutat pada rantai pasokan. Ada misteri yang tak terpecahkan bahkan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi hingga berujung pada lontaran ‘mafia.’ 

Mantan Kepala BKPM ini mengaku bingung kenapa minyak goreng seketika membanjir ketika harganya “dinaikkan” alias diserahkan mengikuti mekanisme pasar.

Jika Menteri Perdagangan saja bingung, ke mana lagi kita berharap persoalan rantai pasokan untuk menjaga ketahanan pangan ini bakal teratasi? Namun kali ini pemerintah tentunya tak perlu memanggil pawang.

Di balik gegap-gempita persoalan minyak goreng, ada lembaga yang tak banyak disebut saat ini, yakni Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai lembaga pemerintah yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional.

Pembentukan lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden ini merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tugas dan fungsi utamanya adalah mengoordinasikan perumusan dan pelaksanaan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan, serta harga bahan pangan.


Jenis pangan yang stabilisasi pasokan dan harganya dibebankan di pundak lembaga ini adalah beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ternak ruminansia, daging unggas, dan cabai.

Mumpung kenaikan harga pangan tersebut belum terjadi, Bapanas harus siap-siap memetakan produk pangan impor yang berisiko mengalami kelangkaan akibat konflik Ukraina, dan segera mengamankan kontrak pembelian jangka panjang dengan negara pemasok.

Di sisi lain, mafia harus diatasi agar ketika bahan pangan sudah tersedia, harganya masih relatif terjangkau oleh masyarakat. Syukur-syukur jika ada bantuan subsidi pangan dari pemerintah untuk mencegah lonjakan harga yang berlebihan.


| Penulis/ Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia | Ilustrasi: Aristya Rahadian | Layout: Arie Pratama | Photo: Pixabay, Reuters