Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 0,14% di pasar
spot ke level Rp 14.550/dolar AS,
rupiah secara perlahan tetapi pasti kehilangan tajinya.
Setelah harus merelakan seluruh penguatan yang sudah diraih hari ini,
rupiah kini justru harus merasakan pahitnya zona depresiasi. Hingga pukul 13:00 WIB, rupiah melemah 0,03% ke level Rp 14.575/dolar AS.
Dari kawasan regional, mayoritas mata uang negara-negara tetangga diperdagangkan melemah melawan dolar AS.
Pada pagi hari, mayroitas mata uang kawasan Asia mampu membukukan apresiasi melawan dolar AS, seiring dengan tingginya appetite investor untuk masuk ke pasar saham Benua Kuning.
Tingginya appetite investor datang seiring dengan performa Wall Street yang begitu apik pada perdagangan kemarin (26/12/2018), di mana Dow Jones ditutup melesat 4,98%, indeks S&P 500 melambung 4,95%, dan indeks Nasdaq terdongkrak 5,84%.
Namun kini, situasinya mulai berubah. Indeks Shanghai dan Hang Seng yang sepanjang hari cenderung diperdagangkan menguat kini justru membukukan pelemahan, masing-masing sebesar 0,15% dan 0,2%.
Investor mulai melihat bahwa penguatan Wall Street tak akan berlangsung lama. Pasalnya, sejumlah risiko masih mengintai bursa saham Negeri Paman Sam. Risiko pertama datang dari sinyal perlambatan ekonomi disana yang kian jelas. Kemarin, (26/12/2018), Richmond Manufacturing Index periode Desember diumumkan sebesar -8, jauh di bawah konsensus yang sebesar 16, seperti dilansir dari Forex Factory.
Data ini menunjukkan tingkat aktivitas manufaktur di wilayah Richmond. Angka di bawah 0 menunjukkan bahwa kondisinya memburuk dibandingkan periode sebelumnya.
Risiko kedua datang dari masih tutupnya pemerintahan AS secara sebagian (partial government shutdown). Sejak hari Sabtu (22/12/2018), beberapa lembaga federal AS mengalami penundaan pembayaran gaji dan tidak beroperasi sebagaimana mestinya. Melansir New York Times, 420.000 pegawai negeri AS tidak akan digaji hingga anggaran turun dan 380.000 pegawai negeri diliburkan hingga pembahasan anggaran disetujui.
Shutdown kali ini menanadai yang ketiga sekaligus yang terlama selama Donald Trump menjabat sebagai presiden AS. Kali ini, masalah anggaran untuk pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko menjadi penyebab pemerintahan AS harus tutup sementara.
Legislatif memutuskan tidak dapat memenuhi permintaan Trump yang menginginkan anggaran US$5 miliar untuk pengamanan di wilayah perbatasan, termasuk pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.
Kemungkinan, pemerintahan baru akan dibuka kembali pada awal tahun depan kala Partai Demokrat resmi menempati posisi mayoritas di House of Representatives.
Pada akhirnya, aliran dana investor mulai kembali tersedot ke instrumen safe haven seperti dolar AS. Selain karena mulai memudarnya appetite investor untuk masuk ke bursa saham Benua Kuning, rupiah juga dipukul mundur oleh harga minyak mentah dunia yang berhasil membalikkan keadaan. Pada sekitar pembukaan perdagangan rupiah di pasar spot, harga minyak WTI terkoreksi 0,82%, sementara brent melemah 0,81%.
Namun kini, harga minyak WTI naik 0,06%, sementara brent menguat 0,22%.
Lantas, harga minyak mentah masih relatif perkasa pasca kemarin sudah membukukan penguatan yang luar biasa tinggi. Pada penutupan perdagangan kemarin, harga minyak WTI kontrak pengiriman Februari 2019 meroket 7,12% ke level US$ 45,56/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 melejit 6,99% ke level US$ 54/barel.
Perkasanya harga minyak mentah tentu menjadi kabar buruk bagi rupiah, lantaran bisa memperparah defisit perdagangan minyak dan gas (migas) yang pada akhirnya akan membuat defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) kian lebar.
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan migas.
TIM RISET CNBC INDONESIA