Pelemahan Boleh Menipis, Tapi Rupiah Masih Juru Kunci di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 March 2019 12:52
Pelemahan Boleh Menipis, Tapi Rupiah Masih Juru Kunci di Asia
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka melemah 0,18% pada perdagangan di pasar spot ke level Rp 14.215/dolar AS, rupiah sempat melemah hingga 0,46% ke level Rp 14.255/dolar AS.

Hingga tengah hari (12:00 WIB), pelemahan rupiah sudah menipis menjadi 0,25% ke level Rp 14.225/dolar AS. Namun, rupiah tetap menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan regional.

Pasalnya, mayoritas mata uang negara-negara kawasan Asia lainnya kini ditransaksikan menguat setelah dibuat bertekuk lutut di hadapan dolar AS pada pagi hari.

Perkembangan yang positif dari negosiasi dagang AS-China membuat mata uang negara-negara Asia berhasil membalikkan keadaan. Sementara itu, rupiah dibuat bisa menipiskan kekalahannya.

Pada hari ini hingga besok (28-29 Maret), AS dan China menggelar negosiasi dagang di Beijing, mempertemukan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He. Negosiasi dagang kedua negara kemudian akan dilanjutkan pada awal bulan April di Washington.

Dalam negosiasi dagang teranyar dengan AS tersebut, para pejabat pemerintahan AS mengatakan bahwa China telah membuat penawaran yang sebelumnya tak pernah mereka tawarkan, seperti dilansir dari Reuters. Tawaran dari China tersebut mencakup berbagai isu, termasuk pemaksaan transfer teknologi.

“Mereka (China) berbicara mengenai pemaksaan transfer teknologi dalam koridor yang sebelumnya tak pernah ingin mereka bicarakan – baik dalam cakupan maupun detilnya,” papar salah satu pejabat yang berbicara kepada Reuters.

Pemaksaan transfer teknologi memang merupakan salah satu penyebab meletusnya perang dagang kedua negara. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump menganggap bahwa praktek pemaksaan transfer teknologi yang dialami oleh perusahaan-perusahaan AS yang berinvestasi di China telah sangat merugikan mereka dan perekonomian AS secara keseluruhan.

Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.

Jika kesepakatan dagang bisa dicapai, ada kemungkinan pengenaan bea masuk tersebut menjadi dihentikan. Sayang, kehadiran perkembangan yang positif dari negosiasi dagang AS-China hanya bisa membuat rupiah menipiskan pelemahannya. Pasalnya, di sisi lain pelaku pasar kian khawatir bahwa AS akan masuk ke dalam jurang resesi.

Ekspektasi yang kian besar bahwa Negeri Paman Sam akan mengalami resesi dapat dilihat dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan yang semakin meninggalkan tenor 10 tahun. Pada perdagangan hari ini, yield tenor 3 bulan berada di level 2,4405%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,3559%; ada selisih sebesar 8,5 bps.

Fenomena yang disebut sebagai inversi ini merupakan konfirmasi dari potensi datangnya resesi di AS. Pasalnya dalam 3 resesi terkahir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun yang sebelumnya didahului inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Berbicara mengenai inversi pada tenor 3 dan 5 tahun, hal ini sudah terjadi pada 3 Desember 2018 silam.

Untuk inversi tenor 3 bulan dan 10 tahun, hal ini pertama kali terjadi pada 22 Maret dengan nilai sebesar 0,7 bps.

Inversi yang semakin parah tersebut (yield tenor 3 bulan semakin meninggalkan yield tenor 10 tahun) mengindikasikan bahwa pelaku pasar kian yakin AS akan masuk ke dalam jurang resesi.

Jika berbicara mengenai resesi di AS, dampaknya memang akan sangat signifikan bagi Indonesia. Resesi di AS terakhir kali terjadi pada tahun 2007 hingga 2009. Pada tahun 2007, ekonomi AS hanya tumbuh sebesar 1,88%, jauh melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,85%. Pada tahun 2008 dan 2009, perekonomian AS terkontraksi masing-masing sebesar 0,14% dan 2,54%.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melandai ke level 6,01% pada tahun 2008, dari yang sebelumnya 6,35% pada tahun 2007, sebelum kemudian melandai lagi ke level 4,63% pada tahun 2009.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. AS menduduki peringkat kedua sebagai pangsa pasar ekspor non-migas terbesar setelah China.

Saat AS mengalami resesi, maka permintaan atas produk-produk buatan Indonesia akan berkurang karena memang aktivitas ekonomi lesu. Penurunan ekspor ke AS akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan yang pada akhirnya menekan laju pertumbuhan ekonomi.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular