
Atasi Krisis, Menkeu RI Ini Pernah Suruh Rakyat Potong Uang!

Jakarta, CNBC Indonesia - Lima tahun pertama pasca-kemerdekaan adalah masa-masa sulit bagi Indonesia. Kedatangan kembali Belanda memantik perang berkepanjangan yang menelan biaya tidak sedikit. Parahnya lagi untuk menyudahi perang dan menebus kemerdekaan Indonesia diharuskan membayar utang-utang Belanda sebesar US$ 1,13 miliar pada 1949.
Seluruh proses itu ditambah ketidakstabilan politik membuat Indonesia dilanda krisis keuangan besar. Harga barang meroket. Daya beli masyarakat anjlok. Negara nyaris bangkrut.
Situasi makin rumit ketika di Indonesia sejak tahun 1950 ada tiga jenis mata uang yang beredar dalam jumlah besar, yakni mata uang Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang NICA dan mata uang De Javasche Bank. Dua jenis mata uang terakhir adalah mata uang asing yang sengaja diedarkan kolonialis.
Menurut Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012), keberadaan ketiga mata uang jelas membuat hukum ekonomi berlaku: harga barang mahal dan inflasi tinggi, sehingga memperparah krisis. Maka, untuk menekan peredaran uang dan mengatasi krisis, Menteri Keuangan Republik Indonesia Serikat Syafruddin Prawiranegara membuat terobosan penting nan ekstrim, yakni memerintahkan rakyat untuk menggunting uang mereka.
Kebijakan ini menyasar mata uang NICA dan De Javasche Bank. Nantinya, uang senilai 5 gulden ke atas harus digunting tepat di bagian tengah hingga terbagi jadi dua. Bagian sebelah kiri wajib digunakan untuk alat pembayaran, tetapi hanya bernilai setengah dari total awal. Misalkan, uang yang awalnya 10 gulden, maka setelah digunting jadi bernilai 5 gulden. Uang tersebut kemudian bisa ditukarkan ke pemerintah dan digantikan dengan uang ORI.
Sedangkan bagian sebelah kanan, mengutip buku Gaptek dan Gupsos: Menuju Generasi Indonesia Bisa! (2014), tidak bisa menjadi alat pembayaran langsung dan wajib ditukar dengan obligasi negara yang bernilai setengah. Nantinya, obligasi tersebut dapat dibayarkan 40 tahun kemudian dengan perhitungan sesuai bank oleh pemerintah.
Menurut Boediono dalam Ekonomi Indonesia (2017), kebijakan ini resmi berlaku pada 10 Maret 1950 pukul 20.00 WIB, tepat hari ini 73 tahun lalu. Dasar hukumnya adalah Surat Keputusan Menteri Keuangan RIS Nomor PU/I tanggal 19 Maret 1950 yang juga menulis masa pemberlakuan kebijakan hingga 9 Agustus 1950.
Kebijakan ini kemudian dipandang nyeleneh oleh banyak pihak, tetapi menurut Syafrudin tetap berjalan tegak dan percaya bakal efektif sebagai 'obat' untuk mengatasi kondisi perekonomian yang berdarah-darah.
Masih mengutip buku Gaptek dan Gupsos: Menuju Generasi Indonesia Bisa! (2014), Syafrudin percaya kalau kebijakan yang kemudian dikenal 'Gunting Syafrudin' itu bakal membuat jumlah uang beredar menurun drastis, inflasi dapat terjadi, harga-harga turun dan pendapatan pemerintah bertambah. Dan seluruh kepercayaan ini kemudian benar-benar menjadi kenyataan kurang dari setahun.
Dalam uraian buku Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia (2016), kebijakan tersebut kemudian mampu membuat bank sentral peninggalan kolonial Belanda, De Javasche Bank, diambilalih menjadi Bank Indonesia. Dan muara dari keberhasilan ini kemudian mampu mengangkat Indonesia dari jurang krisis ekonomi.
(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Krisis Ekonomi Guncang Negara Asia, Pakistan Kena
